30 April 2018

Salah Satu yang Tak Saya Mengerti

Salah satu emosi manusia yang tidak saya mengerti dan hampir tidak pernah rasakan adalah rasa iri. Kebanyakan saya hanya melihatnya, mengetahui seseorang merasakannya, dan menjadi korban dari rasa iri. Rasa iri bisa membuat seseorang memperlakukan orang lain yang diirikannya dengan lebih buruk daripada semestinya memperlakukan sesama manusia. Menyebar kata-kata buruk dan kebohongan, mengucilkan, membunuh baik secara karakter maupun di kasus-kasus kriminal tubuh sepenuhnya. Rasa iri bisa membuat seorang pengecut menghabiskan waktu membuat rencana-rencana buruk, mengompori orang lain dengan bisikan-bisikan busuk mengenai orang lain yang diirikannya, supaya lambat laun orang tersebut menjadi kaki tangan untuk kejahatannya. 

Dalam berbagai kesulitan dan gelapnya hidup di masa lalu, saya hampir selalu ikut senang bila melihat kemudahan hidup dan kebahagiaan orang lainnya. Dalam episode-episode suram hidup saya, hampir tidak pernah saya biarkan orang lain tahu secara sengaja, kecuali orang-orang dekat saja. Sebisa mungkin saya melukis fasad "saya baik-baik saja dan dari keluarga baik-baik saja", tampil dengan "normal" di muka umum. Bila melihat orang yang sangat cerdas saya kagum, sangat cantik atau tampan saya kagum, sangat sukses saya kagum, sangat sejahtera saya kagum, sangat artistik saya kagum. Dengan kata lain saya turut menikmati yang mereka pancarkan. Saya hampir tidak pernah merasa iri pada orang-orang yang terlihat jauh lebih bahagia dan berkondisi atau berkualitas jauh di atas saya dari segi apapun. Saya mengakuinya, saya mengagumi mereka.

Mungkin saya tidak punya kapasitas untuk perasaan iri seperti itu, mungkin saya tahu bahwa setiap orang memiliki jalur hidup berbeda yang tak bisa dibandingkan, mungkin sebagai korban rutin dari rasa iri saya memahami ironi dari rasa iri. Bahwa orang lain hanya menginginkan hal-hal bagus yang tampak, tetapi tidak mengerti bahwa dibaliknya ada penderitaan-penderitaan, entah yang berhubungan dengannya ataupun tidak sama sekali.

Bagaimanapun, hampir kebalnya saya pada rasa iri mesti saya syukuri.
Masih tidak saya mengerti, mengapa umumnya manusia tidak bisa ikut bahagia atau ikut menikmati bila melihat pancaran kebahagiaan, kebagusan, kecerdasan, kesuksesan, keindahan, dan kualitas positif yang sedang hinggap di orang lain? 


16 April 2018

Saya yang Cinta pada Keindahan

Saya serakah pada keindahan.
Saya mengagumi bunga-bunga di toko dari kejauhan selama bermenit-menit,
lalu mendekati dan menatap mereka lagi selama bermenit-menit.

Saya menggenggam bunga-bunga pilihan di pelukan saya sepanjang jalan.
Di rumah, saya memotong dahan dan menata mereka sesuai keinginan saya,
lalu saya mendekati dan menatap mereka lagi selama bermenit-menit.

Lewat, mengunjungi, menghirup, menyentuh, menatap mereka bermenit-menit.

Hari demi hari merawat, mengganti air, dan menunda kematian mereka,
menyadari perubahan harian, mengagumi keindahan, mengelus kelembutan, menghirup harum, mengamati tekstur dan helaian kelopak mereka.

Saya serakah pada keindahan.
Saya mengagumi kemiripan, ketidakmiripan, kecantikan, kejelekan, keseimbangan, ketidakseimbangan, kegembiraan, kesedihan, kerinduan, kejijkan, kengerian, keanehan, keabsurdan, kekonyolan, dan ke-nyata-an dari tiap karya seni di museum.
Menatap dari jauh dan dari dekat, mengamati tekstur dan bahan mereka, menerka ide dan konteks, dan membayangkan situasi zaman mereka.
Berjalan hilir mudik, berputar kembali ke karya-karya yang sama selama berjam-jam. Duduk ketika lelah, membiarkan pikiran berkelana sebelum tubuh kembali menjelajah.

Saya serakah pada keindahan.
Saya senang memainkan musik-musik yang sama di piano hingga ratusan kali, merasakan gerakan, kelelahan, dan kenikmatan yang sama.
Saya senang mendengarkan musik-musik yang serupa hingga ribuan kali.
Saya menangisi musik-musik yang serupa berpuluh kali, merasakan sensasi emosi yang membuka luka, merasakan cerminan jiwa, memahami jiwa sendiri, larut dalam semesta.

Saya serakah pada keindahan.
Saya senang berlama-lama menatap sungai dan danau, menghirup bau laut, menatap bentuk awan, dedaunan, pepohonan, rerumputan, bunga-bunga, dan hewan-hewan liar.

Dalam melakukan semua hal itu,
saya sadar bahwa saya serakah pada keindahan,
memiliki ruang khusus, dan butuh untuk terus mengisinya.