8 March 2016

Salah Satu Penyesalan Belakangan

Salah satu penyesalan bulanan, mingguan, atau malah keseharian yang saya dan mungkin banyak orang muda lainnya alami adalah mengkhianati pikiran, pengetahuan, pengalaman, dan perasaan diri sendiri yang padahal diperoleh dengan proses tidak selalu mudah dan  dengan susah payah, hanya demi menyenangkan lawan bicara (ironisnya, seringkali yang berusaha disenangkan adalah orang yang tidak menyenangkan, saya juga heran kenapa kita perlu repot-repot demikian, tapi sebagai makhluk sosial yang waktu kecil diajarkan berbagai norma yang absurd, kita kadang sulit juga untuk melupakan norma kesopanan dan basa-basi itu lalu kita malah lupa untuk bersikap kritis karena terhambat norma-norma dan hal absurd itu). 

Dalam keseharian, kita tidak selalu menemukan lawan bicara ysng menyenangkan untuk kita, yang benar-benar tahu apa itu dialog bukan menghayati dan mendominasi dengan monolog, yang penasaran sehingga ingin bertanya tapi juga rendah hati untuk mendengar, yang paham bahwa tidak ada kaitan antara kebijaksanaan, tingkatan, dan kedalaman pengetahuan mengenai bidang-bidang tertentu dan mengenai kehidupan dengan seberapa tua usia, dan seterusnya. Bila sedang beruntung tentu senang sekali bertemu orang-orang seperti itu. Tapi sialnya, dalam keseharian justru seringnya kita malah bertemu dengan orang-orang yang berkebalikan dari segala kriteria tersebut, lalu kita sering putus asa, enggan, dan sengaja mengalah demi menghindari perdebatan karena kita tahu orang-orang itu malah akan menganggapnya sebagai konflik. Bentuk mengalah itu antara lain menggumam, mengangguk, mengiyakan sesekali, menguap, atau pura-pura tidur hingga tertidur. Orang yang sehat pikiran dan perasaannya pasti bisa membedakan dialog macam apa atau monolog macam apa yang sedang berlangsung.

Di lingkungan akademis, setiap pendapat, kritik, saran, dan perdebatan adalah hal yang biasa yang justru membantu lahirnya pengetahuan baru dan memperluas wawasan. Bahkan secara umum, segala kemajuan filsafat dan ilmu pengetahuan tidak akan ada bila seseorang hanya terjebak dalam pikiran sempitnya, tidak mau dan tidak mampu berdialog, menerima pandangan lain, kritik, dan saran. Secara metafora seperti gaya bahasa yang umum ditemukan pada kitab suci apapun itu, seorang yang seperti itu kepalanya akan membesar seperti balon dan mulutnya akan terus bicara mirip rekaman rusak yang terus mengulang-ngulang bahan usang dari kotak pikiran sempitnya. 

Tapi seberapa sering kita berada di lingkungan yang sehat secara akademis, ilmiah, dan filosofis? Seberapa sering kita berada di lingkungan yang tidak menunjang? Bagaimana agar semakin cakap dalam menempatkan diri di dua lingkungan berbeda itu dan tidak tertukar dalam bersikap? Bagaimana agar terus ingat untuk tidak mengkhianati diri?