Sampai sekarang, saya masih memandang keluarga tersebut sebagai kumpulan orang-orang konyol, dangkal, menyedihkan, yang berkedok jinak dan suci tetapi sebenarnya berhati jahat dan berotak kerdil. Mereka begitu senang berpura-pura hingga tak sadar dan terlarut dalam kepura-puraan. Mereka tak sadar bahwa mereka bermain peran keluarga setiap hari bagaikan bermain rumah-rumahan polly pocket. Dengan suara-suara dan gestur-gestur yang ditata sedemikian rupa. Hingga salah satu dari anggota keluarganya tidak akan mengenali anggota keluarga lainnya bila berada di luar lingkup keluarga, karena mereka akan berkelakuan begitu berbeda, dan bila disodori kebenaran dari orang itu, mereka akan mengatakan itu fitnah!
Jangankan level diskusi, pembicaraan saja tidak akan jalan dengan adanya otoritas represif.
Jangankan level diskusi, pembicaraan saja tidak akan jalan dengan adanya otoritas represif.
Otoritas represif si bapak yang menyenangi segala hal yang hirarkis hanya mau menjinakkan pikiran lain supaya tunduk dan menurut dengan pandangan, pengetahuan, dan pengalaman sempitnya. Hasilnya kalimat-kalimat yang muncul dari si istri dan si anak-anaknya berbentuk sirkular saja, demi mengamini, atau supaya si tong kosong cepat tutup mulut. Hasilnya potensi untuk berpikir kritis dipadamkan. Hasilnya mereka terbiasa menjadi dogmatis. Tidak akan ada komunikasi tulus ataupun diskusi mulus, yang ada hanya basa-basi. Dalam suasana represif itu, ia mau menyetir kepala-kepala kosong tersebut. Ia tidak bisa terima kalau ada kepala tidak kosong yang tidak mau mengikutinya.
Sementara itu insecurity, ketidakstabilan emosional, ketidakmampuan introspeksi diri, rasa iri dan dengki luar biasa si ibu yang terbiasa jadi pengikut turut menggalakkan suasana represif tersebut. Bukannya bertanya mengapa orang-orang di tempat kerjanya menghindari atau tidak bisa meminta bantuannya, ia dengan mudah malah melemparkan kesalahan dan ketidakmampuannya ke orang lain yang sangat ia anggap saingan. Ia mengompori si bapak dan anak-anaknya, bicara yang tidak-tidak soal orang ini, dan berbohong buat keuntungan imaji dirinya sendiri, yang sekian lama dibuatnya sedemikian rupa termasuk dengan betapa kecilnya penampakan dan suaranya, bahwa ia lemah, gemulai, tak cocok bekerja keras, dan tak mungkin mampu bersalah.
Anak-anak yang tidak sadar bernaung hanya dalam lingkup pandangan sempit itu kelabakan dan kesusahan bila menghadapi masalah yang beragam dalam hidup. Disodori apapun yang diikuti orangtuanya, termasuk doktrin-doktrin yang mengarah ke fundamentalisme agama dan keterbelakangan pikiran yang disugarcoated dengan etiket dan kesopanan, mereka akan patuh demi menghormati, karena mereka dilatih untuk itu saja. Mereka diajarkan tidak ada privasi dalam keluarganya, seperti kamar yang tak berpintu dan tak bersekat satu sama lain, dan kamar mandi yang bercelah dari dalam bisa melihat ke luar, ilusi diawasi terus menerus ada. Tetapi di saat bersamaan, tidak adanya privasi sayangnya tidak berarti ada perhatian dan kepedulian untuk urusan-urusan. Mereka bahkan tak bisa bicara dari hati ke hati. Mereka mau berontak dan beranjak tapi tak bisa karena tak cukup cerdas dan berkapasitas, mereka hanya bisa gila diam-diam. Menurut dan beradaptasi, karena ketidakmampuan mereka membuat mereka bergantung pula dengan orangtuanya; jaminan kebertahanan hidup mereka (pangan, sandang, papan) dilandasi dengan tunduk dan mematuhi.
Bahkan pelukis tidak cukup menggunakan tangan dan jari untuk berkarya, ia harus punya beragam pengetahuan, pengalaman, dan kuas supaya karyanya bermutu.
Untuk orang-orang yang terjebak dengan hanya penampakan di dunia, mereka tidak akan repot dan terganggu untuk berpikir "Apa yang ada di balik penampakan itu?" Bagaikan manusia-manusia gua yang dirantai dan terjebak dengan kegelapannya, dunia bayangan dari kenyataan di luar adalah satu-satunya kebenaran bagi mereka. Ketika ditunjukkan bahwa kebenaran tidaklah seperti bayangan mereka, mereka mengamuk, berteriak, dan menghardik orang yang menunjukkannya itu gila.
Untuk yang terjebak di dunia penampakan dan kesulitan berpikir abstrak, mereka tidak akan bisa menarik abstraksi di kehidupan keseharian, misalnya saja memilih dua politisi yang buruk seperti buah yang busuk. Ketika disuruh memilih, mereka akan dengan senang hati memilih salah satunya, berdasarkan citra yang mereka senangi, supaya disebut bermasyarakat. Mereka akan berbangga menjaga kotak suara dan tempat pemilihan, merasa itu amanat dan ibadah. Mereka tidak akan mampu berpikir sampai "Untuk apa memilih dua buah yang sama-sama busuk?", bahwa tidak memilih juga merupakan suatu pilihan dalam bermasyarakat, dan bahwa justru memilih dari hal-hal yang buruk merupakan kesalahan fatal.
Mereka tidak akan bisa membedakan antara membicarakan orang dengan tujuan baik dan membicarakan orang dengan tujuan buruk, bahkan mereka tidak menyadari bahwa membicarakan orang adalah salah satu hal yang kadang tidak dapat dihindarkan. Misalnya, si A bertanya pada si B, "B, kamu tau kenapa si C belakangan tidak masuk kerja dan kalau masuk kerja dia terlihat sedih?". Begitu si B menjawab," Ya, dia ada masalah dengan istrinya yang pencemburu." Si A malah terlihat kesal dan berkata, "Astagfirullah, jangan bergosip urusan orang lain!". Si A begitu tololnya dan begitu terkekangnya dengan nilai-nilai tak valid sampai tak sadar bahwa ia yang bertanya soal urusan si C. Mereka tak bisa membedakan bahwa membicarakan kondisi seseorang yang mengalami permasalahan dengan keluarganya karena peduli pada dampaknya atas dirinya dan performa kerjanya jelas berbeda dengan membicarakan seseorang karena hasrat bergosip. Mereka juga memahami kata bijak "Jangan mencampuri urusan orang lain" dengan literal, hingga walaupun agama mereka mengajarkan kepedulian, mereka malah menghiraukan istri atau anak tetangga mereka yang sering lebam dan bersedih karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain hingga tak peduli, dan lama kelamaan jadi tidak pedulian, tak mau peduli, lalu mengatasnamakan kata bijak tersebut.
Mereka tidak akan bisa membedakan antara membicarakan orang dengan tujuan baik dan membicarakan orang dengan tujuan buruk, bahkan mereka tidak menyadari bahwa membicarakan orang adalah salah satu hal yang kadang tidak dapat dihindarkan. Misalnya, si A bertanya pada si B, "B, kamu tau kenapa si C belakangan tidak masuk kerja dan kalau masuk kerja dia terlihat sedih?". Begitu si B menjawab," Ya, dia ada masalah dengan istrinya yang pencemburu." Si A malah terlihat kesal dan berkata, "Astagfirullah, jangan bergosip urusan orang lain!". Si A begitu tololnya dan begitu terkekangnya dengan nilai-nilai tak valid sampai tak sadar bahwa ia yang bertanya soal urusan si C. Mereka tak bisa membedakan bahwa membicarakan kondisi seseorang yang mengalami permasalahan dengan keluarganya karena peduli pada dampaknya atas dirinya dan performa kerjanya jelas berbeda dengan membicarakan seseorang karena hasrat bergosip. Mereka juga memahami kata bijak "Jangan mencampuri urusan orang lain" dengan literal, hingga walaupun agama mereka mengajarkan kepedulian, mereka malah menghiraukan istri atau anak tetangga mereka yang sering lebam dan bersedih karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain hingga tak peduli, dan lama kelamaan jadi tidak pedulian, tak mau peduli, lalu mengatasnamakan kata bijak tersebut.
Mereka juga akan hobi menonton berita dan membaca koran, tapi tanpa mengetahui dan mengkritisi bahwa semua berita tersebut dimiliki oleh orang atau kelompok orang yang berkuasa dengan memiliki agenda tertentu. Segala berita berlalu bagaikan hiburan yang seru. Mereka bangga bila hapal nama si ini dan itu di posisi ini dan itu sekarang sedang begini begitu. Mereka juga sangat antusias membaca dan menanggapi tautan-tautan norak, murahan, tak berbobot, dan mengandung banyak fallacy yang ditulis provokator, tentunya karena itu sepaham dengan pemikiran mereka. Mereka tak akan lelah menyebar kebodohan dari berbagai tautan tersebut di grup whatsapp dan facebook. Di sisa waktu luang lainnya, sesuai ajaran dan didikan masyarakat kapitalis, mereka tidak akan susah-susah membaca buku serius, mendengar musik serius, mengapresiasi karya-karya serius, justru kebalikannya.
Mereka menolak kapitalisme dan bangsa asing (kecuali Arab dan semacamnya yang mereka anggap auto-saleh-dan-masuk-surga), tetapi mereka memakai produk-produk kaum yang mereka benci dan mereka kutuk masuk neraka. Mereka senang pergi ke mall dan makan di restoran milik (yang mereka sebut) asing dan kafir, daripada memasak sendiri. Mereka bilang agama mengajarkan semua manusia berkedudukan sama, tapi buat mereka juga, untuk urusan kecil saja, mereka mesti dihormati sedemikian rupa dan membabi buta, juga untuk kerjaan rumah kecil saja mesti pakai pembantu dan senang memiliki dan memperbudaknya, lalu juga ada kaum yang mereka sebut kafir yang halal dihina dan bahkan diam-diam bagi mereka layak dibunuh. Mereka yakin benar bakal langsung masuk surga setelah mati, hingga mereka bisa berbuat semena-mena begitu saja ke orang yang tidak mereka suka atau hanya berbeda sedikit saja dari mereka. Kalau surga ditempati bedebah-bedebah seperti kalian, surga seperti apa yang kalian bicarakan?
Entah saya mau bicara apa, tapi saya ingin menjaga pikiran dan akal sehat saya.