14 October 2016

TESIS

Saya menggunakan huruf besar semua pada kata tesis karena sedang tersadar dan kaget bahwa sekarang sudah hampir tengah Oktober. Semester yang berlangsung sudah dimulai sejak bulan September dan saya merasa belum membuat kemajuan berarti terkait dengan tesis. 

Hal-hal yang terjadi belakangan seperti pernikahan, penyesuaian dengan status dan situasi baru sebagai konsekuensi menikah, menulis untuk riset, menjadi wakil kepala divisi piano klasik, menjadi host untuk bedah buku kekayaan negara dari program kesejahteraan sosial yang sama sekali berbeda dengan bidang yang saya tekuni (yang meskipun dalam proses mempelajari dan mengalaminya saya agak menderita seperti ikan yang diminta memanjat pohon, dengan pengalaman tersebut saya merasa diingatkan bahwa pertama, memperluas horizon dengan terlibat dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan itu hal baik yang bisa membuat kita tetap membumi dan melihat bahwa ada hal-hal penting lain di luar sana yang dekat sekali dengan kita, kedua, pengetahuan kita sebagai manusia sangat-sangat terbatas dan kita tak akan bisa memahami semuanya, ketiga, setiap orang seharusnya memang memiliki fokus dan kepakaran fokus masing-masing dan seharusnya saling menghargai satu sama lain) kata-kata dalam kurung terlalu panjang sampai saya lupa sampai mana. 

Hal-hal yang terjadi belakangan dari yang bisa saya sebutkan disini hingga yang tidak bisa saya sebutkan disini yang memicu berbagai emosi hingga mendekati kegilaan dan depresi, agak mengalihkan fokus saya bahwa tesis ini sangat penting supaya saya bisa lulus tentunya (sebenarnya membaca dan menulis untuk riset juga sangat membantu mengetahui arah penulisan tesis, tetapi ironisnya seperti musik atonal, semakin jelas aturannya, semakin kacau kedengarannya). Dua semester lalu, waktu bercakap-cakap dengan teman-teman sekelas yang sedang pada ngeri membayangkan situasi tesis, saya menyemangati dan berkata "Kita pasti lebih mudah menulis tesis karena sudah terbiasa menulis paper-paper hampir tiap minggunya (kurang tidur dan pegal-pegal itu biasa)." Kenyataannya, secara manusiawi, optimisme saya mengalami pasang surut. 

Sejak kemarin, karena deadline makin dekat (kami diharapkan menyelesaikan tesis tengah November karena semester dengan bulan Desember dan Januari adalah semester yang berisiko banyak libur asyik) saya merasa ngeri dan terpicu untuk membaca dan menulis dengan pantas selayaknya orang serius yang sedang tesis. Dalam prosesnya, saya teringat perkataan dari pembimbing skripsi saya yang baik hati dan punya kebajikan sebagai dosen filsafat (pak Harsa, yang sekarang adalah pembimbing tesis saya juga), di sela apresiasi dan kritik terhadap upaya saya di acara bedah buku saya dulu, beliau pernah berkata juga bahwa nanti kalau saya sudah lebih dewasa (nampaknya secara pemikiran), saya akan berubah pandangan atas pernyataan-pernyataan dalam skripsi saya. Dan beliau betul. Entah saya lebih dewasa atau apa, tesis saya dapat dikatakan sebagai entah pelengkap atau pembantah skripsi saya. Tetapi meskipun sudah usang, skripsi saya masih berguna dan tanpanya saya tidak akan melakukan lompatan dan perubahan pemikiran. Saya hanya bisa selalu setuju pada Heraclitus, yang abadi memang hanya perubahan.

13 October 2016

Entah Judul Apa

Jangankan level diskusi, pembicaraan saja tidak akan jalan dengan adanya otoritas represif.

Otoritas represif yang menyenangi segala hal yang hirarkis hanya menjinakkan pikiran lain supaya tunduk dan menurut dengan pandangan sempitnya. Hasilnya kalimat-kalimat yang muncul berbentuk sirkular saja, demi mengamini. Hasilnya potensi untuk berpikir kritis dipadamkan. Hasilnya orang terbiasa menjadi dogmatis. Tidak akan ada komunikasi tulus ataupun diskusi mulus, yang ada hanya basa-basi. 

Lalu orang-orang yang tidak sadar bernaung hanya dalam lingkup pandangan sempit itu akan kelabakan dan kesusahan bila menghadapi masalah yang beragam dalam hidup. 

Bahkan pelukis tidak cukup menggunakan tangan dan jari untuk berkarya, ia harus punya beragam pengetahuan, pengalaman, dan kuas favoritnya supaya karyanya bermutu. 

Untuk orang-orang yang terjebak dengan hanya penampakan di dunia, mereka tidak akan repot dan terganggu untuk berpikir "Apa yang ada di balik penampakan itu?" Bagaikan manusia-manusia gua yang dirantai dan terjebak dengan kegelapannya, dunia bayangan dari kenyataan di luar adalah satu-satunya kebenaran bagi mereka. Ketika ditunjukkan bahwa kebenaran tidaklah seperti bayangan mereka, mereka mengamuk, berteriak, dan menganggap orang itu gila. 

Untuk yang terjebak di dunia penampakan dan kesulitan berpikir abstrak, mereka tidak akan bisa menarik abstraksi di kehidupan keseharian, misalnya saja memilih dua politisi yang buruk seperti buah yang busuk. Ketika disuruh memilih, mereka akan dengan senang hati memilih salah satunya, berdasarkan citra yang mereka senangi, supaya disebut bermasyarakat. Mereka tidak akan berpikir sampai "Untuk apa memilih dua buah yang sama-sama busuk?" dan bahwa tidak memilih juga merupakan suatu pilihan dalam bermasyarakat. Mereka tidak akan bisa membedakan antara membicarakan orang dengan tujuan baik dan membicarakan orang dengan tujuan buruk, bahkan mereka tidak menyadari bahwa membicarakan orang adalah salah satu hal yang kadang tidak dapat dihindarkan. Membicarakan kondisi seseorang yang mengalami permasalahan dengan keluarganya karena peduli pada dampaknya atas dirinya dan performa kerjanya jelas berbeda dengan membicarakan seseorang karena hasrat bergosip. Mereka juga memahami kata bijak "Jangan mencampuri urusan orang lain" dengan literal, hingga menghiraukan istri atau anak tetangga mereka yang sering lebam dan bersedih karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain hingga tak peduli, dan lama kelamaan jadi tidak pedulian lalu mengatasnamakan kata bijak tersebut.

Mereka juga akan hobi menonton berita dan membaca koran, tapi tanpa mengetahui dan mengkritisi bahwa semua berita tersebut dimiliki oleh orang atau kelompok orang yang berkuasa dengan memiliki agenda tertentu. Segala berita berlalu bagaikan hiburan yang seru. Di waktu luang, sesuai ajaran dan didikan masyarakat kapitalis, mereka tidak akan susah-susah membaca buku serius, mendengar musik serius, mengapresiasi karya-karya serius, justru kebalikannya.

Entah saya mau bicara apa, tapi saya ingin menjaga pikiran dan akal sehat saya.