16 February 2018

Kehidupan di Rotterdam Sejauh Ini

Tidak terasa sudah sebulan lebih saya tinggal di Belanda bersama suami. Kadang sebelum tidur semua masih terasa seperti mimpi. Saya masih ingat waktu pesawat mau mendarat di Schiphol, diiringi orkestra dari headphone saya, saya terharu melihat Amsterdam dari langit malam, lampu-lampu kota yang bersinar terlihat begitu teratur. Bangunan-bangunan berbaris dengan rapi. Tidak tercium tanda-tanda kebodohan dan kemunafikan masyarakat begitu tiba disana. Sebulan berada di Rotterdam, Belanda, saya merasa bisa memanggilnya rumah. Lucu kan menyebut rumah pada negara yang bahkan mengucapkan bahasanya saja saya masih terbata-bata. Saya salah lokasi lahir.

Bagaimana bisa tidak cinta pada negara yang toleran? Yang kota, industri, dan ekonominya maju, tetapi alamnya tetap terjaga baik? Yang orang-orangnya sibuk dengan urusan dan diri masing-masing sehingga tidak usil mengganggu orang lain, namun tetap peduli pada tempatnya? Yang membuatmu merasa aman dan nyaman dan mendukung tubuh dan pikiranmu tetap sehat dengan udara, makanan, dan air yang sehat?

Disini saya bisa dengan asyik dan tenang berjalan kaki sendiri kemanapun, ke kota atau ke hutan hingga empat jam, tanpa diganggu dan tanpa pelecehan seksual apapun. Di Indonesia, saya berjalan kaki belum ada lima menit, sudah ada setidaknya dua pelecehan seksual macam siulan, komentar, panggilan sialan, tak peduli seberapa panjangpun pakaian saya. Satu jam misalnya di kereta, sudah ada predator yang menempel menggeliat bukan karena kereta penuh tetapi meminta dipukul kepalanya dengan payung hitam saya atau dipotong habis saja tititnya supaya tidak nempel-nempel lagi. 

Disini saya makan dengan menu yang lebih sehat, karena saya yang menyiapkannya, dan karena  disini makan makanan sehat adalah pilihan rasional. Harga junk food di tempat makan itu lebih mahal dibanding sayur, buah, daging, dan ikan segar. Saya sudah berputar-putar kesana kemari mencari harga terbaik buat segala jenis barang, dan jadi tahu beli daging, roti, dan susu, harga terbaiknya di supermarket apa, beli buah dan sayur di pasar apa, dan beli produk-produk kecantikan di toko apa. Disini, suasana sosial dan ekonomi akan mendukung supaya hidup lebih sehat. Kita tidak akan dicemooh "sok diet"(WTH, diet is habitual nourishment!) karena sarapan sayur dan buah. Kamu akan tergerak untuk berjalan banyak, bersepeda atau lari, karena selain banyak yang melakukannya, kamu tidak akan terganggu dan diganggu, malah akan menikmati pemandangan indah, langit yang berwarna banyak, burung-burung sehat yang berkicau, seberapa jauh kamu pergi. 

Saya juga beruntung karena suami saya tidak pernah meminta apapun kecuali satu hal dari saya, yaitu lebih sabar, hehe. Kadang kalau lihat dari sosial media orang-orang yang menikah, sebagai istri, beberapa dari mereka kasihan sekali karena sering pakai kata-kata "disuruh suami bikin ini, itu," atau waktu ketemu mereka di acara kondangan atau apa, mereka diperintah suaminya dengan super bossy, bahkan urusan gendong anak, memotret, atau jalan saja ada nada perintahnya. Untungnya saya tidak tertarik berurusan dengan laki-laki seperti itu, dan untungnya suami saya, walaupun waktu awal kenal dulu tidak tahu feminisme dan masih agak patriarkis pikirannya karena bentukan keluarganya, bisa belajar soal kesetaraan sosial, hak-hak perempuan, hal-hal yang menindas perempuan, dst. Kami bekerja sama untuk urusan rumah tangga, saya bisa memasak, membuat sarapan atau makan malam untuk kami berdua, tetapi dia juga bisa melakukan hal yang sama untuk kami berdua. Kami bisa belanja bersama dan membersihkan rumah bersama. Tidak ada hal yang saya kerjakan karena mesti. Kalau saya sedang gemar mengerjakannya, itu memang karena saya mau bergerak untuk membereskan yang perlu dibereskan, dan sebal melihat atau membayangkan perempuan-perempuan pemalas yang takut kulit tangannya jadi tidak halus atau kukunya patah karena berbenah.

Oh ya, karena pindah jauh, saya juga belajar bahwa saya tidak bisa membawa semua yang saya miliki. Bahwa memiliki adalah berkat tetapi juga beban tersendiri. Sejak bisa mengumpulkan uang sendiri, saya menghabiskan uang saya sebagian besar untuk membeli dan mencetak buku, lalu untuk membeli pakaian, membeli bensin, membeli makanan orang, membeli makanan kucing, dan kalau ada sisanya, untuk membeli produk kecantikan. Buku-buku yang saya pilih untuk kesini hanya yang tertentu saja, saya belum bisa bawa semua, karena membawa sedikit saja sekitar 35 buku sudah menghabiskan 3,3jt rupiah dengan pos Indonesia, itu juga membutuhkan waktu 2 bulan untuk tiba. Baju-baju juga demikian. Ada banyak baju yang saya beli dengan begitu semangatnya, gaun, kebaya, yang dibuat dengan desain tertentu dan bahan pilihan ke penjahit langganan, tapi banyak sekali yang tidak saya bawa. Saya hanya bawa segala winterwear, pakaian-pakaian dalam, sedikit baju rumahan, beberapa pakaian olahraga, beberapa pakaian kasual, dan beberapa pakaian formal. Piano di rumah juga saya tinggal. Disini, kadang saya merasa kehilangan barang-barang saya, tapi secara bersamaan juga saya mendapat pemahaman bahwa mungkin kita tidak membutuhkan segitu banyaknya. Kalau dulu saya suka belanja online bisa setidaknya dua kali seminggu, disini, saya mau beli sesuatu bisa pikir dulu dua kali. Apa saya memang butuh? Bukannya saya masih punya beberapa? Saya juga mencoba lebih jeli lagi membandingkan harga dan diskon, saya ogah membuang yang bisa dimanfaatkan, misalnya air cuci beras saya tampung airnya di botol, taruh kulkas, lalu saya pakai sebagai toner wajah. Sisa wine di botol yang sudah lama di kulkas saya pakai buat merendam rambut saya. Botol-botol susu dan apapun saya kumpulkan untuk didaur ulang. 

Saya sedang berada dalam transisi dan merasa lebih menikmati hidup. Disini, saya merasa di rumah.



Tentang Teman-Temanan

Saya kagum sama orang yang dengan tegas bilang apa adanya saja bahwa dia tidak punya teman. Entah dia cukup dengan dirinya sendiri saja, atau dia sebenarnya punya teman, tapi dia tidak merasa temannya benar-benar teman. Teman-temanan, teman palsu, supaya kecipratan sesuatu, entah popularitas, status sosial, atau lainnya.

Saya lebih suka hewan dan hutan dibanding orang-orang. Saya lebih senang sendirian dan tidak  pernah merasa kesepian. Tapi saya memilih berada di jalan tengah seperti biasa. Berteman secukupnya dan seperlunya.  Saya tahu mana yang tulus, mana yang palsu. Tapi saya bisa bertemu dengan dua-duanya (asal yang palsu tidak lebih dari beberapa jam dan lebih baik diam). Saya bisa beneran sayang sama teman-teman yang tulus. Tapi ingat, bahkan punya teman yang tulus tidak berarti dia punya pengaruh bagus untuk diri kita. 

Teman yang tulus kadang punya masalah-masalah jiwa sendiri yang bisa menjadi racun buat kita.  Kadang masalah otak juga, misalnya dengan bertanya "Lagi apa?" pada situasi atau gambar yang sangat deskriptif. Ketika mereka cerita iri pada seseorang yang memiliki banyak hal, kita yang tadinya merasa cukup pada kehidupan kita jadi berakting ikutan iri untuk sebahasa dengan mereka, sampai iri betulan. Ketika mereka cerita begitu banyak hal buruk, ingin bunuh diri, bertindak aneh-aneh, tetapi selalu punya alasan untuk tidak berubah ke arah lebih baik dan menolak segala solusi, percayalah kalau mereka hanya senang diperhatikan dan membuat kamu lelah. Ketika kamu punya masalah hidup lalu bercerita pada teman kamu, kamu merasa lega sedikit dan didengarkan, walaupun tidak mendapat solusi kamu tidak keberatan, sampai akhirnya kamu heran dengan teman kamu, yang nampaknya malah menikmati cerita-cerita sedih dari hidup kamu, dan terus meminta cerita lebih. Ketika untuk sesaat kamu merasa bahagia dan menunjukkannya dengan berbagai hal, teman kamu yang (mungkin tulus tapi) beracun tidak bisa membiarkannya dan mencoba merusaknya dengan berbagai sugesti dan pertanyaan yang lebih tepat ditujukan buat diri mereka sendiri. 

Masih banyak contoh lain, tapi sejauh ini saya yakin kalian paham maksud saya. Kalau kalian pernah mengalami atau masih mengalaminya seperti saya, coba lawan mereka. Tunjukkan kalau kalian tidak semudah itu dipengaruhi kenegatifan. Selanjutnya, menjarak.

Jangan lupa sayang pada diri sendiri, supaya tidak butuh kasih sayang palsu dari orang lain yang mengaku teman tapi bisa saja menganggapmu sampah.
Jangan suka pura-pura, selalu ada orang yang bisa melihat dirimu sebenarnya seperti apa.
Kalau menemukan teman yang tulus dan baik, beruntunglah kamu, semoga itu benar!