To get one thing that we like, we usually have to give up another thing that we like. Making decisions requires trading off one goal against another.
Di kelas filsafat ekonomi beberapa tahun lalu, saya berkenalan dengan prinsip ekonomi seperti itu dan sangat setuju dengan TINSTAAFL atau “There is no such thing as a free lunch.”
Di dunia ini tidak ada hal yang gratis. Selama pendidikan magister ini saya sempat merasa jenuh dan frustrasi dengan begitu banyak tugas yang harus dikerjakan dan begitu banyak waktu yang harus dihabiskan untuk sekedar memikirkan maupun benar-benar mengerjakan tugas-tugas itu. Sebenarnya ada banyak sekali hal yang saya sukai dan ingin lakukan tetapi tidak bisa karena harus mengorbankannya demi prioritas saat ini. Selalu ada 24 jam untuk setiap orang, tetapi 24 jam itu selalu digunakan berbeda oleh setiap orang. Beberapa orang akan melalui hari tanpa beban pikiran dan kerjaan yang berarti dan 24 jam itu cukup atau mungkin kelebihan bagi mereka, sementara beberapa orang lainnya akan melalui hari dengan beban pikiran dan kerjaan yang banyak sehingga 24 jam itu terasa tidak cukup bagi mereka, hal yang belakangan dapat disebut time poverty, agaknya.
Saya misalnya harus mengorbankan kehidupan sosial saya yang sedikit namun berharga, saya harus mengorbankan waktu bersenang-senang dan bersantai, saya harus mengorbankan bahkan kesenangan saya membaca yang entah mengapa berkurang terus selama mengerjakan tugas-tugas. Saya harus mengorbankan memutuskan berhenti dari belajar piano lagi di konservatori karena selain perjalanan pulang-perginya bisa memakan waktu hingga 6 jam bila macet parah, saya juga tidak dapat berlatih cukup baik (karena semangat mengerjakan tugas kuliah), dan kalaupun saya berhasil menyempatkan berlatih dengan cukup baik (tapi mengerjakan tugas kuliah sekedarnya), setelah menyetir beberapa jam, sesampainya disana jari-jari saya kaku dan tidak bisa menunjukkan hasil latihan saya dengan baik, dan sepulang dari kemacetan itu saya bisa hibernasi hingga besoknya terlambat masuk kuliah pagi. Sia-sia saja bila saya melanjutkan hal yang saat ini tidak efektif. Saya juga harus memutuskan terus mengurangi jam mengajar piano karena mengajar itu melelahkan pikiran juga (apalagi kalau muridnya enggan belajar layaknya tipikal murid tempat les pada umumnya) dan saya juga butuh waktunya yang saya rasa bisa saya gunakan dengan lebih bermanfaat daripada di tempat les.
Saya pernah ditanya, “Apakah kamu bermain/belajar alat musik lain? Gitar? Biola? Drum?”. Saya jawab, “tidak”. Pertanyaan tersebut tentu fleksibel, bisa diganti dengan variabel lain asalkan maksudnya sama. Saya tidak menjelaskan alasannya karena kebiasaan saya yang tak suka berbicara banyak. Ini adalah kebiasaan yang kadang juga merugikan diri saya karena kecenderungan itu membuat saya baru terpikir lebih dalam saat-saat berikutnya dan ketika saya menemukan kalimatnya tentu percakapan itu sudah tidak ada disana. Alasannya adalah setidaknya untuk saat ini selain karena saya tidak punya kemewahan waktu karena bagi saya kegiatan saya sudah cukup banyak tanpa harus merasa membebani diri lagi. Saya selalu memikirkan tujuan dari segala sesuatu maupun apa yang akan saya lakukan (pernah ada yang menjuluki saya pragmatis dengan nada peyoratif, tapi saya rasa yang lebih tepat justru teleologis(?)). Jadi apa tujuannya melakukan semua itu? Untuk sekedar bersenang-senang atau mencapai keahlian? Bila untuk bersenang-senang, saya bisa menundanya sampai saya punya waktu luang yang banyak. Bila untuk mencapai keahlian..
Dari pengalaman saya dengan orang-orang yang saya temui, dari apa yang saya ketahui selama ini umumnya seseorang tidak akan bisa dengan serius mengerjakan begitu banyak hal sekaligus dan mencapai keahlian hingga menguasai segala bidangnya. Beethoven, Van Gogh, Einstein, Nabokov, Richter, Murakami, Heidegger, misalnya adalah contoh-contoh sesuai. Jadi seseorang bisa saja mengerjakan begitu banyak hal misalnya A belajar biola, suling, timpani, menulis, melukis, bernyanyi, belajar kedokteran, panjat gunung, berenang, tapi A hanya akan menjalankan semuanya dengan kemampuan rata-rata. Bagi yang membenci mediocrity, tentu hal ini sangat tidak menarik.
Walaupun demikian, ada juga orang yang tidak umum, saya belum sempat bertemu dengan orang-orang macam ini. Mereka adalah orang yang bisa mengerjakan begitu banyak hal sekaligus dan mencapai keahlian hingga menguasai segala bidangnya. Plato, Aristoteles, Da Vinci, Descartes, Leibniz, Adorno, misalnya adalah contoh-contoh sesuai. Kim Kardashian dan Kanye West juga mungkin contoh yang sesuai walaupun tidak dapat dibandingkan dengan enam orang sebelumnya. Dari contoh ini A bisa saja mengerjakan begitu banyak hal dari belajar biola hingga berenang dan sukses di semua bidangnya. Tentu mereka sangat spesial dan bisa menjadi inspirasi bahwa hal itu masih memungkinkan.
Bagaimanapun juga, semua orang pasti memiliki prioritas untuk menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Prioritas saya saat ini adalah kuliah dengan tujuan menyelesaikan pendidikan magister dengan baik. Segala hal yang saya sukai yang saya korbankan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, tapi tentunya saya juga mendapat hal yang saya sukai lainnya. Di balik tingkah laku sistematis, punggung yang pegal, wajah yang dekil dan ekspresi yang sering datar atau malah terlalu ekspresif, ada saat-saat dimana saya mengalami braingasm, pencerahan di pikiran dan di perasaan saya, pengetahuan baru, kekayaan perspektif, petunjuk untuk kebijaksanaan, perasaan aneh bahwa saya tidak tahu mengetahui apa-apa setiap saya mendalami suatu konsep, dan seterusnya. Saya tahu (atau yakin?) dengan pendidikan ini saya sedang menuju perubahan untuk kebaikan diri saya, dan semoga saya bisa berbagi kebaikan itu agar berguna untuk orang-orang lainnya.
Selamat tahun baru.