7 January 2019

Sebuah Buku dengan Lakban Hitam



Setelah hampir setahun tinggal di Rotterdam, sejak tengah Desember 2018 hingga Januari 2019 saya dan suami tinggal di Kortenhoef sebelum kami pindah ke ‘s-Hertogenbosch. Di Kortenhoef, kami tinggal di vila yang merupakan bagian dari rumah tua tahun 1896. Pemilik rumah dan vila tersebut merupakan pasangan lansia yang aktif, usia mereka 80 tahun. Jaap, adalah profesor yang pernah mengajar di Universitas Erasmus, bekerja di perusahaan konsultan ternama selama berpuluh tahun, pemilik perusahaan, dan anggota dewan di beberapa museum dan yayasan penelitian. Sementara, Anne merupakan mantan direktur suatu institusi Amerika di Belanda dan sekarang mengajar bahasa Belanda dengan sukarela. Mereka punya anak dan cucu, rumah mereka bertabur karya seni. Itu adalah beberapa dari sedikit yang saya tahu setelah kami makan malam dan mengobrol dengan mereka. Kami makan nasi goreng ayam buatan saya, lengkap dengan kroepoek, lalu setelahnya mereka membuatkan kopi dan menyuguhi kami makanan penutup kue lapis legit, yang kalau di sini disebut spekkoek. Selain banyak restoran Indonesia di Belanda, sambal, kroepoek, dan spekkoek juga merupakan menu sampingan yang biasa ditemukan di rumah-rumah Belanda.
Sehari sebelum makan malam itu, cuaca Belanda di musim dingin seperti biasa kelabu, sangat dingin, dan sangat berangin. Seperti biasa, saya hendak belanja kebutuhan makanan sehari-hari, tetapi saya belum terbiasa dengan transportasi umum di Kortenhoef yang tidak seperti di Rotterdam. Di Rotterdam, kami tinggal di apartemen modern di area strategis yang dekat kemana pun. Dari apartemen kami, Erasmusbrug dan sungai Nieuwe Mass yang terlihat dari jendela kami hanya berjarak tiga puluh dan sepuluh menit jalan kaki, hutan Kralingse dan danaunya hanya berjararak tiga puluh menit jalan kaki, pusat belanja bahan makanan di Kralingen hanya sepuluh menit jalan kaki, dan untuk ke pusat kota atau ke luar kota, stasiun tram hanya empat menit jalan kaki, halte bus dan stasiun kereta hanya enam menit jalan kaki. Di Kortenhoef, apartemen jarang terlihat, rumah-rumah jauh lebih jarang dan terlihat lebih kuno, dan tranportasi umum di dalam kota hanya ada bus yang muncul satu jam sekali. Saya pun bersiap naik bus dengan membawa troli belanja dan untuk bosan menunggu di halte. Tetapi saat berjalan di halaman, saya berpapasan dengan para pemilik rumah yang kebetulan juga mau pergi ke Hilversum, lalu saat tahu saya mau ke pusat perbelanjaan di Meenthof, langsung mengajak saya untuk ikut naik mobil mereka saja karena searah. Pulang dari sana, saya yang salah naik bis lalu turun untuk jalan kaki dengan troli belanja saya di tengah cuaca yang sangat dingin, hujan, dan sangat berangin. Sambil terus berjalan dan membenarkan syal yang tertiup angin, saya mulai khawatir akan tidak enak badan. Hingga seseorang memanggil dan ternyata mereka lagi, Anne dan Jaap. Mobil mereka berhenti dan mengajak saya masuk lagi. Dalam sehari, kebetulan dengan mereka itu terjadi dua kali. Dua kali dalam sehari mereka dengan baik hati menolong saya dari cuaca ekstrem.
Sebenarnya perhatian dan kebaikan mereka secara umum selama saya berada di sana sangat berkesan buat saya. Sebab sepengetahuan saya, bahkan banyak orang-orang yang toh tidak se-mengagumkan mereka tetapi malah merasa diri mereka begitu tinggi dan tingkahnya pada orang lain dingin, mudah merendahkan, dan jauh dari terpuji. Tanpa basa-basi, karena kami tamu dan mesin cuci berada di rumah mereka, mereka mencucikan dan melipatkan baju-baju kami sekalian. Belum lagi, dari hari pertama, mereka langsung meminjamkan sepeda, lengkap dengan tas sepeda, dan rompi warna terang untuk bersepeda di malam hari. Sesekali, mereka mengecek dan bertanya apakah pemanas ruangan bekerja, apakah sudah hangat buat kami, apakah kami perlu sesuatu. Mereka dengan murah hati dan mempercayai tamu, memberikan saya kunci rumah mereka kalau-kalau saya mau datang bermain piano, sebab mereka tahu piano digital saya titipkan di rumah teman saya, Maja, di Rotterdam. Juga, ketika saya bermain piano di rumah mereka, Anne yang khawatir saya butuh pencahayaan, dengan perhatian mengutak-atik dan mengganti lampu piano.
Sehari setelah makan malam dengan orang-orang baik hati itu, saya menjelajahi buku-buku yang terdapat di vila kami. Dari sekian banyak buku novel, seni, hewan, dan tumbuhan, beberapa yang menarik perhatian saya adalah buku-buku mengenai Yahudi. Dari data mengenai Yahudi di kota ini sejak abad ke-17 hingga 1945, museum Yahudi di Budapest, kumpulan cerita yang salah satunya menyinggung Anne Frank, dan yang paling menarik perhatian saya, novel The Boy In The Striped Pyjamas yang sampulnya dilakban hitam tidak karuan hingga judulnya saja yang kelihatan. Saya rasanya ingin mengelupas lakban hitam itu, tapi saya ingat bahwa itu bukan buku saya, dan lagipula ada internet. Edisi itu terbitan Black Swan, yang setelah saya cari di google, sampulnya berbeda dengan edisi lain yang saya tahu. Bila edisi lainnya hanya menampilkan desain garis-garis kelabu, edisi Black Swan dengan lebih suram menampilkan sosok seorang anak mengenakan “piyama” bergaris, lengkap dengan nomor tahanan. Seketika saya tahu, bahwa gambar itu terlalu sensitif dan traumatis untuk yang punya buku.
Untuk menonton film-film Amerika maupun Eropa yang bertema Holocaust, untuk menonton video pengadilan Adolf Eichmann, untuk membaca buku harian Anne Frank, dan untuk bertemu langsung, seruangan, serta tinggal di lahan yang sama dengan orang yang selamat dari Holocaust adalah hal yang sangat berbeda. Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan, tetapi saya juga tahu bahwa hal-hal itu bagai gunting yang bisa membuka luka lama. Terlebih, saya tahu bahwa yang bersangkutan baru saja operasi jantung. Rasa penasaran saya bertambah lagi, hingga setelah saya menghabiskan sejenak waktu di internet, ke situs genealogi, dan ke sebuah situs monumen untuk para Yahudi sejak Perang Dunia II, saya jadi benar-benar memastikan bahwa Jaap adalah salah satu orang yang selamat dari Holocaust. Bahkan, rumah dan vila ini sendiri termasuk yang selamat dari periode tersebut. Area Rotterdam misalnya, pembangunannya yang sangat modern itu terjadi selama empat dasawarsa, setelah sebagian besar area kota hancur lebur karena invasi dan pengeboman oleh Jerman di tahun 1940.
Dari situs monumen itu saya jadi tahu, bahwa keluarganya menyebar untuk bersembunyi. Ayahnya dikhianati dalam perjalanan ke Inggris dan merupakan korban yang meninggal di kamp konsentrasi Auschwitz tahun 1944. Ibunya menyamar sebagai staf rumah tangga di persembunyiannya di Eindhoven. Sementara, ia sendiri yang lahir pada tahun 1939, sejak umur tiga hingga enam tahun berada di persembunyian di Amsterdam. Di situs monumen itu, ia masih mengenang, bersyukur, dan berterima kasih pada para penolongnya. Ia disembunyikan oleh orang-orang baik hati yang rela bertaruh nyawa, dan kini, ia masih merasa berhutang bahwa seluruh kebebasannya, hidupnya sebagai suami, orangtua, dan kakek dari tujuh cucu adalah karena orang-orang baik itu (ia tidak menyebut kesuksesan dan pencapaian karirnya sama sekali). Sehari itu, saya merasa tidak karuan. Mereka menghampiri saya ke vila dan mempersilakan jika saya mau bermain piano. Saya menghindari mereka tetapi sekaligus ingin memeluk mereka dan bilang bahwa saya juga tahu duka dari diskriminasi irasional di masyarakat. Saya ingat krisis moneter 1998, penjarahan, penghancuran dan pembakaran toko, perusahaan, dan rumah, dan berbagai kekerasan lain pada etnis Tionghoa seperti pemerkosaan dan pembunuhan perempuan Tionghoa. Peristiwa tersebut berdampak besar dan negatif pada hidup keluarga saya, hingga kami sekeluarga tak pernah benar-benar membicarakannya. Saya ingat ayah saya membawa saya ke kantornya yang baru dihancurkan orang-orang. Sebelum itu, beberapa kali saya hilir mudik di kantornya, sehingga saya yang masih kecil itu merasa sedih menyaksikan ruangan-ruangan yang pernah saya lihat utuh, jadi puing. Di puing-puing dan pecahan kaca itu, ayah saya kehilangan pekerjaannya. Sementara, pada saat yang sama, toko elektronik milik orangtua teman saya di daerah Glodok dibakar habis. Teman saya yang sama, menceritakan pada saya bagaimana ia juga melihat orang dibakar hidup-hidup dalam mobil.
Survival bisa bermakna melanjutkan hidup meski sempat ditempa kondisi-kondisi yang begitu sulit, mengalahkan bahaya yang mengancam hidup, dan mengatasi bentuk-bentuk penderitaan. Seseorang bisa saja mandiri, merasa cukup cerdas, kuat, dan tidak butuh orang lain, tetapi ada kejadian-kejadian yang mengingatkan bahwa bagaimanapun, manusia masih butuh kebaikan dari sesama manusia. Manusia memiliki survival instinct, tetapi faktor seperti survival skills dan faktor yang tidak bisa diprediksi seperti keberuntungan juga berpengaruh. Sering kali, yang selamat atau yang tetap bertahan hidup disebut survivor, entah dari kekerasan dan penelantaran masa kecil, penyakit berbahaya yang mematikan, hubungan negatif penuh kekerasan psikis, kecelakaan, dan hal buruk lainnya. Hal yang traumatis tidak membuat seseorang lupa, tetapi kadang seseorang butuh semacam pengingat. Buku-buku tersebut ada, disimpan jauh, dan terpisah dari rumahnya, karena untuk melihat pengingat setiap hari tentu akan terasa menjengkelkan dan menyakitkan. Tetapi meski disingkirkan, lokasinya cukup dekat dan jelas untuk suatu waktu bisa dikunjungi kembali.
Beberapa hari kemudian, kami kembali berada di satu ruangan yang sama. Turunan bekas negara penjajah, turunan bekas negara yang dijajah, anak kecil yang selamat dari Holocaust dan Perang Dunia II, dan anak kecil yang selamat dari krismon dan kekerasan 98. Duduk bersama, menikmati spekkoek, kopi, dan musik klasik. Di sela percakapan mengenai Jerman yang dulu Nazi, juga melihat album foto perjalanan hidup mereka sebagai manusia, bukan sebagai korban, saya memahami bahwa mereka sudah melampaui hal-hal gelap yang menyakiti mereka. Mereka bukan hanya survivor, lingkup survivor terlalu sempit dan sedih. Mereka lebih dari itu, bergerak, berkembang, berprestasi, hingga di hari tua, semua yang pernah menyakiti terasa seperti mimpi buruk yang samar saja. Dari jendela, nampak rombongan kecil bebek mallard yang terbang dengan formasi V, melintasi sungai hingga makin jauh dan tak terlihat lagi. Saya bersyukur pada menariknya hidup saya belakangan. Tinggal hampir setahun di kotanya Desiderius Erasmus: Rotterdam, bertemu dengan Holocaust survivor di Kortenhoef, dan akan pindah ke kotanya Jheronimus Bosch: ‘s-Hertogenbosch. Pikiran saya lari lagi, bahwa bertemu orang-orang luar biasa hebat dan baik hati sangat menyenangkan, menghangatkan hati, dan merupakan contoh positif untuk menjadi orang yang lebih baik. Kebaikan dari orang-orang baik juga membangkitkan harapan positif untuk kemanusiaan secara umum. Lalu pertanyaan di cerita What We Talk About When We Talk About Anne Frank terlintas di pikiran saya, “Bila (amit-amit), terjadi lagi peristiwa kekerasan dan genosida, siapa kira-kira kenalan atau orang di hidup kamu yang mampu menyelamatkan kamu? Atau, yakinkah kamu bahwa orang terdekat dalam hidup kamu mampu bertaruh nyawa untuk menyelamatkan hidup kamu? Atau, mampukah diri kamu menyelamatkan hidup kamu?”

Update: di pagi hari 18 Januari 2019 yang bersalju, tanpa diduga saat baru kembali dari kebun, saya mendapat dua tiket konser di Het Concertgebouw Amsterdam dari mereka berdua yang baik sekali itu. Seperti yang mungkin kalian tahu, harga tiket konser di Eropa cukup mahal apalagi bila di gedung konser ternama. Sekitar 18 hingga 60 euro, jadi saya memang beruntung lagi. Programnya Debussy - Prélude à l’après-midi d’un faune, L. Andriessen -  Agamemnon (Dutch premiere), dan Unsuk Chin – Le chant des enfants des étoiles (Dutch premiere). Selain itu, saya tentu beruntung dipertemukan dengan dua orang baik, peduli, rendah hati, sangat pintar, egaliter, sukses, dan mandiri. Hidup mereka yang utuh sangat menginspirasi saya untuk terus memperbaiki diri, untuk terus belajar, dan untuk berkontribusi di bidang yang saya mampu.

20 November 2018

Hidup Kami di Rotterdam, Belanda

Sejak Januari 2018, kami pindah tinggal di Rotterdam, Belanda. Pertimbangan dan persiapannya kami lakukan dengan matang, meski berawal sebagai kejutan dari suami saya yang sangat pintar, cerdas, dan baik hati. Ia yang punya ide untuk mengubah hidup kami berdua ke negara maju.

Untuk syarat perkuliahan, saya ingat, karena Senin-Jumat suami saya bekerja penuh, ia belajar tiap akhir pekan selama 2 bulan untuk mengambil tes GMAT. Ia mendapatkan nilai yang membuat ia berada di persentase paling tinggi sedunia meski ia hanya belajar sebentar dibanding kandidat lain. Sementara itu, tes IELTS ia lakukan dengan mudahnya, langsung datang saja, lalu mendapatkan hasil di batas yang paling tinggi yang ada. Saya bilang pada suami saya, ia sangat pintar dan memang mesti menggunakan kecerdasannya sebaik mungkin, di lingkungan yang jauh lebih menghargainya.

Sejak kami pindah ke Belanda, hidup kami sangat berubah menjadi lebih positif. Bagi kami mengagumkan sekali bahwa kami bisa merasa jauh lebih bahagia dengan pergi jauh sekali ke tempat yang tepat.

Pola hidup, pola makan, pola pertemanan kami jauh lebih sehat.

Dari jendela rumah, kami bisa melihat sungai besar, kapal, dan burung yang beterbangan atau berenang. Kami hanya perlu berjalan kaki sebentar dan tiba di sungai Nieuwe Mass. Bila kami rindu hutan, kami hanya perlu jalan kaki 40 menit lalu tiba di hutan yang lengkap dengan danau dan berbagai hewan liar maupun yang dipelihara dan biasanya kami menghabiskan 2-3 jam jalan kaki di hutan dan pulang ke rumah. Saya paham kalau di Indonesia bisnis perjalanan ke alam bisa laris, karena akses harian ke alam cukup sulit, dan keseharian di kendaraan umum yang mesti dilalui untuk berangkat dan pulang kerja begitu ganas. Diiringi film "petualangan" yang sempat populer, begitu ada akhir pekan atau libur panjang, orang mau membayar untuk diatur perjalanannya, makanannya, tempat tinggalnya, dan mengikuti pemandunya. Berbagi ruang dengan orang-orang yang menginginkan hal serupa, dibalut dengan nuansa "kebersamaan" dan "petualangan".

Bila belanja, dengan mudah, kami bisa memilih untuk mendukung dengan membeli produk yang etis pada pekerja, hewan, lingkungan dan menjaga kelangsungan hidup mereka. Untuk produk daging hewan, ada label-label mengenai kualitas hidup dan peternakan mereka sebelumnya. Untuk produk tumbuhan, ada label-label mengenai mereka organik atau bukan. Produk daging, sayur, dan buah segar pun jauh lebih murah dibanding membeli makanan tidak sehat di restoran cepat saji. Juga, bila belanja entah produk makanan, minuman, pakaian, sepatu, atau kosmetik dan sejenisnya, sebagian besar kemasannya berasal dari kertas atau plastik daur ulang 100%. Di Indonesia, semua hal itu adalah kemewahan.

Bila jajan di jalan, kami tidak pernah melakukannya karena kasihan pada pedagang lalu malah ditipu. Tidak ada cerita anak kecil usia SD berjualan tisu dan mematok harga IDR 10ribu bahkan 20ribu bila dia melihat calon pembelinya rapi dan berkulit terang, atau penjual lap mobil 20ribu di lampu merah yang begitu saya memberi 50ribu, bukannya mendapat kembalian, saya hanya bisa tercengang melihat dia lari kabur membawa duit itu. Orang-orang yang dengar cerita itu biasanya merespon, "Kasihan hidup mereka susah, anggap saja kamu sedekah, kamu dapat pahala." Masalahnya dari hal-hal itu, yang paling hilang adalah kepercayaan saya pada orang-orang. Juga, saya tahu masalah kemiskinan dan kecenderungan mereka beranak-pinak tanpa pertimbangan lebih jauh akan menghasilkan lingkaran setan yang serupa. Ironisnya, di saat yang sama dan di negara yang sama, para sosialita, artis, dan selebramnya mengenakan tas chanel atau hermes, tidak lupa dengan sepatu valentino.

Oke kembali ke jajan disini. Misalnya, disini,  jajan oliebollen, appelbollen appelflappen, chocolade wafel, dan roomboter wafel bisa habis sekitar 10 euro. Itu pun karena rasanya sangat enak dan segala bahannya terasa berkualitas tinggi, segar, dan bersih. Tokonya pun meski kios sementara terlihat sangat solid, rapi, dan bersih, dengan seorang meneer berpakaian chef yang menunggu dan melayani pelanggan.

Di Indonesia merupakan hal yang biasa untuk dikecewakan orang-mendengar bualan tidak masuk akal demi citra semu mereka-dibicarakan yang buruk di belakang-tapi lalu mereka dengan asyiknya dan tanpa malu minta tolong bila ada perlu-yang membuat saya bingung mesti bersikap seperti apa dengan orang-orang.

Bila di Indonesia merupakan keajaiban untuk bertemu dengan orang-orang yang pintar, masuk akal, menyenangkan, dan baik hati, disini, di negara maju, kualitas-kualitas itu merupakan hal yang familiar. Disini, sementara ini, lingkaran pertemanan kami lebih kecil lingkupnya, tetapi, cenderung lebih dekat dengan semua karena percakapan jauh lebih cerdas dan beradab. Dari percakapan soal minuman apa saja yang cocok bila dicampur, bisa berganti ke perkembangan politik dunia dengan mudahnya. Dan tidak ada yang mengomentari "Duh berat banget sih ngomongnya" atau "Sok pinter lu" lalu bicara yang nyampah lagi.

Hal-hal yang kami rindukan dari Indonesia masih ada. Mama saya, Kuma kucing kami, buku-buku saya, piano sungguhan, nasi padang trio permai, rawon daging di rawone, martabak telur orient, dan pempek pak Raden, misalnya. Tapi itu hanya muncul kadang saja. Sebagian besar di hari-hari kami, kami begitu bersyukur dan berbahagia dengan hidup kami.

6 August 2018

Para Bedebah Berkedok

Sampai sekarang, saya masih memandang keluarga tersebut sebagai kumpulan orang-orang konyol, dangkal, menyedihkan, yang berkedok jinak dan suci tetapi sebenarnya berhati jahat dan berotak kerdil. Mereka begitu senang berpura-pura hingga tak sadar dan terlarut dalam kepura-puraan. Mereka tak sadar bahwa mereka bermain peran keluarga setiap hari bagaikan bermain rumah-rumahan polly pocket. Dengan suara-suara dan gestur-gestur yang ditata sedemikian rupa. Hingga salah satu dari anggota keluarganya tidak akan mengenali anggota keluarga lainnya bila berada di luar lingkup keluarga, karena mereka akan berkelakuan begitu berbeda, dan bila disodori kebenaran dari orang itu, mereka akan mengatakan itu fitnah! 

Jangankan level diskusi, pembicaraan saja tidak akan jalan dengan adanya otoritas represif.

Otoritas represif si bapak yang menyenangi segala hal yang hirarkis hanya mau menjinakkan pikiran lain supaya tunduk dan menurut dengan pandangan, pengetahuan, dan pengalaman sempitnya. Hasilnya kalimat-kalimat yang muncul dari si istri dan si anak-anaknya berbentuk sirkular saja, demi mengamini, atau supaya si tong kosong cepat tutup mulut. Hasilnya potensi untuk berpikir kritis dipadamkan. Hasilnya mereka terbiasa menjadi dogmatis. Tidak akan ada komunikasi tulus ataupun diskusi mulus, yang ada hanya basa-basi. Dalam suasana represif itu, ia mau menyetir kepala-kepala kosong tersebut. Ia tidak bisa terima kalau ada kepala tidak kosong yang tidak mau mengikutinya.

Sementara itu insecurity, ketidakstabilan emosional, ketidakmampuan introspeksi diri, rasa iri dan dengki luar biasa si ibu yang terbiasa jadi pengikut turut menggalakkan suasana represif tersebut. Bukannya bertanya mengapa orang-orang di tempat kerjanya menghindari atau tidak bisa meminta bantuannya, ia dengan mudah malah melemparkan kesalahan dan ketidakmampuannya ke orang lain yang sangat ia anggap saingan. Ia mengompori si bapak dan anak-anaknya, bicara yang tidak-tidak soal orang ini, dan berbohong buat keuntungan imaji dirinya sendiri, yang sekian lama dibuatnya sedemikian rupa termasuk dengan betapa kecilnya penampakan dan suaranya, bahwa ia lemah, gemulai, tak cocok bekerja keras, dan tak mungkin mampu bersalah.

Anak-anak yang tidak sadar bernaung hanya dalam lingkup pandangan sempit itu kelabakan dan kesusahan bila menghadapi masalah yang beragam dalam hidup. Disodori apapun yang diikuti orangtuanya, termasuk doktrin-doktrin yang mengarah ke fundamentalisme agama dan keterbelakangan pikiran yang disugarcoated dengan etiket dan kesopanan, mereka akan patuh demi menghormati, karena mereka dilatih untuk itu saja. Mereka diajarkan tidak ada privasi dalam keluarganya, seperti kamar yang tak berpintu dan tak bersekat satu sama lain, dan kamar mandi yang bercelah dari dalam bisa melihat ke luar, ilusi diawasi terus menerus ada. Tetapi di saat bersamaan, tidak adanya privasi sayangnya tidak berarti ada perhatian dan kepedulian untuk urusan-urusan. Mereka bahkan tak bisa bicara dari hati ke hati. Mereka mau berontak dan beranjak tapi tak bisa karena tak cukup cerdas dan berkapasitas, mereka hanya bisa gila diam-diam. Menurut dan beradaptasi, karena ketidakmampuan mereka membuat mereka bergantung pula dengan orangtuanya; jaminan kebertahanan hidup mereka (pangan, sandang, papan) dilandasi dengan tunduk dan mematuhi. 

Bahkan pelukis tidak cukup menggunakan tangan dan jari untuk berkarya, ia harus punya beragam pengetahuan, pengalaman, dan kuas supaya karyanya bermutu. 

Untuk orang-orang yang terjebak dengan hanya penampakan di dunia, mereka tidak akan repot dan terganggu untuk berpikir "Apa yang ada di balik penampakan itu?" Bagaikan manusia-manusia gua yang dirantai dan terjebak dengan kegelapannya, dunia bayangan dari kenyataan di luar adalah satu-satunya kebenaran bagi mereka. Ketika ditunjukkan bahwa kebenaran tidaklah seperti bayangan mereka, mereka mengamuk, berteriak, dan menghardik orang yang menunjukkannya itu gila. 

Untuk yang terjebak di dunia penampakan dan kesulitan berpikir abstrak, mereka tidak akan bisa menarik abstraksi di kehidupan keseharian, misalnya saja memilih dua politisi yang buruk seperti buah yang busuk. Ketika disuruh memilih, mereka akan dengan senang hati memilih salah satunya, berdasarkan citra yang mereka senangi, supaya disebut bermasyarakat. Mereka akan berbangga menjaga kotak suara dan tempat pemilihan, merasa itu amanat dan ibadah. Mereka tidak akan mampu berpikir sampai "Untuk apa memilih dua buah yang sama-sama busuk?", bahwa tidak memilih juga merupakan suatu pilihan dalam bermasyarakat, dan bahwa justru memilih dari hal-hal yang buruk merupakan kesalahan fatal. 

Mereka tidak akan bisa membedakan antara membicarakan orang dengan tujuan baik dan membicarakan orang dengan tujuan buruk, bahkan mereka tidak menyadari bahwa membicarakan orang adalah salah satu hal yang kadang tidak dapat dihindarkan. Misalnya, si A bertanya pada si B, "B, kamu tau kenapa si C belakangan tidak masuk kerja dan kalau masuk kerja dia terlihat sedih?". Begitu si B menjawab," Ya, dia ada masalah dengan istrinya yang pencemburu." Si A malah terlihat kesal dan berkata, "Astagfirullah, jangan bergosip urusan orang lain!". Si A begitu tololnya dan begitu terkekangnya dengan nilai-nilai tak valid sampai tak sadar bahwa ia yang bertanya soal urusan si C. Mereka tak bisa membedakan bahwa membicarakan kondisi seseorang yang mengalami permasalahan dengan keluarganya karena peduli pada dampaknya atas dirinya dan performa kerjanya jelas berbeda dengan membicarakan seseorang karena hasrat bergosip. Mereka juga memahami kata bijak "Jangan mencampuri urusan orang lain" dengan literal, hingga walaupun agama mereka mengajarkan kepedulian, mereka malah menghiraukan istri atau anak tetangga mereka yang sering lebam dan bersedih karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain hingga tak peduli, dan lama kelamaan jadi tidak pedulian, tak mau peduli, lalu mengatasnamakan kata bijak tersebut.

Mereka juga akan hobi menonton berita dan membaca koran, tapi tanpa mengetahui dan mengkritisi bahwa semua berita tersebut dimiliki oleh orang atau kelompok orang yang berkuasa dengan memiliki agenda tertentu. Segala berita berlalu bagaikan hiburan yang seru. Mereka bangga bila hapal nama si ini dan itu di posisi ini dan itu sekarang sedang begini begitu. Mereka juga sangat antusias membaca dan menanggapi tautan-tautan norak, murahan, tak berbobot, dan mengandung banyak fallacy yang ditulis provokator, tentunya karena itu sepaham dengan pemikiran mereka. Mereka tak akan lelah menyebar kebodohan dari berbagai tautan tersebut di grup whatsapp dan facebook. Di sisa waktu luang lainnya, sesuai ajaran dan didikan masyarakat kapitalis, mereka tidak akan susah-susah membaca buku serius, mendengar musik serius, mengapresiasi karya-karya serius, justru kebalikannya. 

Mereka menolak kapitalisme dan bangsa asing (kecuali Arab dan semacamnya yang mereka anggap auto-saleh-dan-masuk-surga), tetapi mereka memakai produk-produk kaum yang mereka benci dan mereka kutuk masuk neraka. Mereka senang pergi ke mall dan makan di restoran milik (yang mereka sebut) asing dan kafir, daripada memasak sendiri. Mereka bilang agama mengajarkan semua manusia berkedudukan sama, tapi buat mereka juga, untuk urusan kecil saja, mereka mesti dihormati sedemikian rupa dan membabi buta, juga untuk kerjaan rumah kecil saja mesti pakai pembantu dan senang memiliki dan memperbudaknya, lalu juga ada kaum yang mereka sebut kafir yang halal dihina dan bahkan diam-diam bagi mereka layak dibunuh. Mereka yakin benar bakal langsung masuk surga setelah mati, hingga mereka bisa berbuat semena-mena begitu saja ke orang yang tidak mereka suka atau hanya berbeda sedikit saja dari mereka. Kalau surga ditempati bedebah-bedebah seperti kalian, surga seperti apa yang kalian bicarakan?



Entah saya mau bicara apa, tapi saya ingin menjaga pikiran dan akal sehat saya.

Tanya Kabar Saja, Tapi Dengar Jawabannya Ya

Pepatah umum dan kutipan tak berdasar biasa berkata kalau tidak ada pertanyaan yang bodoh. Tapi menurut saya mungkin ada. Menurut saya juga, pepatah umum dan kutipan tak berdasar itu malah mendorong orang-orang mengeluarkan pertanyaan tak berbobot dan tak perlu.

Kalau tidak tau mau bicara apa, kalau tidak mengerti tapi mungkin bisa mengerti sendiri kalau mau berpikir, diam dan pikirkan dulu. Sama seperti kalau tidak perlu bicara, senyum saja lebih bagus daripada berkomentar yang menyinggung dan bicara yang tidak-tidak.

Isi dari pertanyaan-pertanyaan itu misalnya:
1. Yang hanya mengulang-ulang penjelasan sebelumnya. Misalnya dalam seminar tentang sejarah suatu kotak, ada penanya menunjuk tangan lalu mengulang isi seminar "Blablablabla tentang sejarah suatu kotak" berdurasi lima menit atau lebih, lalu setelah didesak, pertanyaan dia cuma dan malah, "Gimana pendapat anda tentang warna di luar kotak tersebut?". Tujuannya kira-kira cuma "Hello people, I'm here! Sorry for wasting your time but I just want to be noticed"
Biasanya di ruang kelas, seminar, konferensi, dan apapun itu. Ini sepertinya saya pernah tulis deh.

2. Yang hanya mendeskripsikan kondisi yang mereka lihat. Misalnya, "Lo bawa buku banyak ya?" atau "Rambut lo panjang ya?" Tujuannya... Entah apa. Yang sebenarnya bisa lebih dihargai bila cuma say hi atau entah apa. Tanya kabar bakal jauh lebih manis.

3. Yang basa-basi, mau tau aja entah buat apa, tapi lalu tidak ada urusan berikutnya yang relevan. Misalnya, "Sudah makan belum?" atau "Tasnya berat gak?" yang mengisyaratkan tindakan berikutnya atau apa, tapi biasanya "belum" atau "berat" pun bukannya mereka mau kasih makan atau bantu bawa atau apa. Cuma mau tau aja. Basa basi aja mengisi kekosongan. Kalau misalnya dia kasih makanan atau bantu bawa tas atau apa, tentu pertanyaannya bukan lagi di kategori ini, masuk kategori pertanyaan peduli.

4. Yang menganggap kamu layaknya makhluk yang memiliki kekuatan omniscient (maha mengetahui). Biasanya bukan melibatkan diri kita saja tapi melibatkan kejadian-kejadian dengan orang ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya. Misalnya bertanya,"Gimana ya perasaan dia?" yang sekalian aja tanya sama saya, "Gimana ya rasanya jadi kelelawar atau jadi lemari?" atau pertanyaan lain, "Penyebab kejadian itu apa ya?" yang sekalian aja tanya sama saya, "Asal muasal alam semesta itu apa ya?"

Kenapa komunikasi manusia Indonesia bisa rusak sedemikian rupa sampai bertanya saja tak bisa?

23 July 2018

Sisi Gelap dari Gemerlap

Dalam jumlah yang masih bisa dihitung sebelah jari tangan, beberapa kali itu saya, dengan kecewa karena pada musim dingin tidak mengalami gangguan ketika berjalan sendirian, ternyata mengalami gangguan ketika berjalan sendirian di Rotterdam, ketika musim semi dan musim panas. 

Ketika cuaca tidak lagi membuat beku dan berbagai bunga mulai tumbuh dan mekar kembali, orang-orang senang menghabiskan waktu di luar rumah, duduk di kursi taman, duduk di teras restoran, duduk di atas rumput, mengobrol di jalanan, minum-minum di depan sungai, atau hanya sekedar berdiri merokok di luar gedung. 

Beberapa kali ketika saya berjalan sendirian, beberapa laki-laki asal saja memanggil saya "Nihao-nihao" atau "Konnichiwa", mengatakan saya cantik, menanyakan nama saya, bersiul, dst. Kejadian yang lumayan mengganggu saya adalah waktu saya diikuti saat berjalan pulang dari tengah kota. Laki-laki itu memanggil saya "Nihao" dan bersiul, yang tentu tidak saya gubris. Lalu saya sadar dia mengikuti saya karena saya mendengar suara langkahnya beberapa meter dari saya, dia kadang bersiul juga, saya lihat sekilas, dia memang mengikuti dan jalanan sedang sepi (ya kapan sih ramainya disini, seramai-ramainya juga di pasar). Saya jalan secepat mungkin, menyebrang jalan sana-sini sebanyak mungkin, dia masih mengikuti di Groenendal. Begitu melihat Albert Heijn (supermarket), saya jalan lebih cepat lagi lalu masuk ke dalamnya. Dia berhenti. Saya berlama-lama di dalam AH lalu mengecek jalanan dan keberadaannya sebelum saya lanjut pulang.

Dari tiap pengalaman itu, saya menandai wilayah-wilayahnya, jadi lebih sering naik tram, dan menggunakan strategi bila mau berjalan di sekitar wilayah tertentu. Misalnya, sepulang belanja groceries saya didekati laki-laki yang sepertinya sedang high karena area itu juga ada toko ganja (jenis yang dijual lumayan banyak), dan di lain kesempatan dimintai uang oleh laki-laki di area itu juga, meskipun dia tidak kasar dan saya bisa menolaknya, tapi itu tetap tidak membuat nyaman. Bila lewat area itu lagi, saya ingat-ingat untuk memilih berjalan di seberangnya, lalu menyebrang lagi nanti jauh di depan saja. 

Salah satu alasan saya tulis ini adalah karena pagi ini, waktu baru bangun tidur dan mengecek hp, saya dapat kabar dari teman saya di Bodegraven, kalau ada pelajar Indonesia di Rotterdam dicekik dan diperkosa di area De Esch. Dia diserang waktu dia pulang ke rumah dan sedang mengunci sepedanya. Sekarang dia dirawat di rumah sakit dan semoga cepat pulih lahir batin. Sepertinya pertolongan polisi dan ambulans lumayan telat datang karena penduduk lokal tidak bertindak lebih cepat. Seseorang hanya menyangka suara jeritannya sebagai suara anak-anak muda yang baru pulang pesta atau apa (di area apartemen saya juga, apalagi kalau Jumat malam, banyak suara orang teriak-teriak yang waktu saya cek lihat ke bawah dari jendela hanya kumpulan orang-orang mabuk di jalanan, atau mereka yang baru pulang dari bar bicara dengan teriak), sedangkan seseorang lagi mendengar jeritannya tapi terlalu takut buat bertindak, lalu tidur lagi. 

Hidup di negara maju memang jauh lebih nyaman, tapi kita mesti tetap jaga diri sebisa mungkin, jangan sampai terlena. Simpan nomor telepon polisi dan nomor darurat orang tersayang untuk dihubungi dengan cepat, pastikan selalu ada pulsa di hp. Pelajari lingkungan, bawa perlindungan. Selalu waspada. Perempuan, di mana pun kau berada, berhati-hatilah. 

27 June 2018

Ik hou van Nederland


Saya sangat suka Belanda. Orang-orangnya rendah hati, jujur, santai tapi sigap membantu, tidak suka ikut campur urusan orang tapi sentimental. Bandingkan dengan di Indonesia misalnya, ketemu orang tak dikenal yang tak bakal ditemui lagi, naik gojek atau gocar hanya 10 menit saja, saya ditanya sudah punya anak atau belum, kalau belum, kenapa? Melelahkan bila setiap hari berhadapan dengan orang-orang semacam itu. Tapi kalau kita tidak mau menjawab atau mengobrol, kita akan disebut "sombong". Serba salah. 

Yang saya suka disini adalah orang-orang, seperti keinginan pikiran saya, berkomunikasi seperlunya. Bila mau mengobrol, itu adalah obrolan keseharian yang ringan dan menyenangkan atau malah yang menggugah perspektif sekalian. Tidak ada pertanyaan yang tidak perlu, tidak ada ejekan untuk berupaya akrab, tidak ada pikiran negatif yang membuat segala hal menjadi buruk. 

Teman-teman saya disini adalah orang-orang baik, pintar, dan berpikiran terbuka. Kewarganegaraan mereka beragam, tetapi kami sama-sama menginginkan kehidupan dan lingkungan yang lebih baik. Kami tahu persis bahwa, jauh dari siapa-siapa, kami bisa menjadi keluarga tersendiri. Kami hidup berdekatan, paling jauh hanya jarak jalan kaki 30 menit. Kami tidak perlu pamer foto ketika berkumpul, kami tidak perlu berkumpul di tempat-tempat mewah karena disini segala sesuatunya sudah cukup baik, hingga seringkali cukup untuk saling berkunjung di tempat tinggal kami masing-masing, memasak bersama, atau membawa makanan untuk dimakan bersama. Salah satu hal yang menyenangkan adalah pertukaran budaya melalui makanan, kami suka bertukar makanan asal negara kami masing-masing dan mengapresiasi satu sama lain. Misalnya saya jadi rutin makan masakan rumah berbagai negara, dan itu terasa lebih menyentuh daripada makan makanan tersebut di restoran. Ada sentuhan rumahan yang sederhana, yang dibuat oleh orang-orang yang barangkali tadinya jarang masak tapi ketika disini rindu dan mau membawa rasa masakan rumah sebisa mereka, misalnya pollo guisado dan arroz con habichuelas rojas dari Dominika, bak kut teh, taiwanese beef stew, berbagai masakan Korea, Taiwan, India, dan Amerika lainnya (meskipun masakan Amerika sudah familiar buat orang Indonesia, seperti mac and cheese, brownie, dan cookie). Mereka juga jadi tahu dan sangat doyan rasa nasi goreng dan sambal yang dibuat dengan bahan-bahan segar oleh saya, yang jelas berbeda dengan rasa instan yang sangat tereduksi di Albert Heijn, Aldi, dan Jumbo. 

Berbagai sarana transportasi disini sangat menarik. Bila di Indonesia orang akan berlomba naik mobil (saya pun juga sih, terutama supaya aman dari gangguan orang-orang rawan dan menghindari panas yang tak terkira) entah untuk alasan kenyamanan, keamanan, atau ajang pamer, yang jelas begitu banyaknya mobil (karena bahkan satu rumah tangga kelas menengah mau mencicil sampai punya tiga mobil meskipun mereka tidak punya garasi mencukupi jadi parkir di jalanan) membuat jalan raya macetnya luar biasa. Di Belanda, mobil hanya salah satu dari sekian, dan urusan parkir jelas lokasinya dan tegas biayanya. 

Disini, selain transportasi umum yang jelas aman dan nyaman seperti metro, tram lama atau baru, bus, waterbus, watertaxi, untuk transportasi pribadi, selain yang jelas jalan kaki, kita bisa beli atau sewa sepeda (banyak perusahaan sewa sepeda disini), atau scooter, skateboard, rollerblade: inline skates atau quad skates, bakfiets (sepeda dengan "gerobak" untuk memuat anak-anak), mobil lucu dengan bak untuk beberapa orang, greenmobility (mobil listrik roda tiga kecil dan pendek untuk ukuran satu orang posisi duduk selonjor seperti di mobil balap), canta (mobil mikro untuk dua orang, yang tadinya dirancang untuk orang-orang difabel), hamsterball (sepertinya untuk hiburan saja), bahkan juga ski di atas jalan. Transportasi air pribadi juga beragam, dari canoe, kayak, yacht, kapal layar, motorboat, swanboat, dan seterusnya. Pokoknya saya selalu terhibur setiap berpapasan dengan berbagai transporasi pribadi yang unik itu. Hal lain yang menghibur tapi menyentuh hati ketika melihatnya di jalan raya adalah, bagaimana satu keluarga pirang, papa dan mama membonceng anak-anaknya di sepeda dengan beriringan, asyik saja berkendara, tidak peduli pada hujan gerimis (biasanya true Dutch tidak peduli pada gerimis, hujan, dan angin, mereka tidak suka pakai payung bahkan ketika jalan kaki, cukup jaket saja, tapi juga, hujan disini selalu lebih manusiawi dan tidak akan langsung membuat kita basah kuyup, jalanan pun dibangun dengan sangat baik resapannya sehingga jarang sekali ada becekan).

Saya juga suka bahasa mereka yang lucu dan persis, misalnya granat appel (apel granat=delima), huis dier (hewan rumah=hewan peliharaan), dan berbagai kata-kata diskon di toko-toko (korting, alles moet weg). Ya, saya memiliki semangat serupa dengan mereka, senang melihat diskon, kalau bisa gratis sekalian, tidak mau bayar, paling senang ditraktir! Saya sudah mempunyai teman pedagang langganan di market, yang kalau melihat saya dia langsung memanggil supaya saya menghampirinya, lalu dia menyodorkan produk terbaiknya, misal sekotak strawberry termerah yang dia sembunyikan di laci konter, dan memberikan diskon juga pada saya. Kadang saya belanja beberapa tapi hanya membayar untuk satu item saja (lalu karena dia terlalu baik saya jadi tidak enak).

Mau bicara bahasa Belanda atau bahasa Inggris disini cukup tricky. Beberapa orang hanya mau berbahasa Belanda, tapi beberapa orang lainnya senang menunjukkan kemampuan bahasa Inggris mereka yang sempurna dan beraksen British. Tapi secara umum, orang Belanda akan sangat senang dan merasa dihargai bila kita mau mengucapkan kata-kata atau bahkan kalimat Belanda walaupun masih canggung. Tiap orang kantoran, pak pos, kasir dan pelayan toko, supermarket, dan restoran, orang-orang di market baik pedagang maupun pengunjung, akan suka mendengar kita bicara bahasa Belanda, tersenyum, mengacungkan jempol, dan kalau benar-benar tak menyangka, akan berkata, "Ah, spreekt u Nederlands?!" lalu mengajak bicara lumayan panjang (yang mana saya masih belang-belang Inggris-Belanda). Misalnya teman pedagang saya di market tadinya menolak sama sekali bicara bahasa Inggris supaya saya bicara bahasa Belanda pada dia, tapi beberapa minggu kemudian dia bicara bahasa Inggris yang canggung ke saya, supaya kita bisa berkomunikasi. Yang jelas, walaupun berbeda kemampuan bahasa, kita bisa tahu niatan baik seseorang, untuk saling mau berusaha mengucap bahasa yang dimengerti.

Berada di sini, bertemu dengan makanan-makanan Belanda, belajar bahasa Belanda, saya jadi makin mempertanyakan apa itu Indonesia dan nasionalisme yang membabi buta, yang tidak mau mengakui bahwa Indonesia mengambil bentukannya melalui sejarah panjang kolonialisme Portugis, Belanda dan pengaruh budaya berbagai pedagang Arab, Cina, India. Bahkan kita orang Indonesia memiliki turunan-turunan tersebut. Banyak kata-kata di bahasa Indonesia yang saya temui di bahasa Belanda, walaupun saya sudah tahu bahwa bahasa Indonesia kebanyakan merupakan bahasa serapan dari Portugis, Belanda, dan Arab, tiap bertemu bahasa yang serupa saya selalu terhibur juga. Koffer di bahasa Belanda misalnya, di Indonesia jadi koper. Emmer di bahasa Belanda, di Indonesia jadi ember. Frikandel jadi perkedel. Kaastengels setidaknya, tetap sama. 

Blablabla, saya tidak tahu mau tulis apa lagi. Keluhan saya hanya, biasanya kamar mandi Belanda itu sempit, entah itu ruang toilet atau shower! Tapi kekurangan itu tertutupi dengan segala kelebihan disini. 
Fijne dag!

30 April 2018

Salah Satu yang Tak Saya Mengerti

Salah satu emosi manusia yang tidak saya mengerti dan hampir tidak pernah rasakan adalah rasa iri. Kebanyakan saya hanya melihatnya, mengetahui seseorang merasakannya, dan menjadi korban dari rasa iri. Rasa iri bisa membuat seseorang memperlakukan orang lain yang diirikannya dengan lebih buruk daripada semestinya memperlakukan sesama manusia. Menyebar kata-kata buruk dan kebohongan, mengucilkan, membunuh baik secara karakter maupun di kasus-kasus kriminal tubuh sepenuhnya. Rasa iri bisa membuat seorang pengecut menghabiskan waktu membuat rencana-rencana buruk, mengompori orang lain dengan bisikan-bisikan busuk mengenai orang lain yang diirikannya, supaya lambat laun orang tersebut menjadi kaki tangan untuk kejahatannya. 

Dalam berbagai kesulitan dan gelapnya hidup di masa lalu, saya hampir selalu ikut senang bila melihat kemudahan hidup dan kebahagiaan orang lainnya. Dalam episode-episode suram hidup saya, hampir tidak pernah saya biarkan orang lain tahu secara sengaja, kecuali orang-orang dekat saja. Sebisa mungkin saya melukis fasad "saya baik-baik saja dan dari keluarga baik-baik saja", tampil dengan "normal" di muka umum. Bila melihat orang yang sangat cerdas saya kagum, sangat cantik atau tampan saya kagum, sangat sukses saya kagum, sangat sejahtera saya kagum, sangat artistik saya kagum. Dengan kata lain saya turut menikmati yang mereka pancarkan. Saya hampir tidak pernah merasa iri pada orang-orang yang terlihat jauh lebih bahagia dan berkondisi atau berkualitas jauh di atas saya dari segi apapun. Saya mengakuinya, saya mengagumi mereka.

Mungkin saya tidak punya kapasitas untuk perasaan iri seperti itu, mungkin saya tahu bahwa setiap orang memiliki jalur hidup berbeda yang tak bisa dibandingkan, mungkin sebagai korban rutin dari rasa iri saya memahami ironi dari rasa iri. Bahwa orang lain hanya menginginkan hal-hal bagus yang tampak, tetapi tidak mengerti bahwa dibaliknya ada penderitaan-penderitaan, entah yang berhubungan dengannya ataupun tidak sama sekali.

Bagaimanapun, hampir kebalnya saya pada rasa iri mesti saya syukuri.
Masih tidak saya mengerti, mengapa umumnya manusia tidak bisa ikut bahagia atau ikut menikmati bila melihat pancaran kebahagiaan, kebagusan, kecerdasan, kesuksesan, keindahan, dan kualitas positif yang sedang hinggap di orang lain? 


16 April 2018

Saya yang Cinta pada Keindahan

Saya serakah pada keindahan.
Saya mengagumi bunga-bunga di toko dari kejauhan selama bermenit-menit,
lalu mendekati dan menatap mereka lagi selama bermenit-menit.

Saya menggenggam bunga-bunga pilihan di pelukan saya sepanjang jalan.
Di rumah, saya memotong dahan dan menata mereka sesuai keinginan saya,
lalu saya mendekati dan menatap mereka lagi selama bermenit-menit.

Lewat, mengunjungi, menghirup, menyentuh, menatap mereka bermenit-menit.

Hari demi hari merawat, mengganti air, dan menunda kematian mereka,
menyadari perubahan harian, mengagumi keindahan, mengelus kelembutan, menghirup harum, mengamati tekstur dan helaian kelopak mereka.

Saya serakah pada keindahan.
Saya mengagumi kemiripan, ketidakmiripan, kecantikan, kejelekan, keseimbangan, ketidakseimbangan, kegembiraan, kesedihan, kerinduan, kejijkan, kengerian, keanehan, keabsurdan, kekonyolan, dan ke-nyata-an dari tiap karya seni di museum.
Menatap dari jauh dan dari dekat, mengamati tekstur dan bahan mereka, menerka ide dan konteks, dan membayangkan situasi zaman mereka.
Berjalan hilir mudik, berputar kembali ke karya-karya yang sama selama berjam-jam. Duduk ketika lelah, membiarkan pikiran berkelana sebelum tubuh kembali menjelajah.

Saya serakah pada keindahan.
Saya senang memainkan musik-musik yang sama di piano hingga ratusan kali, merasakan gerakan, kelelahan, dan kenikmatan yang sama.
Saya senang mendengarkan musik-musik yang serupa hingga ribuan kali.
Saya menangisi musik-musik yang serupa berpuluh kali, merasakan sensasi emosi yang membuka luka, merasakan cerminan jiwa, memahami jiwa sendiri, larut dalam semesta.

Saya serakah pada keindahan.
Saya senang berlama-lama menatap sungai dan danau, menghirup bau laut, menatap bentuk awan, dedaunan, pepohonan, rerumputan, bunga-bunga, dan hewan-hewan liar.

Dalam melakukan semua hal itu,
saya sadar bahwa saya serakah pada keindahan,
memiliki ruang khusus, dan butuh untuk terus mengisinya.