16 January 2018

Sedikit Berbagi Luka dan Harapan Denganmu yang Membaca

Seharian ini, well dari kemarin, saya cemas dan was-was menunggu dua dus buku yang saya butuhkan tapi belum juga datang. Hari ini sudah hampir dua minggu saya berada di Belanda. Selasa 2 Januari 2018 lalu saya berangkat kesini selama hampir sehari perjalanan dengan direct flight Garuda dan disambung naik Thalys dari Amsterdam ke Rotterdam. Momen perpisahan tanpa batas waktu yang jelas (“Karina sampai kapan disana?” - “Belum tahu pasti..”) dengan teman-teman dan keluarga sebelumnya tidak pernah saya pikirkan, dan waktu terjadi, belum saya pahami.

Bahwa bagi orang-orang yang saling menyayangi, perpisahan adalah momen sentimental yang bisa menyedihkan. Saya memahaminya melalui surat, cendera mata, pelukan, dan air mata. Sedangkan mengenai orang-orang yang senang melukai, perpisahan sudah saya lakukan dengan mereka sejak entah kapan. Haha.

Mesti saya bicarakan dan akui, dalam beberapa bulan belakangan ini perilaku dan tindakan saya agak lebih aneh, bahkan lebih aneh daripada biasanya. Saya tidak produktif, membaca saja tidak sanggup apalagi menulis. Mengajar saja saya lakukan dengan datar. Berbagai ajakan untuk membuat karya ini dan itu atau berbicara ini dan itu saya abaikan, alihkan ke orang lain, atau saya tunda sampai terbengkalai. Itu karena depresi parah yang saya derita memakan sebagian besar diri saya hingga memuncak ke hysteria.

Saya sempat beberapa kali teriak-teriak dan menangis sangat keras dan brutal bahkan bisa menyetrum orang-orang yang menyentuh saya, lalu besok harinya tidur seharian karena lelah.  Sampai sekarang saya masih nyetrum sedikit sih, dan masih tidak bisa menyisir rambut tanpa rambutnya terbang-terbang. Depresi yang saya derita adalah depresi lama sejak saya beranjak remaja dan memikirkan hal-hal buruk yang terjadi pada saya. Depresi itu tidak pernah saya sebut karena saya bisa menanganinya walaupun di tiap harinya saya selalu berada di ambang waras dan tidak waras. Depresi itu seperti bayangan yang selalu mengikuti, yang kadang saya ladeni atau saya abaikan, atau seperti endapan di minuman yang kadang muncul ke permukaan bila terguncang sesuatu. Entah bagaimana cara saya dulu melalui hari dan berakrobat dengan kuliah, tugas kuliah, mengajar piano, mengajar bahasa, beberapa organisasi dan ikatan, bekerja di kantor, berberes rumah, dan memelihara hewan. Saya tidak tahu, yang jelas pikiran dan fisik saya berakrobat dengan konyol. Bukan hal bijak untuk dilakukan sebab sejak saya kecil fisik saya sudah lemah dan hampir mati juga. Tapi saya dulu tidak suka menerima keadaan dan tidak suka dianggap lemah. Jadi dengan segala sirkus itu, waktu umur saya 22 tahun saya sempat sakit lever selama sebulan, hanya bisa tiduran di tempat tidur dan mungkin hampir mati (yang tahu hal ini sebelumnya, hanya keluarga inti saya, karena saya tidak mau dijenguk oleh siapapun). Sakit lever itu, kata dokter, karena terlalu capek untuk waktu lama. Saya lalu dianjurkan mengurangi kegiatan. Tapi bandelnya saya, lalu umur 24 tahun saya sempat mens hampir sebulan, dan waktu itu memang menjalani sirkus yang serupa. Mens hampir sebulan itu, kata dokter, karena terlalu capek. Saya lalu berhenti mengajar piano karena waktu itu lebih memilih bekerja di kantor sambil kuliah S2 (lalu saya berhenti bekerja di kantor karena terlalu jauh dan perjalanan 19 stasiun sambil berdiri itu terlalu melelahkan buat saya bahkan setelah minum vitamin, madu, atau bergelas-gelas temulawak). Saya tidak pernah suka berlagak lemah, bahkan tidak ingin ada yang tahu bahwa fisik saya lemah dan setelah lever jadi tidak bisa terlalu lelah. Tapi, sekarang saya pikir mungkin ada bagusnya orang tahu bahwa saya punya banyak kekurangan itu. Biasanya, fisik saya lemah, tapi pikiran saya cukup kuat. Tetapi dengan depresi parah itu, dua aspek penting dari diri saya seperti hilang sudah. Saya sempat putus asa.

Tentu, orang yang mengalami depresi akan menghadapinya dengan cara berbeda. Banyak yang menikmatinya saja karena memang masokis, banyak yang ingin atau kecanduan berkonsultasi dengan psikolog. Banyak yang memang sangat clueless atau ingin bicara dengan orang yang mereka anggap akan mengerti dan membantu mereka. Tetapi karena saya pernah belajar psikologi, saya tahu bahwa kemampuan terbaik psikolog adalah mendengarkan dan menganalisa, bukan menyembuhkan. Juga, saya tahu bahwa beberapa orang hanya senang berbicara dan ingin didengarkan karena biasanya tidak berkesempatan. Saya kenal teman yang kondisinya tak kunjung membaik, tak peduli seberapa rajin dia datang ke beberapa psikolog selama bertahun-tahun. Buat saya, yang penting adalah mengetahui penyebabnya dan apa solusinya. Saya paling kenal diri saya sendiri, lebih dari orang lain. Saya tahu betul apa penyebabnya, atau penyebab-penyebabnya, karena depresi tidak hanya datang dari satu faktor. Sedangkan solusi, atau solusi-solusinya, buat saya pada saat itu tidak dapat semuanya dilakukan karena berbagai keterbatasan. Tetapi untungnya saya sempat rajin yoga selama setengah tahun (yoga ini di latarbelakangi juga oleh skoliosis yang saya derita, setelah diagnosis dan rontgen, dokter juga memberi prediksi yang membuat ngilu bahwa saya bakal sangat sakit di punggung dan leher kalau hamil, kemudian saya juga menjalani bersesi-sesi fisioterapi membosankan) dan yoga itu cukup membantu fisik saya walau tidak sepenuhnya membantu pikiran saya. Bayangkan memiliki sakit begitu banyak dan pura-pura baik-baik saja ke orang-orang yang saya temui tiap hari!

Fakta bahwa sekarang saya bisa menulis tentang hal-hal itu dan bisa menerima mereka sebagai fakta, adalah pertanda bagus. Sebab artinya, saya sudah sedikit mampu melampauinya. Saya mesti berterima kasih pada Tuhan semesta alam, juga alam semesta, karena mengizinkan saya pergi jauh ke tempat yang lebih indah dan asri, menghirup udara dan minum air yang lebih segar, melihat pemandangan keseharian yang tak hentinya memukau, dan merasakan keharuan dan keajaiban lagi. Harum lautan, sungai, danau, hujan, tanah dan rumput basah, kabut, angin, dan suara gerombolan burung terbang yang tertawa, segala keindahan dan kedamaian itu menyejukkan pikiran saya.

Berita-berita di tanah air, yang biasanya memuakkan saya dan membuat saya makin suram selama berjam-jam, sekarang saya tanggapi dengan berbeda. Misalnya begitu mendengar adik saya cerita bahwa dia hari itu tertahan dan tidak bisa pulang dari kantor ke kosannya karena ada demo FPI di kantor Facebook (mereka dibanned karena hate speech, jadi mereka merengek kesel banget sebagai anak zaman now karena gak bisa main Facebook buat bisnis, ngepost hoax, bicara kasar, meramu kebencian, dan memicu kekerasan lainnya), saya cuma khawatir sama adik saya dan masa bodoh banget sama FPI. I just don’t give a fuck anymore. Walaupun saya tahu secara kausalitas hal itu tidak mencukupi.

Jarak membuat saya cuma ingin peduli sama diri saya dan orang-orang yang saya sayangi. Jarak menghemat emosi saya ke hal-hal bodoh yang tidak penting. Jarak membuat saya berubah. Sebagai INFJ sejati (saya ikut personality test itu tahun 2015, dan oya hati-hati karena banyak INFJ palsu yang sebenarnya INFP atau ISFP atau lainnya, tapi mereka menjawab tes dengan tidak jujur karena ingin menjadi yang bukan dirinya, duh kok tes kepribadian aja bohong ya, jadi punya kepribadian atau nggak sih?), seperti kata suami saya, karena saya betul-betul persis seperti segala macam hal dalam deskripsi INFJ itu (walaupun beberapa akademisi belum menerima legitimasinya, juga MBTI masih berkekurangan seperti tidak adanya skala berapa per tipe kepribadian, sejauh ini tipe-tipe kepribadian itu cukup berguna buat saya, dan saya tahu bahwa ilmu pengetahuan terus berubah dan tidak steril). Sensitif dan terlalu peduli adalah salah satu kekuatan dan kelemahan saya. Meskipun saya lebih sering diam, tetapi saya memahami betul perasaan orang-orang di sekeliling saya. Perasaan orang-orang itu juga mempengaruhi dan menjadi perasaan saya. Baca berita juga seperti itu. Karena saya punya pandangan ideal tentang bagaimana dunia seharusnya dan bagaimana orang-orang bertingkah laku satu sama lain seharusnya (baik dan benar berdasarkan hukum moral universal, bukan yang buatan dan ala-ala blabla yang sudah terkontaminasi kepentingan-kepentingan), saya seringkali kecewa pada dunia. Dunia menyakiti saya tiap hari dan saya menderita karenanya.

Tetapi selain jarak, dunia saya disini juga lebih indah, dengan mayoritas orang-orang tanpa agama yang malah lebih bermoral daripada mayoritas orang-orang beragama di Indonesia. Sekarang saya mulai merasa bersahabat dengan dunia. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya yang hampir 27 tahun ini.

Di tahun yang baru ini, saya berdoa semoga keluarga saya, terutama mama saya mendapat kebahagiaan, kemakmuran, dan bersyukur karenanya. Semoga orang-orang, hewan-hewan, dan tumbuh-tumbuhan yang menderita, kelaparan, dan membutuhkan pertolongan dibantu dan diringankan penderitaannya. Semoga teman-teman saya mendapat kebahagiaan, kemakmuran, kedewasaan, dan bersyukur karenanya. Semoga saya bisa lebih positif menghadapi hari-hari, lebih banyak bersyukur dan bisa memanfaatkan apa yang saya miliki dan yang ada di hadapan saya untuk tujuan yang lebih besar daripada diri saya dan bermanfaat untuk orang-orang. Oh, dan semoga dua dus buku yang saya perlukan itu cepat datang. 

Kenapa. Ini. Hampir kayak diary?