13 October 2016

Entah Judul Apa

Jangankan level diskusi, pembicaraan saja tidak akan jalan dengan adanya otoritas represif.

Otoritas represif yang menyenangi segala hal yang hirarkis hanya menjinakkan pikiran lain supaya tunduk dan menurut dengan pandangan sempitnya. Hasilnya kalimat-kalimat yang muncul berbentuk sirkular saja, demi mengamini. Hasilnya potensi untuk berpikir kritis dipadamkan. Hasilnya orang terbiasa menjadi dogmatis. Tidak akan ada komunikasi tulus ataupun diskusi mulus, yang ada hanya basa-basi. 

Lalu orang-orang yang tidak sadar bernaung hanya dalam lingkup pandangan sempit itu akan kelabakan dan kesusahan bila menghadapi masalah yang beragam dalam hidup. 

Bahkan pelukis tidak cukup menggunakan tangan dan jari untuk berkarya, ia harus punya beragam pengetahuan, pengalaman, dan kuas favoritnya supaya karyanya bermutu. 

Untuk orang-orang yang terjebak dengan hanya penampakan di dunia, mereka tidak akan repot dan terganggu untuk berpikir "Apa yang ada di balik penampakan itu?" Bagaikan manusia-manusia gua yang dirantai dan terjebak dengan kegelapannya, dunia bayangan dari kenyataan di luar adalah satu-satunya kebenaran bagi mereka. Ketika ditunjukkan bahwa kebenaran tidaklah seperti bayangan mereka, mereka mengamuk, berteriak, dan menganggap orang itu gila. 

Untuk yang terjebak di dunia penampakan dan kesulitan berpikir abstrak, mereka tidak akan bisa menarik abstraksi di kehidupan keseharian, misalnya saja memilih dua politisi yang buruk seperti buah yang busuk. Ketika disuruh memilih, mereka akan dengan senang hati memilih salah satunya, berdasarkan citra yang mereka senangi, supaya disebut bermasyarakat. Mereka tidak akan berpikir sampai "Untuk apa memilih dua buah yang sama-sama busuk?" dan bahwa tidak memilih juga merupakan suatu pilihan dalam bermasyarakat. Mereka tidak akan bisa membedakan antara membicarakan orang dengan tujuan baik dan membicarakan orang dengan tujuan buruk, bahkan mereka tidak menyadari bahwa membicarakan orang adalah salah satu hal yang kadang tidak dapat dihindarkan. Membicarakan kondisi seseorang yang mengalami permasalahan dengan keluarganya karena peduli pada dampaknya atas dirinya dan performa kerjanya jelas berbeda dengan membicarakan seseorang karena hasrat bergosip. Mereka juga memahami kata bijak "Jangan mencampuri urusan orang lain" dengan literal, hingga menghiraukan istri atau anak tetangga mereka yang sering lebam dan bersedih karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain hingga tak peduli, dan lama kelamaan jadi tidak pedulian lalu mengatasnamakan kata bijak tersebut.

Mereka juga akan hobi menonton berita dan membaca koran, tapi tanpa mengetahui dan mengkritisi bahwa semua berita tersebut dimiliki oleh orang atau kelompok orang yang berkuasa dengan memiliki agenda tertentu. Segala berita berlalu bagaikan hiburan yang seru. Di waktu luang, sesuai ajaran dan didikan masyarakat kapitalis, mereka tidak akan susah-susah membaca buku serius, mendengar musik serius, mengapresiasi karya-karya serius, justru kebalikannya.

Entah saya mau bicara apa, tapi saya ingin menjaga pikiran dan akal sehat saya.