Tidak terasa sudah sebulan lebih saya tinggal di Belanda bersama suami. Kadang sebelum tidur semua masih terasa seperti mimpi. Saya masih ingat waktu pesawat mau mendarat di Schiphol, diiringi orkestra dari headphone saya, saya terharu melihat Amsterdam dari langit malam, lampu-lampu kota yang bersinar terlihat begitu teratur. Bangunan-bangunan berbaris dengan rapi. Tidak tercium tanda-tanda kebodohan dan kemunafikan masyarakat begitu tiba disana. Sebulan berada di Rotterdam, Belanda, saya merasa bisa memanggilnya rumah. Lucu kan menyebut rumah pada negara yang bahkan mengucapkan bahasanya saja saya masih terbata-bata. Saya salah lokasi lahir.
Bagaimana bisa tidak cinta pada negara yang toleran? Yang kota, industri, dan ekonominya maju, tetapi alamnya tetap terjaga baik? Yang orang-orangnya sibuk dengan urusan dan diri masing-masing sehingga tidak usil mengganggu orang lain, namun tetap peduli pada tempatnya? Yang membuatmu merasa aman dan nyaman dan mendukung tubuh dan pikiranmu tetap sehat dengan udara, makanan, dan air yang sehat?
Disini saya bisa dengan asyik dan tenang berjalan kaki sendiri kemanapun, ke kota atau ke hutan hingga empat jam, tanpa diganggu dan tanpa pelecehan seksual apapun. Di Indonesia, saya berjalan kaki belum ada lima menit, sudah ada setidaknya dua pelecehan seksual macam siulan, komentar, panggilan sialan, tak peduli seberapa panjangpun pakaian saya. Satu jam misalnya di kereta, sudah ada predator yang menempel menggeliat bukan karena kereta penuh tetapi meminta dipukul kepalanya dengan payung hitam saya atau dipotong habis saja tititnya supaya tidak nempel-nempel lagi.
Disini saya makan dengan menu yang lebih sehat, karena saya yang menyiapkannya, dan karena disini makan makanan sehat adalah pilihan rasional. Harga junk food di tempat makan itu lebih mahal dibanding sayur, buah, daging, dan ikan segar. Saya sudah berputar-putar kesana kemari mencari harga terbaik buat segala jenis barang, dan jadi tahu beli daging, roti, dan susu, harga terbaiknya di supermarket apa, beli buah dan sayur di pasar apa, dan beli produk-produk kecantikan di toko apa. Disini, suasana sosial dan ekonomi akan mendukung supaya hidup lebih sehat. Kita tidak akan dicemooh "sok diet"(WTH, diet is habitual nourishment!) karena sarapan sayur dan buah. Kamu akan tergerak untuk berjalan banyak, bersepeda atau lari, karena selain banyak yang melakukannya, kamu tidak akan terganggu dan diganggu, malah akan menikmati pemandangan indah, langit yang berwarna banyak, burung-burung sehat yang berkicau, seberapa jauh kamu pergi.
Saya juga beruntung karena suami saya tidak pernah meminta apapun kecuali satu hal dari saya, yaitu lebih sabar, hehe. Kadang kalau lihat dari sosial media orang-orang yang menikah, sebagai istri, beberapa dari mereka kasihan sekali karena sering pakai kata-kata "disuruh suami bikin ini, itu," atau waktu ketemu mereka di acara kondangan atau apa, mereka diperintah suaminya dengan super bossy, bahkan urusan gendong anak, memotret, atau jalan saja ada nada perintahnya. Untungnya saya tidak tertarik berurusan dengan laki-laki seperti itu, dan untungnya suami saya, walaupun waktu awal kenal dulu tidak tahu feminisme dan masih agak patriarkis pikirannya karena bentukan keluarganya, bisa belajar soal kesetaraan sosial, hak-hak perempuan, hal-hal yang menindas perempuan, dst. Kami bekerja sama untuk urusan rumah tangga, saya bisa memasak, membuat sarapan atau makan malam untuk kami berdua, tetapi dia juga bisa melakukan hal yang sama untuk kami berdua. Kami bisa belanja bersama dan membersihkan rumah bersama. Tidak ada hal yang saya kerjakan karena mesti. Kalau saya sedang gemar mengerjakannya, itu memang karena saya mau bergerak untuk membereskan yang perlu dibereskan, dan sebal melihat atau membayangkan perempuan-perempuan pemalas yang takut kulit tangannya jadi tidak halus atau kukunya patah karena berbenah.
Oh ya, karena pindah jauh, saya juga belajar bahwa saya tidak bisa membawa semua yang saya miliki. Bahwa memiliki adalah berkat tetapi juga beban tersendiri. Sejak bisa mengumpulkan uang sendiri, saya menghabiskan uang saya sebagian besar untuk membeli dan mencetak buku, lalu untuk membeli pakaian, membeli bensin, membeli makanan orang, membeli makanan kucing, dan kalau ada sisanya, untuk membeli produk kecantikan. Buku-buku yang saya pilih untuk kesini hanya yang tertentu saja, saya belum bisa bawa semua, karena membawa sedikit saja sekitar 35 buku sudah menghabiskan 3,3jt rupiah dengan pos Indonesia, itu juga membutuhkan waktu 2 bulan untuk tiba. Baju-baju juga demikian. Ada banyak baju yang saya beli dengan begitu semangatnya, gaun, kebaya, yang dibuat dengan desain tertentu dan bahan pilihan ke penjahit langganan, tapi banyak sekali yang tidak saya bawa. Saya hanya bawa segala winterwear, pakaian-pakaian dalam, sedikit baju rumahan, beberapa pakaian olahraga, beberapa pakaian kasual, dan beberapa pakaian formal. Piano di rumah juga saya tinggal. Disini, kadang saya merasa kehilangan barang-barang saya, tapi secara bersamaan juga saya mendapat pemahaman bahwa mungkin kita tidak membutuhkan segitu banyaknya. Kalau dulu saya suka belanja online bisa setidaknya dua kali seminggu, disini, saya mau beli sesuatu bisa pikir dulu dua kali. Apa saya memang butuh? Bukannya saya masih punya beberapa? Saya juga mencoba lebih jeli lagi membandingkan harga dan diskon, saya ogah membuang yang bisa dimanfaatkan, misalnya air cuci beras saya tampung airnya di botol, taruh kulkas, lalu saya pakai sebagai toner wajah. Sisa wine di botol yang sudah lama di kulkas saya pakai buat merendam rambut saya. Botol-botol susu dan apapun saya kumpulkan untuk didaur ulang.
Saya sedang berada dalam transisi dan merasa lebih menikmati hidup. Disini, saya merasa di rumah.