29 April 2012

Mengenai Sekularisme



Opini Mengenai Sekularisme

Agama dan negara merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan. Negara memiliki banyak warga negara dengan kepercayaan agama yang beragam. Menurut saya, sekularisme merupakan hal yang bagus, dapat dikatakan bahwa saya setuju dengan penerapan sekularisme. Sekularisme merupakan ideologi yang lahir dalam peradaban modern yang berupaya memisahkan ruang publik dengan ruang privat. Di Eropa pada abad ke-19 terjadi  pemisahan antara hal-hal yang menyangkut agama dan non agama. Sedikit demi sedikit urusan keduniaan memperoleh kemerdekaan dari pengaruh institusi agama dimana gereja tidak berhak ikut campur tangan dalam bidang politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan.
Sekularisasi merupakan proses menuju sekularisme, awalnya diartikan sebagai pemisahan antara urusan negara, pemerintahan, politik, dengan urusan agama, kemudian berkembang sebagai kecenderungan melihat permasalahan dari sudut duniawi dan kekiniaan dengan cara-cara yang rasional maupun empiris, seperti yang ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan. Sekularisasi merupakan bertahap menuju sekularisme. Pemahaman sekularisasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh Nurkholis Majid. Menurutnya, sekularisasi adalah desakralisasi urusan duniawi yang merupakan proses pembebasan manusia dari unsur-unsur pemitosan  agama terhadap urusan duniawi (demitologisasi). Dalam agama Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia, tidak ada pemisahan agama dengan dunia seperti yang ada di dunia Barat, yang ada adalah pembedaan antara urusan agama dengan urusan dunia atau negara.
Dengan banyaknya sistem kepercayaan yang dianut oleh banyak warga negara, kehadiran sekularisme selain memisahkan dan membedakan urusan akhirat (agama) dengan urusan dunia (negara), secara tidak langsung juga dapat menambah toleransi antar umat beragama. Seperti yang kita ketahui, pada dasarnya semua agama memiliki nilai moral yang universal, mengajarkan kebaikan, menghindarkan keburukan. Namun dengan perbedaan kepercayaan tertentu, hal tersebut dapat menjadi masalah ketika suatu agama berbentrokan dengan agama lain karena masing-masing pemeluknya merasa paling ideal. Nilai moral universal pun gagal terwujud. Tanpa adanya sekularisme, sebuah agama yang dominan dalam suatu negara berisiko mendominasi dalam sistem pemerintahan dan merugikan pemeluk agama-agama lain yang minoritas di negara tersebut, kemudian dapat menimbulkan konflik lebih lanjut. Dengan pembedaan urusan agama dan dunia, urusan privat dan publik, sistem sekuler dapat melindungi semua agama, tidak hanya agama tertentu saja, sebab negara bersikap netral terhadap agama, namun hal itu diharapkan juga mendorong sikap saling menghargai antar tradisi para umat beragama maupun yang tidak beragama.
Bila kita mencari golongan yang menentang sekularisme, kita akan bertemu dengan kaum mayoritas yang kurang kritis disana. Mereka memang merasa tak butuh sekularisme. Kalau bisa mereka berupaya menjadikan agama mereka sebagai agama seluruh warga negara. Mayoritas akan menentang sekularisme dengan berbagai alasan, entah karena produk barat, dan lainnya. Tetapi mereka juga harus mempertimbangkan ketika posisi mereka terbalik, ketika mereka berada pada posisi minoritas. Tentu sikap mereka akan berbeda karena sistem sekularisme menguntungkan semua pihak dengan kenetralannya. Toleransi antar umat beragama sangat penting untuk mencegah timbulnya diskriminasi.
Sekularisme pada awalnya hadir di barat dengan latar belakang antara lain refleksi dari kesuraman di abad pertengahan dimana agama Kristen mendominasi negara dan menimbulkan ketidaknyamanan dalam kehidupan karena banyaknya kewenangan yang diatur oleh pemuka agama yang mengklaim bahwa mereka adalah institusi resmi wakil Tuhan dimuka bumi. Orang-orang yang berotoritas tersebut kemudian melakukan hegemoni dan doktrin atas kepentingan-kepentingan kalangan tertentu dalam kehidupan bermasyarakat dengan mengatasnamakan agama, serta melakukan tindakan brutal untuk mendiskriminasikan agama-agama lain juga pihak-pihak lain. Mereka telah melihat bahwa ketika suatu agama tertentu mendominasi urusan negara, maka banyak hal buruklah yang terjadi karena kekuasaan tersebut, seperti kekerasan antar umat beragama. Hal itu terjadi di peradaban barat pada abad pertengahan kemudian ditinggalkan dengan penerapan sekularisme.
Namun demikian, justru di Indonesia pada masa modern ini dengan kemajuan teknologi yang beredar berkat perdagangan global seperti ipad, blackberry dan sebagainya, pola pikir masyarakat seperti sedang diarahkan kembali oleh kelompok tertentu menuju pada abad pertengahan yang terkenal juga dengan abad kegelapan dimana terdapat dominasi agama tertentu yang mengarah pada diskriminasi agama lainnya. Tahun 2011 lalu misalnya, terjadi peningkatan pelanggaran dalam kehidupan beragama dibandingkan dengan tahun 2010. Jemaat Ahmadiyah adalah korban terbanyak dengan 46 kasus, kemudian ada pembakaran pesantren milik warga Syiah di Dusun Nangkernang. Kemudian pada Jumat kemarin terjadi pelanggaran HAM ketika  sekelompok organisasi yang mengatasnamakan agama berulah membubarkan diskusi Irshad Manji. Selain itu pemerintah Indonesia seakan diam saja menyaksikan peristiwa kekerasan tersebut, membiarkan ‘preman-preman agama’ yang seringkali mengganggu keharmonisan dan kerukunan beragama.
Kekerasan seperti itu tidak akan terjadi ketika masyarakat menyadari dan memahami bahwa agama apapun yang dianut oleh berbagai orang, merupakan urusan personal masing-masing individu. Selama urusan kepercayaan mereka prakteknya tidak mengganggu dan merugikan masyarakat, seharusnya masyarakat tidak menggangu mereka. Urusan masing-masing adalah milik masing-masing. Kekerasan tersebut merupakan bukti dominasi dari agama tertentu terhadap pemerintahan, dan tentu mayoritas tidak merasa dirugikan, yang dirugikan tentu minoritas. Ironisnya sekali orang yang mengusung agama yang seharusnya penuh rasa damai malah melakukan tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama tersebut. Dengan demikian aturan kebebasan atau hak-hak sipil dalam menjamin perlindungan hukum dan kesempatan yang setara bagi semua warga negara tanpa memandang ras, agama, serta jenis kelamin, hanyalah sekedar aturan.
Semua manusia pada hakikatnya menginginkan kebebasan. Bahkan sebenarnya manusia melekat pada eksistensi manusia dan manusia bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya, apapun itu. Semua manusia berkebebasan. Manusia harus memahami hal tersebut sebagai sebuah apresiasi terhadap kebebasan satu sama lainnya agar tidak terjadi pelanggaran terhadap kebebasan orang lain. Lakukan kebebasan tetapi jangan mengganggu kebebasan orang lain. Kebebasan ini tentunya juga berlaku dalam hal keyakinan karena keyakinan adalah bagian dari pilihan manusia yang bereksistensi. Sehingga dapat dipahami bahwa manusia bebas untuk beragama apapun, maupun bebas bila tidak ingin beragama.
Sekularisme kiranya dapat mewadahi keharmonisan kehidupan warga negara, bukan dengan menolak agama seperti yang dilakukan oleh kaum fanatik dengan menolak agama tertentu, namun, sekularisme membantu membedakan urusan agama dengan dunia sehingga tidak ada yang terdominasi dan tersubordinasi. Segala urusan di dunia sebaiknya dibahas dengan term-term duniawi yang rasional, empiris. Sedangkan urusan agama merupakan hal personal bagi masing-masing warga negaranya yang seharusnya tidak mengganggu dan tidak perlu diganggu, justru nilai universal yang esensial didalamnya seharusnya dimaknai dan dipraktekkan secara mendalam oleh masing-masing individunya.

28 April 2012

Daydreaming?






Saya tertarik dengan patung diatas. Patung tersebut pernah dipamerkan dalam pameran tunggal Altje Ully Pandjaitan berjudul “The Second Skin” di Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan. Judul “The Second Skin” sendiri seperti memiliki kaitan dengan “The Second Sex” dari Simone de Beauvoir, namun sang seniman sendiri mengaku bukanlah seseorang yang akrab dengan wacana feminisme. Pada pameran yang dikuratori oleh Jim Supangkat tersebut, terdapat 12 buah patung dalam beragam ekspresi dan kostum yang meniru wujud perempuan. Kesemua patung tersebut berkepala botak dan memiliki tubuh  perempuan sintal. Mereka dinamakan Bogi oleh Altje, Bogi adalah kependekan dari Boneka Bogel. Mungkin untuk memudahkan orang-orang mengingatnya, seperti mengingat Barbie. Altje menjadikan dirinya sendiri sebagai model bagi 12 buah patung karyanya tersebut.

Dari 12 buah patung, saya tertarik dengan salah satu dari patung tersebut untuk diapresiasi. Patung itu berjudul “Daydreaming” atau “Melamun”. Ukuran patung ini adalah 54x44x64 cm. Patung “Daydreaming” memiliki warna kulit kuning langsat, berkepala botak, bertubuh sintal. Ia dibuat dengan bahan fiberglass. Selain itu, patung ini mengenakan pakaian ketat pendek,  jauh diatas lutut, dengan bahu terbuka, namun tangan tertutup hampir ¾,. Pakaian patung berwarna merah muda berbahan kulit, selain itu ia mengenakan kalung berbentuk kotak-kotak berjajar dengan titik ditengah kotak. Kalung tersebut menempel ketat dileher patung, berwarna variasi metalik ungu, merah muda, dan emas. Selain itu patung juga mengenakan sepatu sandal yang panjangnya hingga betis, berwarna merah marun dengan aksen warna perak pada beberapa bagiannya. Patung tersebut dibuat berpose duduk diatas balok kayu berwarna cokelat tua dimana judul patung tersebut terpampang, dan beralaskan balok putih besar. Tubuh patung agak condong kedepan dengan kedua lutut merapat dan kedua betis meregang, tangan kanan patung terlipat rapi diatas paha, tangan kiri patung sikunya bertumpu pada lutut dan bertopang dagu sementara wajah patung sedikit mendongak keatas.

Bila melihat patung “Daydreaming” ini, kita tidak dapat memungkiri bahwa wujudnya terlihat seperti boneka manekin, namun dengan pembedaan, bila pada boneka manekin ukuran tubuhnya cenderung langsing, patung “Daydreaming” bertubuh sintal dengan dada padat dan pinggul berlekuk.

Patung tersebut seperti terpengaruh desain modern, terlihat pada kemasan dan tampilannya yang ringan dan ringkas. Patung tersebut duduk diatas balok kayu warna cokelat tua dimana plakat judulnya tertera, dan beralaskan balok putih besar. Penggunaan bentuk balok yang sederhana dan berkesan ringan, serta pilihan warna alas seperti coklat tua dan putih mendukung kesan modern dan ringan pada karya “Daydreaming”.

Penggunaan warna baju dan aksesoris yaitu warna merah muda, merah marun, ungu, perak dan emas memberi kesan cerah dan gemerlap pada sosok patung “Daydreaming”. Seperti kesan keceriaan dan kesan kemudahan hidup yang sering kita jumpai pada televisi dan majalah mengenai gaya hidup.

Ada keunikan dalam patung “Daydreaming”. Patung tersebut mengenakan baju yang bisa dikatakan seksi, minim, berani dan terbuka, menunjukkan bahu dan paha. Hal ini agak kontras dengan pose melamunnya yang polos seperti menunjukkan kepolosan dari sisi anak-anak. Kita tidak tahu betul patung ini maksudnya sedang melamun mengenai apa, dan hal ini juga membuat patung ini semakin unik.

Apa yang disebut sebagai ‘seni’ merupakan sesuatu yang dapat terindera oleh manusia, namun seni itu sendiri melampaui benda seninya. Seni dapat terjadi bila ada dialog antara subjek seni dengan objek seni sehingga saling memberi dan menerima. Dalam interpretasi ini, saya akan berusaha mengungkapkan bahwa patung “Daydreaming” merupakan suatu karya seni.

Perempuan sering kali menjadi Subject Matter dalam karya-karya seni, entah dalam lukisan, patung, puisi, dsb. Pada patung “Daydreaming”, saya melihat bahwa karya ini merupakan Imitative Art yang memiliki unsur mimesis, ekspresi emosi, mengusung tema seks dan gender, juga pengobjekkan manusia, khususnya perempuan.

Mimesis disini merujuk pada pengertian mimesis yang positif dari Aristoteles, peniruan dunia, alam dan manusia, namun tidak sekedar meniru, karena dalam peniruan pun melahirkan karya baru yang memiliki gagasan dari salah satu sudut pandang. Karya ini meniru diri sang seniman. Namun, meniru disini tidak sekedar meniru, terdapat juga perenungan atas peniruan itu. Dalam pembuatan karyanya yang menirukan dirinya sendiri, sang seniman tentunya semakin menyadari individu yang bagaimanakah dirinya. Patung “Daydreaming” disini merefleksikan kenyataan dari diri sang seniman.

Karya “Daydreaming” dari pameran bertajuk “The Second Skin” juga memiliki unsur ekspresi emosi dari senimannya. Seniman sendiri mengaku tidak mengaitkan judul pamerannya dengan “The Second Sex” dari Simone de Beauvoir, meskipun masalah yang diusung juga terkait dengan gender. Ia mengekspresikan perasaan dari dalam ke luar dirinya dalam bentuk seninya melalui medium yang digunakannya. Kita harus ingat bahwa sebuah karya dibuat dengan tujuan tertentu. Tolstoy mengatakan bahwa sebuah karya seni berhasil apabila karya seni tersebut mampu membangkitkan perasaan yang dialami seniman ke penikmat seni. Kita dapat menangkap suatu kesan dari penggunaan model baju, warna baju dan aksesoris yang cerah dan gemerlap, gaya, dan ekspresi, patung “Daydreaming” seperti menggambarkan salah satu sisi dari seorang perempuan kota besar, seperti dari kalangan menengah atas dengan pikiran terbuka, cukup konsumtif dengan gaya baju dan sepatu yang mengikuti mode, memiliki gaya hidup ala perkotaan, dan memiliki akses untuk menikmati kemudahan hidup.

Selain kesan, kita juga dapat menangkap pesan ekspresi seniman dari patung “Daydreaming”. Tajuk pameran “The Second Skin” sendiri mengungkapkan dan mengingatkan bahwa pakaian yang kita kenakan, yang melekat pada tubuh kita, seperti ‘kulit kedua’ dari diri kita. Setiap hari, kita selalu mengenakan pakaian. Kesan utama, adalah penggunaan pakaian minim dan terbuka pada karya “Daydreaming”. Seperti yang kita ketahui pada umumnya, masyarakat Indonesia dengan budaya ketimurannya biasanya beranggapan bahwa perempuan yang mengenakan pakaian minim dan terbuka adalah perempuan yang ‘tidak baik’. Hal inilah yang sepertinya ingin diangkat oleh sang seniman. Sang seniman disini sendiri merupakan seorang perempuan yang senang berpakaian minim dan terbuka. Karya seninya sangat dekat dengan kenyataan kehidupan kesehariannya. Melalui karya seninya, kita mendapatkan sudut pandang lain, bahwa tidak semua tujuan perempuan mengenakan pakaian seksi adalah untuk memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya dan memicu hasrat seksual laki-laki menjadi terpicu karenanya, melainkan tujuan perempuan mengenakan pakaian seksi adalah karena perempuan itu menyukai pakaian itu.

Patung ini merepresentasikan perempuan yang mengenakan pakaian seksi sebagai bentuk penghargaan terhadap pakaian yang ia senangi. Hal tersebut merupakan bagian dari pilihannya sebagai makhluk yang bereksistensi. Ketika perempuan memakai pakaian minim dan terbuka ditempat umum, tujuannya adalah untuk memamerkan pakaian yang menurutnya bagus dan indah itu kepada orang-orang agar turut dapat melihat keindahannya, tujuannya bukan memamerkan tubuhnya. Namun, yang terjadi adalah, pandangan orang lain biasanya langsung tertuju pada lekuk tubuhnya, bukannya melihat sisi keindahan pakaiannya, kemudian menganggap perempuan itu sebagai perempuan ‘tidak baik’ karena berpakaian terbuka, atau membayangkan perempuan itu sebagai objek dari hasrat seksualnya.

Bila kita pikirkan secara refleksif, karya ini juga mengangkat persoalan bahwa perempuan diposisikan seperti objek yang didefinisikan oleh budaya dan masyarakat, bukan oleh dirinya sendiri sebagai subjek. Simone de Beauvoir mengatakan bahwa dimensi patriarki membuat relasi laki-laki terhadap perempuan sebagai yang ‘inferior’ dirinya, sebagai seks semata, sebab perempuan didefinisikan dengan referensi kepada laki-laki dan bukan referensi kepada dirinya sendiri.

Seperti yang kita ketahui, laki-laki memiliki obsesi dan hasrat pada tubuh perempuan, hal ini dapat ditemukan pada tiap tempat di dunia. Banyak perempuan yang tidak merasa ditindas padahal sedang dalam keadaan tertindas. Mereka mengira bahwa hal yang mereka alami adalah hal normal dan wajar yang memang harus mereka alami karena mereka adalah perempuan. Padahal hal tersebut tentunya adalah konstruksi sosial. Kesadaran perempuan direpresi, ketika mereka sedang dijadikan objek bagi orang lain. Sartre mengatakan bahwa kejatuhan seseorang adalah eksistensi orang lain. Kehadiran orang lain dapat menyusup ke dunia kita, pandangan orang lain membekukan kita sebagai subjek.

Karya seni memiliki efek emosi bagi penikmatnya. Dalam karya “Daydreaming”, kita dapat membayangkan bahwa wujud perempuan sintal berbaju terbuka yang sedang tenggelam dalam lamunannya ini, karena memiliki tubuh, ketubuhannya dapat dijumpai oleh orang lain. Ketika perempuan ini sedang  ber”Daydreaming”, melayangkan pikirannya ke persoalan lain, ke tempat lain, ke hal-hal berbeda, ketubuhannya dirampas oleh orang-orang lain yang melihatnya, dengan memperhatikannya lekat-lekat ataupun sekejap melihat sambil lewat, orang lain bisa saja memikirkan kemungkinan situasi yang dapat dilakukan olehnya, menyusun dunianya dengan menyertakan ketubuhannya. Namun dengan teori Sartre tadi bahwa kejatuhan eksistensi seseorang adalah eksistensi orang lain, disisi lain, kita bisa juga mengasumsikan bahwa sosok perempuan dalam patung “Daydreaming” ini juga mungkin saja sedang merampas ketubuhan orang lain dan menyusupkannya sebagai objek dari lamunannya.

Altje Ully Pandjaitan merupakan seniman yang senang menjadikan dirinya sebagai model bagi karyanya, karyanya banyak terinspirasi dari dirinya sendiri. Seniman yang senang juga melakukan hal ini adalah Vincent van Gogh. Ia membuat self portraitnya sendiri sebanyak sekitar 30 buah lukisan. Bila karya Altje memiliki kesan seksi, karya van Gogh memiliki raut muka yang hampir sama seriusnya.

Bila menilik melalui orisinalitas dari kreativitas sang seniman, menurut saya, patung “Daydreaming” memiliki orisinalitas cukup baik, karena upayanya adalah menghadirkan sisi diri sang seniman yang menyukai cara berpakaian terbuka, dan secara implisit mengandung sudut pandang berbeda dengan kebanyakan orang, bahwa ketika perempuan berpakaian seksi, hal itu bukan dengan tujuan untuk memamerkan tubuhnya, melainkan untuk memamerkan pakaian yang perempuan itu sukai. Sayangnya, masyarakat, terutama laki-laki, malah langsung melihat tubuhnya, merampas ketubuhannya dan menjadikannya objek dalam pikiran mereka.

Hal yang menarik adalah judul “Daydreaming” dari karya ini, ketika perempuan ini sedang  ber”Daydreaming”, melayangkan pikirannya ke hal-hal berbeda, ketubuhannya bisa saja dirampas oleh orang-orang lain yang melihatnya, menyusun dunianya dengan menyertakan ketubuhannya. Namun dengan teori Sartre bahwa kejatuhan eksistensi seseorang adalah eksistensi orang lain, disisi lain, kita bisa juga mengasumsikan bahwa sosok perempuan dalam patung “Daydreaming” ini juga mungkin saja sedang merampas ketubuhan orang lain dan menjadikannya objek pada lamunannya.

Penguasaan teknik sangat penting dalam penciptaan karya seni, karena makin mengenal dan menguasai teknik seni, makin bebas pula sang seniman menuangkan segala aspek gagasan seninya.

Apabila melihat hasil karya “Daydreaming”, kelihatannya tidak ada yang begitu rumit dari detail tubuh patung, rasanya hampir seperti melihat manekin yang lebih sintal. Media dari karya ini adalah fiberglass, telah disebutkan sebelumnya bahwa karya ini berukuran 54x44x64cm. Pembuatannya tentunya jauh lebih mudah bila dibandingkan dengan karya “David” dari Michelangelo yang berukuran 5.17 m, dan terbuat dari marmer, yang dibuat dengan teknik memahat. Patung “Daydreaming” yang bermedia fiberglass dibuat dengan teknik mencetak.

Biasanya seniman terikat oleh tenik seninya, namun gagasanlah yang menuntun seniman untuk melakukan teknik baru, bukan sebaliknya. Bila melihat hasil karya “Daydreaming”, kita dapat melihat bahwa hasil karyanya cukup halus dan rapi. Bila meninjau keindahan, yang menurut Aristoteles yaitu keseimbangan, keteraturan, dan ketepatan material. Kita dapat melihat bahwa ketepatan proporsi anggota tubuhnya agak sedikit kurang sebanding, khususnya bagian telapak tangan dan telapak kaki yang agak terlalu besar bila dibandingkan dengan keseluruhan anggota tubuh. Namun, lepas dari masalah tersebut, kita bisa juga mengalami keindahan lain secara estetis, bila kita mau berhenti sejenak dan melihat lebih dalam, pengalaman indrawi kita menghadapi patung “Daydreaming” mengajak kita berpikir bahwa karya tersebut memiliki kandungan implisit yang menyenangkan yang membuka cakrawala berpikir kita dan membuat kita melebur didalamnya ketika menelaahnya.

27 April 2012

Menghidupi Kehidupan


Jumat, 15 Juli 2011

Saya tadi menyetir mobil seperti biasa. Hari ini panas. Seperti musim panas pada umumnya. Saya menyetir sendirian dari rumah menuju bengkel mobil untuk mengganti kulit jok mobil. Jalanan tidak terlalu ramai karena mungkin masih pagi, atau mungkin orang-orang bersiap-siap berpartisipasi untuk solat Jumat.

Jam 11.15. Saya melintasi jalan Siliwangi dan melihat tukang kerupuk dengan gerobak biru, ia berkulit hitam, bertopi biru tua, berkemeja putih, bercelana hitam, mengenakan handuk merah muda pudar di lehernya dan sepatu olahraga merah muda koral. Itu tukang kerupuk yang setiap hari melewati perumahan saya. Jauh sekali ia berjalan. Ibu saya bilang bahwa dia pernah melihatnya berjalan dengan gerobak kerupuknya di terminal. Memang, tukang kerupuk itu mempunyai gerobak sepeda, tetapi tentunya dia tidak bisa terus mengayuhnya, terutama bila jalanan menanjak, atau jalanan terlalu ramai dengan angkutan dan pejalan kaki sehingga kerepotan. Dia harus berjalan dan mendorong gerobak kerupuknya yang besar. Saya menyetir, tapi pikiran saya tidak benar-benar hanya pada lalu lintas yang saya hadapi. Sekelebat penglihatan terhadap tukang kerupuk itu cukup mengusik pikiran saya.

Berapa jauh sebenarnya jarak yang dia dan gerobak kerupuknya tempuh setiap hari? Saya tahu bahwa setiap hari dia berputar-putar mengelilingi perumahan saya yang tidak bisa dibilang kecil. Hanya berjalan mengelilingi tiap celah perumahan saya saja saya lelah membayangkannya, apalagi dengan membawa gerobak kerupuk. Apalagi saya juga tahu bahwa bukan hanya perumahan saya yang ia putari. Tentunya dia punya rumah, dan apabila ibu saya pernah melihatnya di terminal, dia pasti tinggal sekitar daerah itu atau mungkin lebih jauh lagi. Dia juga pasti berkunjung ke daerah pemukiman lainnya.

Saya mengingat-ingat saat saya kadang menyerahkan gerobak kerupuk kosong padanya untuk diisi, saya melihat matanya. Menelaah orang seperti biasa. Saya selalu berusaha ramah dengan orang yang saya kira membutuhkan keramahan. Saya juga selalu melihat mata orang lain baik-baik, untuk mendapatkan kesan dari dirinya. Tukang kerupuk itu bermata dingin, kosong, canggung, begitu juga dengan gerak-geriknya. Dari situ saya tahu dia telah menempuh perjalanan melelahkan, hingga kedepan rumah saya. Dari situ saya tahu bahwa setiap hari dia menempuh ratusan kilometer bolak-balik, dengan sepatu olahraganya, dan handuk pudar untuk mengelap keringatnya. Astaga, hampir setiap harinya di Depok ini begitu panas! Dia mengayuh sepeda dan berjalan kaki sejauh ratusan kilometer setiap harinya, hanya berperisai sepatu merah muda koralnya, handuk merah mudanya yang pudar, dan topi untuk melindungi kepalanya dari sengatan sinar matahari. Tak heran dia bersikap dingin, kosong dan canggung. Dia mengalami hari yang berat setiap harinya, menempuh jarak jauh dengan mengayuh sepeda dan berjalan kaki, dipanaskan sinar matahari, diterpa angin dan polusi, serta menghadapi banyak wajah setiap harinya untuk menjual kerupuknya. Sinar matahari yang ganas, tiap harinya telah membuat kulitnya hitam. Siapa yang tahu apabila sebelumnya kulitnya berwarna cokelat, atau mungkin kuning langsat? Tapi hal itu bermanfaat. Pigmennya bertambah banyak untuk melindungi dirinya dari pekerjaannya, dari sinar matahari selama dia bekerja untuk menghidupi dirinya dan keluarganya.

Saya kemudian berpikir tentang survival. Menurut saya, kita semua manusia, berusaha sebaik-baiknya untuk bertahan hidup setiap harinya, dengan cara kita masing-masing. Disadari atau tidak, kita melakukannya. Saya rasa tidak ada orang yang benar-benar pemalas. Setiap hari, saya melihat orang-orang yang berjuang untuk bertahan hidup untuk dirinya, dan menopang hidup orang-orang yang disayanginya. Mereka berjuang dengan sapu mereka, gerobak makanan dan minuman mereka, gerobak peralatan rumah tangga dan mainan anak-anak, gerobak sampah, dengan kendaraan mereka seperti becak, motor, atau dengan tubuh mereka, berusaha membawa uang ketika kembali kerumah. 

Uang. Ketika segala hal yang nyata memerlukan uang. Ketika orang menilai orang lainnya berdasarkan uang yang dimilikinya, bukan dari kebaikan hatinya dan ketulusannya. Di dunia yang dominasi materialis ini manusia membutuhkan uang bagaikan oksigen. Semua melakukan dengan cara masing-masing untuk mendapatkannya. Saya tidak bisa menyebut para pengemis itu pemalas. Mereka mungkin hanya mampu melakukan hal itu untuk mencari uang, memiliki pikiran dan kemampuan terbatas. Orang-orang itu dengan hal yang dapat mereka andalkan, dengan sapu, gerobak, kendaraan, dan tubuh mereka, bukan melakukan hal itu karena senang melakukannya. Tidak ada yang senang melakukannya, saya rasa, mereka juga tahu bahwa ada begitu banyak pekerjaan yang lebih tinggi dan lebih ‘wah’ daripada yang mereka kerjakan. Tapi mereka harus melakukannya. Mereka mungkin tidak mampu mendapatkan pendidikan untuk menjadi pengacara, otak brilian untuk menjadi ilmuwan, atau penampilan indah untuk menjadi model. 

Mereka hanya punya kapasitas tertentu. Itu yang mereka andalkan. Mereka ingin hidup. Mereka mengesampingkan kesenangan mereka, kebahagiaan mereka, harga diri mereka, ketika mereka membersihkan selokan, membersihkan kloset bekas orang habis buang air, atau bahkan sekedar berjalan mendorong gerobak mereka di jalanan yang penuh dengan mobil berAC dan orang yang nyaman didalamnya, orang yang melihat mereka, sementara mereka mengelap keringat karena panasnya sinar matahari dan terus melihat kedepan, mencoba tidak iri hati dengan kenyamanan yang orang lain dapatkan dan menjalani kehidupan mereka saja sebaik-baiknya.

Setiap manusia berusaha, entah yang berbaju mewah atau yang berbaju lusuh. Saya tahu bahwa orang-orang di gedung tinggi dengan ruangan ber-AC juga berusaha untuk bertahan hidup. Hanya saja medan pertempurannya berbeda. Kompleksitas tersirat dan tersurat dengan senyum simpul, kedipan mata, perlombaan mana yang ‘TER’. Memamerkan bulu mereka dalam perjuangannya. Bahkan dari masih anak-anak pun, manusia berupaya untuk bertahan dari sesamanya, diantara yang memiliki orang tua kaya, yang memiliki penampilan rupawan, yang memiliki otak cerdas, sejak kecil manusia belajar untuk bertahan.

Hidup ini keras. Mati saya belum mengalaminya, atau lupa kalaupun pernah. (Hahaha, reinkarnasi?)

Setiap manusia punya medan pertempuran masing-masing.

Hidup atau mati?

Saya rasa, dalam kehidupan, jenis kita yang berpikir, juga yang merasakan dengan panca indera, entah makanan enak, mencium keharuman parfum dan sabun, merasakan kenyamanan saat orang yang kita suka menyentuh kita, merasakan lembutnya bulu hewan, harumnya rumput yang baru dipangkas, mendengar keindahan musik, melihat indahnya alam, kecantikan di dunia, keindahan karya seni, memilih untuk bertahan hidup karena telah tersentuh dunia. Mengingat hal-hal indah didunia meskipun tidak dipungkiri banyak juga sisi tidak indahnya. Namun manusia berharap untuk merasakan keindahan-keindahan dan kenikmatan- kenikmatan itu lagi. Kemudian keinginan untuk hidup, berjuang untuk hidup mengarahkan pada kegiatan berjuang mendapatkan uang.

Bahkan saya juga berjuang untuk mendapatkan uang dengan cara saya sendiri. Ingin sekali bisa membantu banyak orang yang sengsara dan anehnya saya kadang ikut sengsara memikirkan mereka, tapi jarang bisa mengungkapkannya, jarang bisa berbuat apa-apa dengan kondisi keuangan saya yang terbatas. (kapasitas mahasiswi kelas menengah)

Apa? Saya hanya perempuan muda berumur 20 tahun. Saya belajar di program studi Filsafat, juga belajar piano, dan mengajar piano untuk mendapatkan uang saku (hehehe). Saya berharap, sesegera mungkin, beberapa tahun lagi saya bisa menjadi orang yang dapat menolong orang yang membutuhkan. (uang? di negara ini kenyataannya begitu kan? tapi saya akan menambah elemen afeksi), mencoba membahagiakan orang-orang disekitar saya dan menjadikan kebahagiaan mereka kebahagiaan saya juga. Saya ingin sekali menolong seluruh dunia. Tapi saya ini siapa? Orang besar pun belum tentu mampu melakukannya, apalagi orang seperti saya. Saya pikir masalah ini termasuk yang partikular, saya tentunya tidak mampu menolong semua, saya mungkin akan mampu menolong sebagian kecil saja, sebagian lain mungkin akan ditolong orang lain. Setidaknya saya mencoba.

Saya harap masa itu jangan terlalu lama, masa saat saya membahagiakan orang-orang disekitar saya, karena rasanya saya tidak tahan, dan ingin secepatnya menolong orang-orang. Saya tahu bagaimana jahatnya orang-orang lainnya yang harus dihadapi, saya tahu rasanya kesepian, kekurangan, diacuhkan, direndahkan, dicemooh, berjuang saat diri seakan dilempari batu tak kasat mata oleh orang-orang, lalu berjuang lagi saat lemparan itu berhenti, sunyi, kemudian berperang dengan diri sendiri, bertahan dengan diri sendiri untuk menghidupi kehidupan.

Menghidupi kehidupan mungkin mudah bagi kita yang berkapasitas untuk itu. Tapi beberapa orang lainnya tidak memiliki kapasitas untuk menolong dirinya sendiri.

Postingan Pertama

Hal yang saya lakukan di waktu senggang kali ini adalah...... Membuat blog. :)