Kemarin ada temen perempuan saya yang cerita kalo dia baru
dilecehkan. Dia lagi jalan pulang di daerah rumahnnya lalu ada pengendara motor
sialan yang berboncengan lewat disebelahnya yang tiba-tiba meremas dadanya lalu
ngeloyor pergi. Temen saya langsung shock sampai nangis dan kesel setengah mati
lah. What the fug.
Cerita itu membuat saya ingat kalo saya juga beberapa kali
mengalami pelecehan-pelecehan di tempat dan transportasi umum. Dulu waktu lagi
jalan pulang, di depan mesjid, saya juga pernah mengalami hal serupa. Ada
laki-laki sialan lewat sebelah saya yang tiba-tiba mencengkram dada saya,
laki-laki itu ngeloyor pergi dan saya baru sadar setelah jalan beberapa
langkah. Saya gak tau harus teriak atau apa, kayaknya gak ada yang peduli juga
sama saya karena semua orang terlihat sibuk dengan langkahnya masing-masing.
Jadi waktu itu saya cuma bingung dan menjerit dalam hati.
Itu di jalanan, di angkutan umum saya pernah mengalami hal mengerikan
juga, pernah ada bapak-bapak sialan yang duduk depan saya yang tiba-tiba
membuka celananya dan mengeluarkan anggota tubuhnya yang sialan (yang kalo saya
inget rasanya pengen saya gunting sampai putus), saya langsung pindah duduk ke
dekat ibu-ibu yang juga keliatan panik, kemudian saya langsung turun dari
angkutan umum itu walaupun tempat tujuan saya masih agak jauh. Juga, pernah
saat turun dari angkutan umum, ada mas-mas sialan yang tiba-tiba meremas
selangkangan saya (tapi tangannya meremas softex karena saya sedang menstruasi,
mam-pus).
Sekedar info: pada semua kejadian, saya gak mengenakan rok mini.
Herannya, kalo saya cerita ke orang, reaksi dari mereka
mengesankan kalo yang salah itu saya: mereka bilang ‘Lu sih, jadi orang
kecakepan...’ Astaga penting gak sih ngomong begitu? Mendingan diem aja. Ini
yang bikin saya males cerita ke orang karena reaksinya bikin tambah naik darah.
Kekacauan cara berpikir ini merajalela dimana-mana sampai saya mengira
kekacauan ini diturunkan langsung dari dunia idea ke kepala-kepala kopong, atau
ditularkan lewat berbagai bakteri di tempat umum.
Pernah saat saya naik kereta yang penuh, (waktu itu belum ada
gerbong khusus perempuan) saya berdiri ngantuk sambil mendekap tas, saat sadar
bahwa ada mas-mas sialan yang grasak-grusuk macem ulet bulu didekat saya, saya
pun langsung panik dan membentak ‘HEH!’. Anehnya, saat ada bapak-bapak yang
ngeh pada keanehan situasi tersebut dan buka mulut, si bapak-bapak malah ngomong
ke saya ‘Mbak, mbak pindah aja mbak’, padahal saya kira saat dia buka mulut dia
akan ngomong ‘Woy mas sialan! Lo ga boleh gitu kali mas! Terjun lo dari kereta!’.
Hello?! Jadi dari omongan dia ‘Mbak, mbak pindah aja mbak’, itu mengesankan
bahwa yang salah itu saya, perempuan yang padahal cuma berdiri aja dengan
ngantuk, sementara mas-mas sialan yang grasak grusuk macem ulet bulu seakan innocent
kayak bayi baru lahir.
Saat para feminis udah mengeluarkan teori dan statement canggih,
dari yang awalnya ngomongin pentingnya pendidikan (perempuan juga harus dapet
pendidikan, gak cuma dandan, nangkring di dapur dan kasur aja), lalu kebebasan
hak (untuk memilih ini itu, gak hanya eksis diranah domestik tapi juga publik),
kebebasan tubuh (dari seksualitas sampai reproduksi), kebebasan menjadi
perempuan yang cantik untuk dirinya sekaligus pintar, pokoknya dari yang
pertamanya memperjuangkan equality, sampai akhirnya lama-lama berubah pandangan
bahwa perempuan dan laki-laki jelas-jelas beda, gak equal, namun harus tetap
masing-masingnya dihargai, nyatanya di beberapa negara termasuk negara
cecayangan kita endonesah kebanyakan masyarakatnya masih bermental abad
pertengahan yang bebel namun sotoy (yang membuat saya tergoda untuk melobotomi
mereka, ya gapapa dong, kan biar cocok sama yang bermental abad pertengahan?).
Ibarat benang yang kusut, jarum yang dipatahkan.
Situ yang terus salah, sini yang terus disalahkan.
Mereka yang pake logika phallus harus dilempar buku logikanya
pak Hayon. Berkali-kali. Ya, kali aja dibaca.