7 January 2019

Sebuah Buku dengan Lakban Hitam



Setelah hampir setahun tinggal di Rotterdam, sejak tengah Desember 2018 hingga Januari 2019 saya dan suami tinggal di Kortenhoef sebelum kami pindah ke ‘s-Hertogenbosch. Di Kortenhoef, kami tinggal di vila yang merupakan bagian dari rumah tua tahun 1896. Pemilik rumah dan vila tersebut merupakan pasangan lansia yang aktif, usia mereka 80 tahun. Jaap, adalah profesor yang pernah mengajar di Universitas Erasmus, bekerja di perusahaan konsultan ternama selama berpuluh tahun, pemilik perusahaan, dan anggota dewan di beberapa museum dan yayasan penelitian. Sementara, Anne merupakan mantan direktur suatu institusi Amerika di Belanda dan sekarang mengajar bahasa Belanda dengan sukarela. Mereka punya anak dan cucu, rumah mereka bertabur karya seni. Itu adalah beberapa dari sedikit yang saya tahu setelah kami makan malam dan mengobrol dengan mereka. Kami makan nasi goreng ayam buatan saya, lengkap dengan kroepoek, lalu setelahnya mereka membuatkan kopi dan menyuguhi kami makanan penutup kue lapis legit, yang kalau di sini disebut spekkoek. Selain banyak restoran Indonesia di Belanda, sambal, kroepoek, dan spekkoek juga merupakan menu sampingan yang biasa ditemukan di rumah-rumah Belanda.
Sehari sebelum makan malam itu, cuaca Belanda di musim dingin seperti biasa kelabu, sangat dingin, dan sangat berangin. Seperti biasa, saya hendak belanja kebutuhan makanan sehari-hari, tetapi saya belum terbiasa dengan transportasi umum di Kortenhoef yang tidak seperti di Rotterdam. Di Rotterdam, kami tinggal di apartemen modern di area strategis yang dekat kemana pun. Dari apartemen kami, Erasmusbrug dan sungai Nieuwe Mass yang terlihat dari jendela kami hanya berjarak tiga puluh dan sepuluh menit jalan kaki, hutan Kralingse dan danaunya hanya berjararak tiga puluh menit jalan kaki, pusat belanja bahan makanan di Kralingen hanya sepuluh menit jalan kaki, dan untuk ke pusat kota atau ke luar kota, stasiun tram hanya empat menit jalan kaki, halte bus dan stasiun kereta hanya enam menit jalan kaki. Di Kortenhoef, apartemen jarang terlihat, rumah-rumah jauh lebih jarang dan terlihat lebih kuno, dan tranportasi umum di dalam kota hanya ada bus yang muncul satu jam sekali. Saya pun bersiap naik bus dengan membawa troli belanja dan untuk bosan menunggu di halte. Tetapi saat berjalan di halaman, saya berpapasan dengan para pemilik rumah yang kebetulan juga mau pergi ke Hilversum, lalu saat tahu saya mau ke pusat perbelanjaan di Meenthof, langsung mengajak saya untuk ikut naik mobil mereka saja karena searah. Pulang dari sana, saya yang salah naik bis lalu turun untuk jalan kaki dengan troli belanja saya di tengah cuaca yang sangat dingin, hujan, dan sangat berangin. Sambil terus berjalan dan membenarkan syal yang tertiup angin, saya mulai khawatir akan tidak enak badan. Hingga seseorang memanggil dan ternyata mereka lagi, Anne dan Jaap. Mobil mereka berhenti dan mengajak saya masuk lagi. Dalam sehari, kebetulan dengan mereka itu terjadi dua kali. Dua kali dalam sehari mereka dengan baik hati menolong saya dari cuaca ekstrem.
Sebenarnya perhatian dan kebaikan mereka secara umum selama saya berada di sana sangat berkesan buat saya. Sebab sepengetahuan saya, bahkan banyak orang-orang yang toh tidak se-mengagumkan mereka tetapi malah merasa diri mereka begitu tinggi dan tingkahnya pada orang lain dingin, mudah merendahkan, dan jauh dari terpuji. Tanpa basa-basi, karena kami tamu dan mesin cuci berada di rumah mereka, mereka mencucikan dan melipatkan baju-baju kami sekalian. Belum lagi, dari hari pertama, mereka langsung meminjamkan sepeda, lengkap dengan tas sepeda, dan rompi warna terang untuk bersepeda di malam hari. Sesekali, mereka mengecek dan bertanya apakah pemanas ruangan bekerja, apakah sudah hangat buat kami, apakah kami perlu sesuatu. Mereka dengan murah hati dan mempercayai tamu, memberikan saya kunci rumah mereka kalau-kalau saya mau datang bermain piano, sebab mereka tahu piano digital saya titipkan di rumah teman saya, Maja, di Rotterdam. Juga, ketika saya bermain piano di rumah mereka, Anne yang khawatir saya butuh pencahayaan, dengan perhatian mengutak-atik dan mengganti lampu piano.
Sehari setelah makan malam dengan orang-orang baik hati itu, saya menjelajahi buku-buku yang terdapat di vila kami. Dari sekian banyak buku novel, seni, hewan, dan tumbuhan, beberapa yang menarik perhatian saya adalah buku-buku mengenai Yahudi. Dari data mengenai Yahudi di kota ini sejak abad ke-17 hingga 1945, museum Yahudi di Budapest, kumpulan cerita yang salah satunya menyinggung Anne Frank, dan yang paling menarik perhatian saya, novel The Boy In The Striped Pyjamas yang sampulnya dilakban hitam tidak karuan hingga judulnya saja yang kelihatan. Saya rasanya ingin mengelupas lakban hitam itu, tapi saya ingat bahwa itu bukan buku saya, dan lagipula ada internet. Edisi itu terbitan Black Swan, yang setelah saya cari di google, sampulnya berbeda dengan edisi lain yang saya tahu. Bila edisi lainnya hanya menampilkan desain garis-garis kelabu, edisi Black Swan dengan lebih suram menampilkan sosok seorang anak mengenakan “piyama” bergaris, lengkap dengan nomor tahanan. Seketika saya tahu, bahwa gambar itu terlalu sensitif dan traumatis untuk yang punya buku.
Untuk menonton film-film Amerika maupun Eropa yang bertema Holocaust, untuk menonton video pengadilan Adolf Eichmann, untuk membaca buku harian Anne Frank, dan untuk bertemu langsung, seruangan, serta tinggal di lahan yang sama dengan orang yang selamat dari Holocaust adalah hal yang sangat berbeda. Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan, tetapi saya juga tahu bahwa hal-hal itu bagai gunting yang bisa membuka luka lama. Terlebih, saya tahu bahwa yang bersangkutan baru saja operasi jantung. Rasa penasaran saya bertambah lagi, hingga setelah saya menghabiskan sejenak waktu di internet, ke situs genealogi, dan ke sebuah situs monumen untuk para Yahudi sejak Perang Dunia II, saya jadi benar-benar memastikan bahwa Jaap adalah salah satu orang yang selamat dari Holocaust. Bahkan, rumah dan vila ini sendiri termasuk yang selamat dari periode tersebut. Area Rotterdam misalnya, pembangunannya yang sangat modern itu terjadi selama empat dasawarsa, setelah sebagian besar area kota hancur lebur karena invasi dan pengeboman oleh Jerman di tahun 1940.
Dari situs monumen itu saya jadi tahu, bahwa keluarganya menyebar untuk bersembunyi. Ayahnya dikhianati dalam perjalanan ke Inggris dan merupakan korban yang meninggal di kamp konsentrasi Auschwitz tahun 1944. Ibunya menyamar sebagai staf rumah tangga di persembunyiannya di Eindhoven. Sementara, ia sendiri yang lahir pada tahun 1939, sejak umur tiga hingga enam tahun berada di persembunyian di Amsterdam. Di situs monumen itu, ia masih mengenang, bersyukur, dan berterima kasih pada para penolongnya. Ia disembunyikan oleh orang-orang baik hati yang rela bertaruh nyawa, dan kini, ia masih merasa berhutang bahwa seluruh kebebasannya, hidupnya sebagai suami, orangtua, dan kakek dari tujuh cucu adalah karena orang-orang baik itu (ia tidak menyebut kesuksesan dan pencapaian karirnya sama sekali). Sehari itu, saya merasa tidak karuan. Mereka menghampiri saya ke vila dan mempersilakan jika saya mau bermain piano. Saya menghindari mereka tetapi sekaligus ingin memeluk mereka dan bilang bahwa saya juga tahu duka dari diskriminasi irasional di masyarakat. Saya ingat krisis moneter 1998, penjarahan, penghancuran dan pembakaran toko, perusahaan, dan rumah, dan berbagai kekerasan lain pada etnis Tionghoa seperti pemerkosaan dan pembunuhan perempuan Tionghoa. Peristiwa tersebut berdampak besar dan negatif pada hidup keluarga saya, hingga kami sekeluarga tak pernah benar-benar membicarakannya. Saya ingat ayah saya membawa saya ke kantornya yang baru dihancurkan orang-orang. Sebelum itu, beberapa kali saya hilir mudik di kantornya, sehingga saya yang masih kecil itu merasa sedih menyaksikan ruangan-ruangan yang pernah saya lihat utuh, jadi puing. Di puing-puing dan pecahan kaca itu, ayah saya kehilangan pekerjaannya. Sementara, pada saat yang sama, toko elektronik milik orangtua teman saya di daerah Glodok dibakar habis. Teman saya yang sama, menceritakan pada saya bagaimana ia juga melihat orang dibakar hidup-hidup dalam mobil.
Survival bisa bermakna melanjutkan hidup meski sempat ditempa kondisi-kondisi yang begitu sulit, mengalahkan bahaya yang mengancam hidup, dan mengatasi bentuk-bentuk penderitaan. Seseorang bisa saja mandiri, merasa cukup cerdas, kuat, dan tidak butuh orang lain, tetapi ada kejadian-kejadian yang mengingatkan bahwa bagaimanapun, manusia masih butuh kebaikan dari sesama manusia. Manusia memiliki survival instinct, tetapi faktor seperti survival skills dan faktor yang tidak bisa diprediksi seperti keberuntungan juga berpengaruh. Sering kali, yang selamat atau yang tetap bertahan hidup disebut survivor, entah dari kekerasan dan penelantaran masa kecil, penyakit berbahaya yang mematikan, hubungan negatif penuh kekerasan psikis, kecelakaan, dan hal buruk lainnya. Hal yang traumatis tidak membuat seseorang lupa, tetapi kadang seseorang butuh semacam pengingat. Buku-buku tersebut ada, disimpan jauh, dan terpisah dari rumahnya, karena untuk melihat pengingat setiap hari tentu akan terasa menjengkelkan dan menyakitkan. Tetapi meski disingkirkan, lokasinya cukup dekat dan jelas untuk suatu waktu bisa dikunjungi kembali.
Beberapa hari kemudian, kami kembali berada di satu ruangan yang sama. Turunan bekas negara penjajah, turunan bekas negara yang dijajah, anak kecil yang selamat dari Holocaust dan Perang Dunia II, dan anak kecil yang selamat dari krismon dan kekerasan 98. Duduk bersama, menikmati spekkoek, kopi, dan musik klasik. Di sela percakapan mengenai Jerman yang dulu Nazi, juga melihat album foto perjalanan hidup mereka sebagai manusia, bukan sebagai korban, saya memahami bahwa mereka sudah melampaui hal-hal gelap yang menyakiti mereka. Mereka bukan hanya survivor, lingkup survivor terlalu sempit dan sedih. Mereka lebih dari itu, bergerak, berkembang, berprestasi, hingga di hari tua, semua yang pernah menyakiti terasa seperti mimpi buruk yang samar saja. Dari jendela, nampak rombongan kecil bebek mallard yang terbang dengan formasi V, melintasi sungai hingga makin jauh dan tak terlihat lagi. Saya bersyukur pada menariknya hidup saya belakangan. Tinggal hampir setahun di kotanya Desiderius Erasmus: Rotterdam, bertemu dengan Holocaust survivor di Kortenhoef, dan akan pindah ke kotanya Jheronimus Bosch: ‘s-Hertogenbosch. Pikiran saya lari lagi, bahwa bertemu orang-orang luar biasa hebat dan baik hati sangat menyenangkan, menghangatkan hati, dan merupakan contoh positif untuk menjadi orang yang lebih baik. Kebaikan dari orang-orang baik juga membangkitkan harapan positif untuk kemanusiaan secara umum. Lalu pertanyaan di cerita What We Talk About When We Talk About Anne Frank terlintas di pikiran saya, “Bila (amit-amit), terjadi lagi peristiwa kekerasan dan genosida, siapa kira-kira kenalan atau orang di hidup kamu yang mampu menyelamatkan kamu? Atau, yakinkah kamu bahwa orang terdekat dalam hidup kamu mampu bertaruh nyawa untuk menyelamatkan hidup kamu? Atau, mampukah diri kamu menyelamatkan hidup kamu?”

Update: di pagi hari 18 Januari 2019 yang bersalju, tanpa diduga saat baru kembali dari kebun, saya mendapat dua tiket konser di Het Concertgebouw Amsterdam dari mereka berdua yang baik sekali itu. Seperti yang mungkin kalian tahu, harga tiket konser di Eropa cukup mahal apalagi bila di gedung konser ternama. Sekitar 18 hingga 60 euro, jadi saya memang beruntung lagi. Programnya Debussy - Prélude à l’après-midi d’un faune, L. Andriessen -  Agamemnon (Dutch premiere), dan Unsuk Chin – Le chant des enfants des étoiles (Dutch premiere). Selain itu, saya tentu beruntung dipertemukan dengan dua orang baik, peduli, rendah hati, sangat pintar, egaliter, sukses, dan mandiri. Hidup mereka yang utuh sangat menginspirasi saya untuk terus memperbaiki diri, untuk terus belajar, dan untuk berkontribusi di bidang yang saya mampu.