27 June 2018

Ik hou van Nederland


Saya sangat suka Belanda. Orang-orangnya rendah hati, jujur, santai tapi sigap membantu, tidak suka ikut campur urusan orang tapi sentimental. Bandingkan dengan di Indonesia misalnya, ketemu orang tak dikenal yang tak bakal ditemui lagi, naik gojek atau gocar hanya 10 menit saja, saya ditanya sudah punya anak atau belum, kalau belum, kenapa? Melelahkan bila setiap hari berhadapan dengan orang-orang semacam itu. Tapi kalau kita tidak mau menjawab atau mengobrol, kita akan disebut "sombong". Serba salah. 

Yang saya suka disini adalah orang-orang, seperti keinginan pikiran saya, berkomunikasi seperlunya. Bila mau mengobrol, itu adalah obrolan keseharian yang ringan dan menyenangkan atau malah yang menggugah perspektif sekalian. Tidak ada pertanyaan yang tidak perlu, tidak ada ejekan untuk berupaya akrab, tidak ada pikiran negatif yang membuat segala hal menjadi buruk. 

Teman-teman saya disini adalah orang-orang baik, pintar, dan berpikiran terbuka. Kewarganegaraan mereka beragam, tetapi kami sama-sama menginginkan kehidupan dan lingkungan yang lebih baik. Kami tahu persis bahwa, jauh dari siapa-siapa, kami bisa menjadi keluarga tersendiri. Kami hidup berdekatan, paling jauh hanya jarak jalan kaki 30 menit. Kami tidak perlu pamer foto ketika berkumpul, kami tidak perlu berkumpul di tempat-tempat mewah karena disini segala sesuatunya sudah cukup baik, hingga seringkali cukup untuk saling berkunjung di tempat tinggal kami masing-masing, memasak bersama, atau membawa makanan untuk dimakan bersama. Salah satu hal yang menyenangkan adalah pertukaran budaya melalui makanan, kami suka bertukar makanan asal negara kami masing-masing dan mengapresiasi satu sama lain. Misalnya saya jadi rutin makan masakan rumah berbagai negara, dan itu terasa lebih menyentuh daripada makan makanan tersebut di restoran. Ada sentuhan rumahan yang sederhana, yang dibuat oleh orang-orang yang barangkali tadinya jarang masak tapi ketika disini rindu dan mau membawa rasa masakan rumah sebisa mereka, misalnya pollo guisado dan arroz con habichuelas rojas dari Dominika, bak kut teh, taiwanese beef stew, berbagai masakan Korea, Taiwan, India, dan Amerika lainnya (meskipun masakan Amerika sudah familiar buat orang Indonesia, seperti mac and cheese, brownie, dan cookie). Mereka juga jadi tahu dan sangat doyan rasa nasi goreng dan sambal yang dibuat dengan bahan-bahan segar oleh saya, yang jelas berbeda dengan rasa instan yang sangat tereduksi di Albert Heijn, Aldi, dan Jumbo. 

Berbagai sarana transportasi disini sangat menarik. Bila di Indonesia orang akan berlomba naik mobil (saya pun juga sih, terutama supaya aman dari gangguan orang-orang rawan dan menghindari panas yang tak terkira) entah untuk alasan kenyamanan, keamanan, atau ajang pamer, yang jelas begitu banyaknya mobil (karena bahkan satu rumah tangga kelas menengah mau mencicil sampai punya tiga mobil meskipun mereka tidak punya garasi mencukupi jadi parkir di jalanan) membuat jalan raya macetnya luar biasa. Di Belanda, mobil hanya salah satu dari sekian, dan urusan parkir jelas lokasinya dan tegas biayanya. 

Disini, selain transportasi umum yang jelas aman dan nyaman seperti metro, tram lama atau baru, bus, waterbus, watertaxi, untuk transportasi pribadi, selain yang jelas jalan kaki, kita bisa beli atau sewa sepeda (banyak perusahaan sewa sepeda disini), atau scooter, skateboard, rollerblade: inline skates atau quad skates, bakfiets (sepeda dengan "gerobak" untuk memuat anak-anak), mobil lucu dengan bak untuk beberapa orang, greenmobility (mobil listrik roda tiga kecil dan pendek untuk ukuran satu orang posisi duduk selonjor seperti di mobil balap), canta (mobil mikro untuk dua orang, yang tadinya dirancang untuk orang-orang difabel), hamsterball (sepertinya untuk hiburan saja), bahkan juga ski di atas jalan. Transportasi air pribadi juga beragam, dari canoe, kayak, yacht, kapal layar, motorboat, swanboat, dan seterusnya. Pokoknya saya selalu terhibur setiap berpapasan dengan berbagai transporasi pribadi yang unik itu. Hal lain yang menghibur tapi menyentuh hati ketika melihatnya di jalan raya adalah, bagaimana satu keluarga pirang, papa dan mama membonceng anak-anaknya di sepeda dengan beriringan, asyik saja berkendara, tidak peduli pada hujan gerimis (biasanya true Dutch tidak peduli pada gerimis, hujan, dan angin, mereka tidak suka pakai payung bahkan ketika jalan kaki, cukup jaket saja, tapi juga, hujan disini selalu lebih manusiawi dan tidak akan langsung membuat kita basah kuyup, jalanan pun dibangun dengan sangat baik resapannya sehingga jarang sekali ada becekan).

Saya juga suka bahasa mereka yang lucu dan persis, misalnya granat appel (apel granat=delima), huis dier (hewan rumah=hewan peliharaan), dan berbagai kata-kata diskon di toko-toko (korting, alles moet weg). Ya, saya memiliki semangat serupa dengan mereka, senang melihat diskon, kalau bisa gratis sekalian, tidak mau bayar, paling senang ditraktir! Saya sudah mempunyai teman pedagang langganan di market, yang kalau melihat saya dia langsung memanggil supaya saya menghampirinya, lalu dia menyodorkan produk terbaiknya, misal sekotak strawberry termerah yang dia sembunyikan di laci konter, dan memberikan diskon juga pada saya. Kadang saya belanja beberapa tapi hanya membayar untuk satu item saja (lalu karena dia terlalu baik saya jadi tidak enak).

Mau bicara bahasa Belanda atau bahasa Inggris disini cukup tricky. Beberapa orang hanya mau berbahasa Belanda, tapi beberapa orang lainnya senang menunjukkan kemampuan bahasa Inggris mereka yang sempurna dan beraksen British. Tapi secara umum, orang Belanda akan sangat senang dan merasa dihargai bila kita mau mengucapkan kata-kata atau bahkan kalimat Belanda walaupun masih canggung. Tiap orang kantoran, pak pos, kasir dan pelayan toko, supermarket, dan restoran, orang-orang di market baik pedagang maupun pengunjung, akan suka mendengar kita bicara bahasa Belanda, tersenyum, mengacungkan jempol, dan kalau benar-benar tak menyangka, akan berkata, "Ah, spreekt u Nederlands?!" lalu mengajak bicara lumayan panjang (yang mana saya masih belang-belang Inggris-Belanda). Misalnya teman pedagang saya di market tadinya menolak sama sekali bicara bahasa Inggris supaya saya bicara bahasa Belanda pada dia, tapi beberapa minggu kemudian dia bicara bahasa Inggris yang canggung ke saya, supaya kita bisa berkomunikasi. Yang jelas, walaupun berbeda kemampuan bahasa, kita bisa tahu niatan baik seseorang, untuk saling mau berusaha mengucap bahasa yang dimengerti.

Berada di sini, bertemu dengan makanan-makanan Belanda, belajar bahasa Belanda, saya jadi makin mempertanyakan apa itu Indonesia dan nasionalisme yang membabi buta, yang tidak mau mengakui bahwa Indonesia mengambil bentukannya melalui sejarah panjang kolonialisme Portugis, Belanda dan pengaruh budaya berbagai pedagang Arab, Cina, India. Bahkan kita orang Indonesia memiliki turunan-turunan tersebut. Banyak kata-kata di bahasa Indonesia yang saya temui di bahasa Belanda, walaupun saya sudah tahu bahwa bahasa Indonesia kebanyakan merupakan bahasa serapan dari Portugis, Belanda, dan Arab, tiap bertemu bahasa yang serupa saya selalu terhibur juga. Koffer di bahasa Belanda misalnya, di Indonesia jadi koper. Emmer di bahasa Belanda, di Indonesia jadi ember. Frikandel jadi perkedel. Kaastengels setidaknya, tetap sama. 

Blablabla, saya tidak tahu mau tulis apa lagi. Keluhan saya hanya, biasanya kamar mandi Belanda itu sempit, entah itu ruang toilet atau shower! Tapi kekurangan itu tertutupi dengan segala kelebihan disini. 
Fijne dag!