25 March 2016

Pikiran Kecil Tentang Perekonomian

Daripada memberikan uangmu ke perusahaan-perusahaan makanan besar yang para pemiliknya bahkan sangat jauh lebih kaya darimu, mengapa tidak memberikan uangmu ke para pedagang kecil dan sedikit membantu mensejahterakan mereka?

Setiap hari, kita pasti berjumpa atau melewati orang-orang yang tetap bekerja keras walaupun upah yang mereka dapatkan atas pekerjaan mereka tidak seberapa. Saya kadang melihat bapak-bapak yang rajin menyapu jalanan besar, berpapasan di pagi hari dan siang hari, di hari kerja dan di tanggal merah, sepertinya tidak ada hari libur untuk dia. Saya juga kadang melihat bapak-bapak yang rajin mengayuh sepedanya menjual kerupuk, berpapasan di pagi hari di komplek rumah saya dan di siang hari di dekat terminal, bayangkan seberapa jauh jarak yang dia tempuh dengan sepedanya, untuk mencari nafkah. Saya kadang melihat ibu-ibu yang rajin mengayuh sepedanya untuk berjualan sayur, bayangkan seberapa jauh juga jarak yang dia tempuh dan beban yang ia kayuh dengan sepedanya.  Apa yang biasanya kalian rasakan bila berjumpa dengan mereka? Sedih? Kasihan? Atau cuek saja? 

Bila diekspresikan dengan kata, saya biasanya merasa sedih, bukan kasihan seperti pilihan kata yang umum. Kadang emosi kita membingungkan dan bisa jadi sebetulnya terbelit; ada banyak yang sebetulnya kita rasakan sekaligus seperti merasakan ketidakadilan, ketidaksamarataan, kebingungan, dan ketidakberdayaaan.

Saya pernah dapat pandangan lain yang bisa jadi plot twist untuk perasaan-perasaan berkaitan dengan kasihan. Bila kita merasa kasihan melihat orang-orang itu, bisa jadi kita menganggap diri kita lebih tinggi dibanding mereka. Kita justru harus melihat semangat mereka untuk tetap mau bekerja bukannya jadi peminta. Hal itu tidak sepenuhnya benar, tapi mungkin ada benarnya juga. Dipikir-pikir, setiap orang itu sebetulnya bergulat dan terlibat dengan kehidupan dan masalah mereka masing-masing. Tidak ada orang yang tidak punya masalah. Semuanya punya masalah berbeda dan menyelesaikan dengan cara berbeda. Tidak ada orang dengan tujuan hidup yang persis sama, tidak ada orang dengan jalan hidup yang sama.

Kembali lagi pada perjumpaan dengan para pekerja keras tapi belum beruntung secara ekonomi itu. Merasa sedih? Kasihan? Itu artinya kalian masih punya perasaan. Tidak merasakan apa-apa? Wah itu gawat, sepertinya malah kalian yang butuh bantuan. Tapi, misalnya ada rasa kasihan, hal itu saja tidak akan berdampak apapun pada mereka. Kita bisa lihat semangat mereka dan sedikit menyenangkan hati dan membantu mereka dengan melariskan dagangan mereka kan? Atau apapun hal lain yang kita bisa lakukan. Walaupun ada yang menganggap bahwa hal seperti itu seperti donasi, yang dilakukan berangkat dari kepentingan kita sendiri misalnya supaya kita tidak lagi sedih dan merasa senang karena sudah membantu, saya rasa anggapan itu terlalu sinis dan negatif. Bila ada manfaatnya, mengapa tidak? Saya rasa masalah sosial seperti itu bukan hanya tanggung jawab negara, tapi tanggung jawab sesama manusia (lagipula banyak hal yang tidak bisa ditangani negara, kan). Saya juga tahu bahwa jauh lebih baik memperbaiki permasalahan di akar penyebabnya dan mencegahnya daripada hanya mengobatinya. Tapi kita selalu berhadapan dengan yang kita hadapi, bukan?

Para ahli ekonomi bahkan mengatakan bahwa masalah kemiskinan itu adalah sesuatu yang kompleks. Amartya Sen misalnya mengatakan ada faktor-faktor geografis, biologis, dan sosial yang berpengaruh pada pendapatan individual. Yang miskin biasanya memiliki kekurangan unsur pendidikan, akses lahan, kesehatan dan umur yang panjang, keadilan, dukungan keluarga dan komunitas, sumber-sumber produksi dan kredit, suara dalam institusi, dan akses untuk kesempatan lain. Miskin tidak  hanya berarti hidup di bawah garis kemiskinan, menurut Sen batasnya tidak jelas dan secara umum artinya memiliki tingkat pendapatan yang tidak memungkinkan seorang individu untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu, dengan mempertimbangkan keadaan dan kebutuhan sosial pada lingkungan bersangkutan.

Solusi untuk mensejahterakan masyarakat dan warga negara bukan sesuatu yang sederhana dan instan, malainkan kompleks dan butuh waktu lama. Negara yang jumlah penduduknya sangat banyak sementara lapangan pekerjaan tidak sebanyak itu mungkin memberlakukan kebijakan membatasi jumlah anak dari pernikahan, tapi dalam jangka panjang, mereka malah mengalami kekurangan penduduk dan tenaga kerja di saat lapangan kerja berkembang banyak, hasilnya adalah krisis ekonomi. Negara yang makmur sehingga bisa menunjang pengangguran dengan gaji dan rumah, bisa bangkrut juga bila tadinya perusahaan-perusahaan mereka berkembang pesat hingga butuh tenaga kerja dari luar lalu terkena krisis ekonomi dan banyak pengangguran yang ditunjang. 

Lebih lanjut, ini hasil ngobrol dengan pacar saya juga, dengan perkembangan teknologi dan informasi, sekarang ada tren sharing economy yang cukup membuat chaos di beberapa negara. Di masa depan mungkin sekali ada tren menggunakan robot saja untuk mengganti semua tenaga kerja manusia yang membuat chaos secara global, hasilnya adalah pengangguran dimana-mana. Tapi bisa saja ada yang berinisiatif untuk membagi keuntungan ekonomi sehingga orang-orang tidak perlu bekerja lagi untuk bisa punya penghasilan. Ada dua kemungkinan orang-orang setelah itu: 1) orang-orang yang merasa tidak perlu sekolah dan belajar lagi, tidak perlu melakukan apa-apa lagi, ini biasanya dilakukan orang-orang yang punya mental sekolah dan kuliah untuk cari uang bukan cari ilmu, yang sukanya bertanya "Kuliah filsafat mau kerja jadi apa?" dan 2) orang-orang yang justru merasa bebas untuk melakukan dan mempelajari apapun sesuai hasrat mereka dan sesuai potensi mereka, orang-orang ini jadi agen penting untuk kemajuan peradaban dan kebudayaan.

8 March 2016

Salah Satu Penyesalan Belakangan

Salah satu penyesalan bulanan, mingguan, atau malah keseharian yang saya dan mungkin banyak orang muda lainnya alami adalah mengkhianati pikiran, pengetahuan, pengalaman, dan perasaan diri sendiri yang padahal diperoleh dengan proses tidak selalu mudah dan  dengan susah payah, hanya demi menyenangkan lawan bicara (ironisnya, seringkali yang berusaha disenangkan adalah orang yang tidak menyenangkan, saya juga heran kenapa kita perlu repot-repot demikian, tapi sebagai makhluk sosial yang waktu kecil diajarkan berbagai norma yang absurd, kita kadang sulit juga untuk melupakan norma kesopanan dan basa-basi itu lalu kita malah lupa untuk bersikap kritis karena terhambat norma-norma dan hal absurd itu). 

Dalam keseharian, kita tidak selalu menemukan lawan bicara ysng menyenangkan untuk kita, yang benar-benar tahu apa itu dialog bukan menghayati dan mendominasi dengan monolog, yang penasaran sehingga ingin bertanya tapi juga rendah hati untuk mendengar, yang paham bahwa tidak ada kaitan antara kebijaksanaan, tingkatan, dan kedalaman pengetahuan mengenai bidang-bidang tertentu dan mengenai kehidupan dengan seberapa tua usia, dan seterusnya. Bila sedang beruntung tentu senang sekali bertemu orang-orang seperti itu. Tapi sialnya, dalam keseharian justru seringnya kita malah bertemu dengan orang-orang yang berkebalikan dari segala kriteria tersebut, lalu kita sering putus asa, enggan, dan sengaja mengalah demi menghindari perdebatan karena kita tahu orang-orang itu malah akan menganggapnya sebagai konflik. Bentuk mengalah itu antara lain menggumam, mengangguk, mengiyakan sesekali, menguap, atau pura-pura tidur hingga tertidur. Orang yang sehat pikiran dan perasaannya pasti bisa membedakan dialog macam apa atau monolog macam apa yang sedang berlangsung.

Di lingkungan akademis, setiap pendapat, kritik, saran, dan perdebatan adalah hal yang biasa yang justru membantu lahirnya pengetahuan baru dan memperluas wawasan. Bahkan secara umum, segala kemajuan filsafat dan ilmu pengetahuan tidak akan ada bila seseorang hanya terjebak dalam pikiran sempitnya, tidak mau dan tidak mampu berdialog, menerima pandangan lain, kritik, dan saran. Secara metafora seperti gaya bahasa yang umum ditemukan pada kitab suci apapun itu, seorang yang seperti itu kepalanya akan membesar seperti balon dan mulutnya akan terus bicara mirip rekaman rusak yang terus mengulang-ngulang bahan usang dari kotak pikiran sempitnya. 

Tapi seberapa sering kita berada di lingkungan yang sehat secara akademis, ilmiah, dan filosofis? Seberapa sering kita berada di lingkungan yang tidak menunjang? Bagaimana agar semakin cakap dalam menempatkan diri di dua lingkungan berbeda itu dan tidak tertukar dalam bersikap? Bagaimana agar terus ingat untuk tidak mengkhianati diri?