Ulasan Buku Sajak “Seperti Para Penyair”, Karya Sabiq Carebesth
Secara definisi, puisi merupakan tulisan yang biasanya memiliki bahasa figuratif dan tertulis dalam barisan terpisah yang seringkali memiliki irama dan rima berulang. Secara personal, puisi merupakan upaya memunculkan apa yang tersembunyi, yang seringnya lebih dekat dengan berbagai emosi gelap, dengan cara lebih indah. Emosi itu abstrak, hingga kita mewujudkannya melalui kata-kata. Tetapi kita merasa bahwa kata-kata terkadang tidak mencukupi untuk menggambarkan begitu dalam, luas, dan rumitnya apa yang kita rasa.
Dalam kesibukan dunia, kadang kita melalui hari dengan hampa tanpa rasa, karena itu jauh lebih mudah dibanding merasa. Karena mungkin kita takut menderita dengan merasa. Kita melalui hari-hari bernama sama, dengan kegiatan yang sama, hingga tanpa terasa hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Bersinggungan dengan buku sajak Sabiq Carebesth “Seperti Para Penyair”, kita seperti diingatkan lagi untuk lebih merasa, untuk lebih peka, pada setiap kejadian yang kita lewati begitu saja. Kita juga diingatkan bahwa tidak apa-apa untuk sesekali membiarkan memori mengunjungi kita.
Sabiq menguraikan yang diamatinya dari kejadian keseharian, juga menguraikan yang disuguhkan dalam kepalanya dari memori. Keteguhan perempuan pekerja menghadapi kerasnya hidup, juga jalinan kusut industri, kelas, uang, penderitaan, dan Tuhan digambarkan dalam puisi “Sajak Remaja”. Ia perempuan ayu yang mengejar bus di pagi hari untuk bekerja di pabrik lalu pulang tengah malam ke kontrakan sempit. Ia berpaling dari Tuhan yang mungkin ia anggap tak mampu melindungi. Tuhan tak bisa mencegahnya berpaling, tapi Tuhan maha pengampun dan tahu di dalam hatinya ada cinta-Nya. Seperti seorang yang terus mengamati, sosok “aku”, kemudian tahu bahwa perempuan itu telah pergi. “Aku” disergap kesendirian, tetapi dengan rela melepas dan mendoakan.
Dan aku sekarang sendiri
Duduk menatap roti
Yang dulu kau bikin sepanjang hari
Yang tak pernah bisa kau beli
(kutipan dari puisi Sajak Remaja, hal. 3)
Menelusuri halaman-halaman buku sajak ini, kita akan temui cinta, hasrat, duka, pencarian, kerinduan, kegelisahan, kekecewaan, penyesalan, penderitaan, kenangan pahit, kenangan manis, kenangan pahit-manis, juga kepasrahan. Sebagai manusia, memang ada hal yang tidak dapat kita pilih dan tidak dapat kita hindari yang disebut dengan faktisitas. Hidup dalam tiga dimensi waktu, masa kini, masa lalu, dan masa depan, manusia kadang kebingungan dan tak berdaya atas berbagai rasa yang menyergapnya dari berbagai dimensi waktu.
Kenangan memang hampa,
tapi hujan memberinya nyawa.
Kita jadi teringat pada gelak tawa yang dulu,
sayang hujan reda, dan kita telah berlalu…
(kutipan dari puisi Tarian Musim Hujan, hal. 12)
Kesendirian, ketakberdayaan, dan penderitaan yang umum dialami masyarakat kota nampak dalam puisi “Dalam Tungku Waktu Sajak-Sajak Membakarku”. Di balik kota yang riuh dan berkilau, dengan rumah ber-AC yang nyaman, “aku” jatuh iba pada hasrat manusia kota. Tetapi bagai sudah tersesat dalam pusaran riuh, “aku” sendiri tak berdaya.
Kutunggu kapal-kapal berlabuh
Kapal-kapal kekosongan
Yang tersesat dari dermaga
Didorong angin dari ujung waktu
Buat menyusulku kembali
Menjemputku pada derita sehari-hari
(kutipan dari puisi Dalam Tungku Waktu Sajak-Sajak Membakarku, hal. 20)
Setiap manusia, dengan keberbedaan dirinya, keberbedaan pengalamannya, keberbedaan kesanggupannya, keberbedaan pengetahuannya, keberbedaan pemaknaannya, tentu memahami setiap hal dan bertindak dengan sangat berbeda. Kadang rapuh, kadang kuat, sudah merupakan jalan manusia untuk terus membawa berbagai beban mereka sendiri sepanjang hidupnya, dan sudah merupakan tugas manusia untuk berupaya memahami dunia dalam perjalanannya. Karena pikiran dan perasaan harus bekerja sama untuk menghasilkan makna yang dapat menggerakkan, di suatu kesempatan, manusia mesti bisa memahami dengan merasa, seperti para penyair.