1 March 2018

Cinta Paling Tulus: Makanan

Kita adalah apa yang kita pikirkan, apa yang kita kerjakan, dan apa yang kita makan. Saya suka memasak atau menyiapkan makanan sendiri, dan menikmati proses dari belanja, mencuci buah dan sayuran (percaya deh kalau bisa dan punya lahannya, saya mau punya kebun makanan sendiri), memasak atau menyiapkan makanan, hingga makan. Buat saya kegiatan memasak dan menyiapkan makanan itu merupakan momen meditatif dan proses yang tidak jauh banyak berbeda dari memainkan musik. 

Orang yang abai tapi sok tahu pernah mengatakan bahwa mudah sekali mengenali musik klasik, kan notasinya sama dan yang dimainkan adalah sama, jadi semuanya terdengar sama saja. Ya, musik pop, rock, jazz, dll bisa menggantikan kata musik klasik juga untuk kalimat tersebut. Atau bisa saya katakan juga dengan asal, lagu pop yang dinyanyikan pengamen dan yang dinyanyikan popstar di konser sama saja. Tapi untuk mengatakan mereka sama bukan merupakan kemampuan menangkap yang universal melainkan keabaian, konotasi negatif, dan kemalasan untuk mempersepsi lebih. Seperti pizza dan nasi goreng yang rasanya berbeda-beda tergantung kemampuan, selera, dan estetika yang memasaknya, pieces musik juga seperti itu. Notasi atau resep dari satu musik atau masakan yang sama, bahkan ditulis berbeda pula tergantung editornya, apalagi interpretasi dan eksekusinya. Tapi orang yang abai tidak akan memperhatikan sampai sana. Tidak apa tidak bisa masak, tapi akan bagus kalau bisa mengagumi makanan yang enak, dan bilang saja kalau ada makanan tidak enak, karena saya tahu semua orang punya kemampuan dan bidang berbeda. Tapi orang yang abai soal makanan itu, yang tidak bisa masak sama sekali atau hanya mengandalkan bumbu instan, tapi bisa sok jadi kritikus makanan dan bicara soal bumbu setengah mati, atau bicara besar buat hal yang sama sekali tidak dia mengerti. Familiar? Ya itu bisa ditemukan di bukan sekedar bidang makanan sih, haha.

Untuk menikmati makanan, saya tahu dengan pengalaman bahwa tidak semua orang mampu melakukannya. Tidak semua orang punya penciuman yang bagus dan lidah yang peka. Soal selera,  itu sangat ditentukan dengan latar belakang budaya dan pengalaman kuliner. Tetapi, tidak dipungkiri juga mungkin penciuman yang buruk dan lidah yang tumpul bukan karena cacat lahir melainkan karena tidak terlatih dari kecil untuk menikmati masakan. Ibunya tidak mau atau tidak bisa masak misalnya, atau ayahnya juga, misalnya, lalu makan dari masakan pembantu yang asal-asalan atau katering hambar misalnya, atau tidak dapat pendidikan soal makanan, misalnya, kemudian tidak tertarik dan tidak mau tahu lebih jauh soal makanan jadi tidak mau repot-repot makan di berbagai restoran, misalnya.

Saya lumayan beruntung karena besar dalam keluarga yang walaupun banyak sekali kekurangan dan compang-camping di hal-hal lain, tetapi lumayan bagus dalam hal masak-memasak dan masak-masakan. Dari sisi mama dan ayah saya, semua suka makanan dan bisa mengapresiasi makanan, nenek dan emak saya hobi masak, tante-tante saya juga, tidak peduli tante yang gendut atau yang paling langsing sekalipun. Mama saya dan ayah saya juga jago masak, dengan menu-menu andalan berbeda. Mama saya bisa masak hampir semua masakan Indonesia, menu yang sering dimasak antara lain pecel, ayam goreng, sop iga, perkedel kentang, perkedel jagung, daging empal, semur ayam atau sapi, soto bandung, soto kudus, rendang, rawon, garang asam, ayam woku, dan meskipun sibuk setengah mati karena bekerja sebagai periset dan dosen, karena hobinya, masih suka menerima pesanan buat acara, dari set tumpeng nasi kuning lengkap dengan lauk pauknya, soto-sotoan, hingga puding-pudingan. Sementara ayah saya biasa masak sayur asin, ikan asin, sayur oyong, sayur sop, nasi goreng, tumis kangkung atau bayam. Dari masih kecil kalau mereka memasak, saya biasanya dipanggil untuk mencicipi apa yang kurang, apa yang bisa jadi lebih enak, dan saya baru tahu kalau ternyata itu penting dan membuat saya terlatih untuk merasakan makanan. Sampai sekarang, seperti mama saya, saya kesal kalau makan makanan tidak enak (itu sebabnya saya jarang makan di kansas, karena tidak ada yang enak disana, bukannya saya belagu  dan maunya makan di Toscana terus karena toh saya punya warung tenda pecel lele dan ayam favorit) dan kecewa kalau sebagai tamu tidak disuguhi makanan yang dimasak atau disiapkan dengan sepenuh hati (percayalah saya tahu situasi dan kondisi, kalau kita datang ke rumah orang makmur tetapi mereka tidak menyuguhi makanan dan minuman yang pantas, maka mereka bukan orang baik karena menghargai tamu saja tidak mampu). Selain makanan dan minuman yang disuguhkan, upaya menyuguhkan itu juga penting dan menunjukkan banyak hal. Misalnya, masa sih tinggal jalan tiga langkah ke dispenser mesti teriak panggil pembantu atau anak buat mengambilkan minum untuk tamu, padahal itu jelas bisa dilakukan sendiri. Saya pernah di situasi begitu dan langsung saya bilang tidak usah karena saya tidak haus sama sekali. Dua detik menyaksikan hal itu membuat saya memahami kekonyolan, kebengisan, ilusi kesuperioritasan, dan ketidakmauan melayani tapi berkeinginan dilayani dan memperbudak orang, yang membuat saya tidak mau bibir saya menempel di gelas mereka dan minum air dari sana. Bayangkan di situasi yang beradab ketika yang punya rumah dengan sigapnya membuatkan atau menyuguhkan minuman untuk tamu, siapa yang tidak senang jasmani dan rohaninya?  

Blabla, walaupun banyak sekali hal yang saya pelajari sendiri dan seringnya dengan pahit, dan walaupun banyak hal yang orangtua saya lakukan dan tidak ingin saya tiru, tetapi mama  dan ayah saya setidaknya mengajarkan saya untuk masak dengan hasil akhir enak, menyuguhi tamu dengan makanan terbaik dari camilan, makanan inti, dan penutup, memastikan tamu kenyang dan bahagia perutnya setelah pergi dari rumah kami. Itu hal yang bisa saya ambil dan saya jalankan di keluarga saya sekarang. Saya suka masak dan makan, ingin orang yang saya sayang menikmati masakan yang saya masak, ingin menyuguhi tamu versi makanan dan minuman yang terbaik, dan kalau tidak melakukan semua itu, hal dekat masakan yang saya lakukan adalah menonton acara-acara memasak, dari Nigella Lawson, Jamie Oliver, Gordon Ramsay, Alex French Guy Cooking, juga  belakangan Chef's Table dan Ugly Delicious.

Soal masak, saya takjub pada bagaimana pikiran bekerja untuk membayangkan perpaduan rasa, dan perbedaan kualitas dan kuantitas bahan makanan dan waktu yang digunakan bisa menjadi parameter dalam kelezatan masakan tersebut. Seberapa besarnya porsi, seberapa sehatnya pilihan bahan-bahan, bumbu-bumbu, tampilan, dan hasil akhir, merupakan cerminan dari identitas kita dan persepsi kita soal makanan. Seberapa dermawannya kita juga bisa dicerminkan dari seberapa mau kita berbagi makanan atau seberapa mau kita memasak untuk tamu dan orang yang membutuhkan. Kalau saya, ada pengecualian dalam berbagi yang tidak berurusan dengan kedermawanan, yaitu saya tidak mau makan semangkuk makanan berkuah ramai-ramai karena alasan kebersihan (jijik kan kalau dalam semangkuk makanan berkuah ada air liur selain punya kita). 

Dalam memasak, saya tahu bahwa cinta pada makanan saja tidak mencukupi, karena setidaknya kita mesti memiliki pengetahuan yang bagus mengenai perpaduan rasa, dan itu mensyaratkan pengalaman kuliner yang banyak dan beragam. Lihat kan, pikiran terbuka itu bisa diterapkan di berbagai aspek (dan bisa dikenali di berbagai aspek, jadi kalau orang yang kalian kencani menggerutu dan mengeluh sehabis makan yang bukan nasi, mungkin kalian mesti waspada). 

Saat makan,  saya menikmati betul makanan saya, dengan mengamati warna dan komposisinya, menghirup aromanya, mengunyah lambat-lambat, merasakan teksturnya di lidah, dan merasakan rasa yang bercampur dalam mulut saya. Dalam piring saya, makanan yang saya anggap paling berharga biasa saya sisakan di akhir. Orang biasa berpikir kalau ada nasi dan ayam, mestinya yang disisakan di akhir itu ayam karena mestinya ayam lebih enak dari nasi, dan ada omongan konyol semacam kamu bisa dinilai pekerja keras atau bisa berhemat kalau menyisakan ayam di akhir. Itu memang omongan konyol belaka. Saya pernah dapat potongan ayam yang rasanya menjijikan karena sepertinya  proses memasaknya jorok dan potongannya mengerikan karena dilakukan serampangan, tapi mesti saya habiskan kata lirikan mama saya, karena saat itu acara keluarga setahun sekali macam lebaran dan bakal tidak sopan kalau tidak menghabiskannya. Tapi buat upaya saya yang makan potongan ayam duluan dengan cepat tanpa mau merasakan, lalu menyumpal mulut saya dengan nasi dan minum air banyak-banyak, yang saya dapatkan adalah komentar konyol yang sebaliknya dari yang saya cantumkan di atas, makanya saya tidak suka primbon semacam itu dan belajar tidak peduli lagi dengan apa yang sopan buat sekedar etiket atau norma. Saya hanya mau peduli pada etika sebenarnya.

Kembali pada kepolosan makanan, yang sebetulnya tidak polos karena ada banyak rasanya, kata George Bernard Shaw, tidak ada cinta yang lebih tulus dibanding cinta makanan. Proses berulang dari belanja (kalau tidak menanam dan panen sendiri), membersihkan bahan makanan, memasak, makan dan menikmati makanan, mencuci piring, buang air kecil dan besar, ulang lagi dan seperti itu terus sampai kita mati, mungkin memberikan gagasan samar soal apa itu cinta, atau kalau kalian masih senang hidup seperti bangsawan dan memiliki pembantu, kalian bisa melewati berbagai tahap awal hingga hanya makan lalu buang air kecil dan besar saja. Bagaimanapun, kita makan supaya tetap hidup sama saja seperti hewan-hewan lainnya, atau berburu dan makan seperti hewan-hewan lainnya (dulu, hingga lalu ada pertanian), tetapi memasak merupakan kegiatan yang manusiawi, yang sebenarnya sayang untuk dilewatkan karena dalam bekerja kecil-kecilan itu, ada gagasan tersembunyi soal keindahan rasa di akhir yang mesti diupayakan, dan yang kandungannya akan masuk dan dicerna tubuh kita, dan menjadi sekian persen dari diri kita.