Saya punya banyak cinta, salah satunya untuk musik dan filsafat. (Polyamory disini maksudnya cinta pada banyak hal di saat bersamaan, hehe). Saya tahu dua-duanya membutuhkan banyak waktu, yang satu menuntut untuk latihan, yang satu menuntut untuk membaca, dan dua-duanya membutuhkan analisa lebih lanjut. Saya mengajar piano sejak saya berkuliah program sarjana, lalu sempat kerja kantoran setelah lulus, lalu kembali mengajar piano sembari melanjutkan kuliah program magister. Sejauh ini, saya tidak banyak bertemu orang yang mau menekuni dua bidang seperti saya. Tapi, saya tahu ada juga orang-orang seperti saya, yang kadang merasa menderita karena cinta, haha.
Untuk kepakaran tinggi, belakangan saya memahami dan mengakui bahwa seseorang yang belajar instrumen musik tertentu sejak kecil ketika menyelesaikan sekolah dan akan berkuliah sebaiknya mengambil kuliah musik juga. Hal itu akan mempermudah segalanya. Ia dapat melanjutkan pendidikan musik dengan lebih mendalam hingga lebih memungkinkan untuk mencapai kepakaran di bidang musik. Ia punya waktu yang sesuai dan searah yang digunakan untuk latihan instrumen musik sekaligus belajar mata kuliahnya. Ia juga punya waktu luang untuk beristirahat dan bersosialisasi.
Bila terlanjur seperti saya yang terombang-ambing di antara musik dan filsafat (atau bidang-bidang lainnya), harus terima konsekuensi bahwa waktu tidak akan mencukupi untuk mencapai kepakaran tingkat dewi di dua-duanya. Tapi itu tidak berarti kita menyerah begitu saja, karena kalau cinta pasti mau terus berusaha kan? Memang kita mesti banyak mengorbankan hal-hal lain misalnya kehidupan sosial untuk mendapat waktu agak lebih yang bisa kita bagi untuk minat-minat kita itu, atau istirahat dari minat-minat kita itu.
Bila dulu saya bisa berlatih beberapa jam rutin tiap hari, sekarang berlatih beberapa jam seminggu tiga kali saja saya sudah merasa bersyukur. Kadang saya merasa berkarat karena kurangnya latihan. Di sisi lain ketika belajar filsafat, saya merasa berkarat juga karena kurangnya membaca. Kadang ketika belajar filsafat saya malah terpikir bunyi, notasi, dan masalah musik, sebaliknya ketika berlatih piano saya malah terpikir gagasan atau masalah filosofis. Otak memang bisa bandel begitu.
Ingat film The Pianist (salah satu film bertema Holocaust dan Perang Dunia II yang sangat menggugah emosi itu) di adegan Szpilman yang memainkan Ballade no.1 in G Minor Chopin? Karya itu sangat menarik, langsung memikat dari awal, sangat menggugah emosi, dan memuaskan pendengaran juga pikiran. Bagian awal karya itu sederhana lalu bertahap makin sulit hingga sangat sulit. Tanpa bermaksud mencela karena saya tahu adegan itu sangat penting untuk keseluruhan film dan menyentuh hati penonton, menurut saya adegan itu tidak realistis karena berbulan-bulan atau setahun tanpa mampu latihan fisik (latihan mental masih memungkinkan) seseorang tidak akan mampu memainkan karya yang begitu sulit dengan sebagus itu dari awal hingga akhir. Sama seperti seorang atlet lari tidak akan bisa langsung maraton sedemikian jauhnya bila ia tidak berlatih selama berbulan-bulan atau setahun lamanya.
Ingat film The Pianist (salah satu film bertema Holocaust dan Perang Dunia II yang sangat menggugah emosi itu) di adegan Szpilman yang memainkan Ballade no.1 in G Minor Chopin? Karya itu sangat menarik, langsung memikat dari awal, sangat menggugah emosi, dan memuaskan pendengaran juga pikiran. Bagian awal karya itu sederhana lalu bertahap makin sulit hingga sangat sulit. Tanpa bermaksud mencela karena saya tahu adegan itu sangat penting untuk keseluruhan film dan menyentuh hati penonton, menurut saya adegan itu tidak realistis karena berbulan-bulan atau setahun tanpa mampu latihan fisik (latihan mental masih memungkinkan) seseorang tidak akan mampu memainkan karya yang begitu sulit dengan sebagus itu dari awal hingga akhir. Sama seperti seorang atlet lari tidak akan bisa langsung maraton sedemikian jauhnya bila ia tidak berlatih selama berbulan-bulan atau setahun lamanya.
Jalan tengah untuk tetap menekuni bidang musik bagi saya adalah dengan memelihara karya-karya yang saya sebut sebagai Succulent Pieces (sok buat istilah sendiri).
Seperti tanaman succulent yang indah tapi tidak banyak menuntut air, asalkan cukup sinar matahari, dan disayangi, Succulent Pieces juga seperti itu. Indah dan tidak banyak menuntut. Memang bila meninggalkannya, tetap juga perlu waktu untuk berlatih dan mengingat kembali, tapi tentunya berada dalam tingkat masih bisa ditangani di jadwal yang padat. Menurut saya, Succulent Pieces bagi tiap orang tentu berbeda, sesuai tingkat dan kemampuan (yang terus berubah, entah membaik atau memburuk). Singkatnya, Succulent Pieces itu berada di bawah tingkat dan kemampuan sesungguhnya (seperti bahan-bahan ujian instrumen musik yang biasanya setingkat lebih mudah daripada tingkat sesungguhnya). Saya sendiri memelihara Waltzes dari Chopin, Brahms, dan Schumann, Nocturnes dari Chopin dan Grieg, Sonatas dari Haydn dan Mozart, dan beberapa karya Bach, Debussy, dll.
My love for succulent and Succulent Pieces
(saya berencana segera memelihara dan berkebun tanaman ini)