6 August 2018

Tanya Kabar Saja, Tapi Dengar Jawabannya Ya

Pepatah umum dan kutipan tak berdasar biasa berkata kalau tidak ada pertanyaan yang bodoh. Tapi menurut saya mungkin ada. Menurut saya juga, pepatah umum dan kutipan tak berdasar itu malah mendorong orang-orang mengeluarkan pertanyaan tak berbobot dan tak perlu.

Kalau tidak tau mau bicara apa, kalau tidak mengerti tapi mungkin bisa mengerti sendiri kalau mau berpikir, diam dan pikirkan dulu. Sama seperti kalau tidak perlu bicara, senyum saja lebih bagus daripada berkomentar yang menyinggung dan bicara yang tidak-tidak.

Isi dari pertanyaan-pertanyaan itu misalnya:
1. Yang hanya mengulang-ulang penjelasan sebelumnya. Misalnya dalam seminar tentang sejarah suatu kotak, ada penanya menunjuk tangan lalu mengulang isi seminar "Blablablabla tentang sejarah suatu kotak" berdurasi lima menit atau lebih, lalu setelah didesak, pertanyaan dia cuma dan malah, "Gimana pendapat anda tentang warna di luar kotak tersebut?". Tujuannya kira-kira cuma "Hello people, I'm here! Sorry for wasting your time but I just want to be noticed"
Biasanya di ruang kelas, seminar, konferensi, dan apapun itu. Ini sepertinya saya pernah tulis deh.

2. Yang hanya mendeskripsikan kondisi yang mereka lihat. Misalnya, "Lo bawa buku banyak ya?" atau "Rambut lo panjang ya?" Tujuannya... Entah apa. Yang sebenarnya bisa lebih dihargai bila cuma say hi atau entah apa. Tanya kabar bakal jauh lebih manis.

3. Yang basa-basi, mau tau aja entah buat apa, tapi lalu tidak ada urusan berikutnya yang relevan. Misalnya, "Sudah makan belum?" atau "Tasnya berat gak?" yang mengisyaratkan tindakan berikutnya atau apa, tapi biasanya "belum" atau "berat" pun bukannya mereka mau kasih makan atau bantu bawa atau apa. Cuma mau tau aja. Basa basi aja mengisi kekosongan. Kalau misalnya dia kasih makanan atau bantu bawa tas atau apa, tentu pertanyaannya bukan lagi di kategori ini, masuk kategori pertanyaan peduli.

4. Yang menganggap kamu layaknya makhluk yang memiliki kekuatan omniscient (maha mengetahui). Biasanya bukan melibatkan diri kita saja tapi melibatkan kejadian-kejadian dengan orang ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya. Misalnya bertanya,"Gimana ya perasaan dia?" yang sekalian aja tanya sama saya, "Gimana ya rasanya jadi kelelawar atau jadi lemari?" atau pertanyaan lain, "Penyebab kejadian itu apa ya?" yang sekalian aja tanya sama saya, "Asal muasal alam semesta itu apa ya?"

Kenapa komunikasi manusia Indonesia bisa rusak sedemikian rupa sampai bertanya saja tak bisa?