Bedah buku pertama di kampus sendiri, UI Depok, dengan teman-teman dan dosen-dosen tercinta.
Bedah buku kedua di Yogyakarta, yang datang adalah mahasiswa, mahasiswi, dosen ISI, dan musisi. Saya pergi kesana dengan teman saya yang keren dari sananya, Mellisa, yang sekarang sudah menjadi pilot Garuda. Saya tidak punya banyak foto disini, tapi audiens jauh lebih banyak dari bedah buku pertama hingga tempat penuh. Saya rasa salah satunya karena orang-orang bersemangat untuk datang ke acara berkaitan dengan buku itulah kenapa Yogyakarta disebut kota pelajar?
Bedah buku ketiga di Jawa Pos ditulis dengan kritis oleh mas Aris Setiawan yang merupakan etnomusikolog dan dosen Fakultas Seni Pertunjukkan ISI.
Bedah buku keempat di Depok lagi, di Cak Tarno Institute, hehe. Saya tidak punya poster dan foto berkaitan. Acaranya sangat santai. Pak Tommy, bung Daniel, dan tentunya Cak Tarno ada disana.
Bedah buku kelima di Jakarta, dengan salah satu pembahasnya teman saya yang dari sananya pintar, Natasha. Audiens yang datang ada beberapa teman saya dan sepertinya mahasiswa serta mahasiswi didikan mas Yosie yang hobi riset dan ngopi.
Mengenai kritik dalam akhir ulasan di Jawa Pos bahwa "penulis banyak memindah ulasan dan pendapat dari referensi yang dibacanya sehingga terkesan sebagai etalase tempelan dari pelbagai buku", saya harap kelihatannya memang semudah itu, tapi tidak. Karena buku tersebut berangkat dari karya tulis akademis (program studi filsafat bagaimanapun berada di kampus UI yang memiliki standar penulisan tertentu), maka bentuknya demikian. Tapi saya perlu mengingatkan bahwa hampir semua hal yang kita ketahui, yang kita pikirkan, itu kita dapatkan juga dari gagasan orang-orang terdahulu. Menulis referensi merupakan bentuk penghargaan atas pikiran. Meskipun perlu referensi, tulisan juga perlu kebaruan, pada bagian analisa, saya hampir tidak menulis referensi karena pada bagian itu diperbolehkan mengandalkan hanya pikiran untuk akhirnya sampai pada kesimpulan.
Saya tidak menolak pentingnya berbagai data dan konsep, tetapi saya mengingatkan juga bahwa pikiran selalu memiliki sesuatu lebih dulu, kemudian mencari data, lalu menambahkan sesuatu ke data dan konsep sebelum pengetahuan baru bisa didapatkan, hingga pemikiran dalam buku tersebut akhirnya memiliki rangkaian konsep yang disusun dengan logika tersendiri. Analoginya, pelukis membayangkan ia mau melukis apa, tetapi ia harus mencari, memilih, dan meracik warna-warna yang sesuai dengan pikirannya, hingga akhirnya jadi sebuah lukisan baru.
Saya mesti akui, di banyak acara, saya bukan pembicara yang baik layaknya dalam keseharian. Banyak pikiran yang sulit terucap, pertanyaan yang tak terjawab, belum lagi gerak-gerik yang aneh karena saya canggung. Tetapi, saya harap buku Apa Itu Musik? meskipun banyak kekurangannya, sedikit bermanfaat bagi para pembacanya dan dapat terus dikritisi.
diperbarui tanggal 10/14/2016