7 June 2013

Benang Kusut

Kemarin ada temen perempuan saya yang cerita kalo dia baru dilecehkan. Dia lagi jalan pulang di daerah rumahnnya lalu ada pengendara motor sialan yang berboncengan lewat disebelahnya yang tiba-tiba meremas dadanya lalu ngeloyor pergi. Temen saya langsung shock sampai nangis dan kesel setengah mati lah. What the fug.

Cerita itu membuat saya ingat kalo saya juga beberapa kali mengalami pelecehan-pelecehan di tempat dan transportasi umum. Dulu waktu lagi jalan pulang, di depan mesjid, saya juga pernah mengalami hal serupa. Ada laki-laki sialan lewat sebelah saya yang tiba-tiba mencengkram dada saya, laki-laki itu ngeloyor pergi dan saya baru sadar setelah jalan beberapa langkah. Saya gak tau harus teriak atau apa, kayaknya gak ada yang peduli juga sama saya karena semua orang terlihat sibuk dengan langkahnya masing-masing. Jadi waktu itu saya cuma bingung dan menjerit dalam hati.

Itu di jalanan, di angkutan umum saya pernah mengalami hal mengerikan juga, pernah ada bapak-bapak sialan yang duduk depan saya yang tiba-tiba membuka celananya dan mengeluarkan anggota tubuhnya yang sialan (yang kalo saya inget rasanya pengen saya gunting sampai putus), saya langsung pindah duduk ke dekat ibu-ibu yang juga keliatan panik, kemudian saya langsung turun dari angkutan umum itu walaupun tempat tujuan saya masih agak jauh. Juga, pernah saat turun dari angkutan umum, ada mas-mas sialan yang tiba-tiba meremas selangkangan saya (tapi tangannya meremas softex karena saya sedang menstruasi, mam-pus).

Sekedar info: pada semua kejadian, saya gak mengenakan rok mini.

Herannya, kalo saya cerita ke orang, reaksi dari mereka mengesankan kalo yang salah itu saya: mereka bilang ‘Lu sih, jadi orang kecakepan...’ Astaga penting gak sih ngomong begitu? Mendingan diem aja. Ini yang bikin saya males cerita ke orang karena reaksinya bikin tambah naik darah.

Kekacauan cara berpikir ini merajalela dimana-mana sampai saya mengira kekacauan ini diturunkan langsung dari dunia idea ke kepala-kepala kopong, atau ditularkan lewat berbagai bakteri di tempat umum.

Pernah saat saya naik kereta yang penuh, (waktu itu belum ada gerbong khusus perempuan) saya berdiri ngantuk sambil mendekap tas, saat sadar bahwa ada mas-mas sialan yang grasak-grusuk macem ulet bulu didekat saya, saya pun langsung panik dan membentak ‘HEH!’. Anehnya, saat ada bapak-bapak yang ngeh pada keanehan situasi tersebut dan buka mulut, si bapak-bapak malah ngomong ke saya ‘Mbak, mbak pindah aja mbak’, padahal saya kira saat dia buka mulut dia akan ngomong ‘Woy mas sialan! Lo ga boleh gitu kali mas! Terjun lo dari kereta!’. Hello?! Jadi dari omongan dia ‘Mbak, mbak pindah aja mbak’, itu mengesankan bahwa yang salah itu saya, perempuan yang padahal cuma berdiri aja dengan ngantuk, sementara mas-mas sialan yang grasak grusuk macem ulet bulu seakan innocent kayak bayi baru lahir.

Saat para feminis udah mengeluarkan teori dan statement canggih, dari yang awalnya ngomongin pentingnya pendidikan (perempuan juga harus dapet pendidikan, gak cuma dandan, nangkring di dapur dan kasur aja), lalu kebebasan hak (untuk memilih ini itu, gak hanya eksis diranah domestik tapi juga publik), kebebasan tubuh (dari seksualitas sampai reproduksi), kebebasan menjadi perempuan yang cantik untuk dirinya sekaligus pintar, pokoknya dari yang pertamanya memperjuangkan equality, sampai akhirnya lama-lama berubah pandangan bahwa perempuan dan laki-laki jelas-jelas beda, gak equal, namun harus tetap masing-masingnya dihargai, nyatanya di beberapa negara termasuk negara cecayangan kita endonesah kebanyakan masyarakatnya masih bermental abad pertengahan yang bebel namun sotoy (yang membuat saya tergoda untuk melobotomi mereka, ya gapapa dong, kan biar cocok sama yang bermental abad pertengahan?).

Ibarat benang yang kusut, jarum yang dipatahkan.
Situ yang terus salah, sini yang terus disalahkan.

Mereka yang pake logika phallus harus dilempar buku logikanya pak Hayon. Berkali-kali. Ya, kali aja dibaca.