15 June 2016

Ingat Bukan Hapal

Hapal adalah kata yang saya tidak suka, tetapi kata tersebut banyak ditemui dalam percakapan sehari-hari. Misalnya:
"Sudah hapal (...)?"
"Wah, saya gak hapal (...)"
Tidak mengherankan sih, karena sejak sekolah dasar, sistem pendidikan di Indonesia lebih peduli pada hapalan, bukan pada pemahaman, dan pada prakteknya memang nampak memberlangsungkannya, lihat saja dari banyaknya materi kurikulum yang setengah mati dipadatkan untuk satu semester dan bentuk-bentuk ujiannya. Hapal menjadi jalan pintas untuk menghadapinya. Praktek sistem agama mayoritas pun begitu, kebanyakan mengutamakan untuk hapal ayat-ayat dan ritual lalu bangga karenanya, bukan bangga karena mencoba memahami ajaran fundamentalnya yang memiliki nilai moral mulia dan damai.
Banyak yang mengira bahwa akademisi rumpun ilmu sosial dan humaniora itu kerjanya menghapal dan jago menghapal.
Banyak yang mengira bahwa pianis yang bermain tanpa partitur itu kerjanya menghapal dan jago menghapal.
Padahal tidak seperti itu.
Dua-duanya membutuhkan proses pembelajaran, bukan untuk menghapal, tetapi memahami. Memahami konsep, struktur, perspektif, konteks, dsb, secara detail, lalu mengintegrasikannya agar mendapat kedalaman pemahaman. 
Saya lebih suka kata mengingat yang lebih dekat dengan yang aktif dan mendalam, bukan kata menghapal yang lebih dekat dengan yang pasif dan sekedar kompulsif namun dangkal. 
Bagi saya, memahami adalah tujuan, sedangkan mengingat hanya merupakan konsekuensi sampingan dari tujuan utamanya. 
Tapi, mengingat juga lekat dengan melupakan.
Jadi kalau sering dengar saya berkata, 
"Wah, saya gak ingat," atau 
"Wah, saya lupa,"
Harap maklum.