Opini
Mengenai Sekularisme
Agama dan
negara merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan. Negara memiliki banyak
warga negara dengan kepercayaan agama yang beragam. Menurut saya, sekularisme
merupakan hal yang bagus, dapat dikatakan bahwa saya setuju dengan penerapan
sekularisme. Sekularisme merupakan ideologi yang lahir dalam peradaban modern yang
berupaya memisahkan ruang publik dengan ruang privat. Di Eropa pada abad ke-19
terjadi pemisahan antara hal-hal yang
menyangkut agama dan non agama. Sedikit demi sedikit urusan keduniaan
memperoleh kemerdekaan dari pengaruh institusi agama dimana gereja tidak berhak
ikut campur tangan dalam bidang politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan.
Sekularisasi
merupakan proses menuju sekularisme, awalnya diartikan sebagai pemisahan antara
urusan negara, pemerintahan, politik, dengan urusan agama, kemudian berkembang
sebagai kecenderungan melihat permasalahan dari sudut duniawi dan kekiniaan
dengan cara-cara yang rasional maupun empiris, seperti yang ditunjukkan oleh
ilmu pengetahuan. Sekularisasi merupakan bertahap menuju sekularisme. Pemahaman
sekularisasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh Nurkholis Majid. Menurutnya,
sekularisasi adalah desakralisasi urusan duniawi yang merupakan proses pembebasan
manusia dari unsur-unsur pemitosan agama
terhadap urusan duniawi (demitologisasi). Dalam agama Islam yang merupakan
mayoritas di Indonesia, tidak ada pemisahan agama dengan dunia seperti yang ada
di dunia Barat, yang ada adalah pembedaan antara urusan agama dengan urusan
dunia atau negara.
Dengan
banyaknya sistem kepercayaan yang dianut oleh banyak warga negara, kehadiran
sekularisme selain memisahkan dan membedakan urusan akhirat (agama) dengan
urusan dunia (negara), secara tidak langsung juga dapat menambah toleransi
antar umat beragama. Seperti yang kita ketahui, pada dasarnya semua agama
memiliki nilai moral yang universal, mengajarkan kebaikan, menghindarkan
keburukan. Namun dengan perbedaan kepercayaan tertentu, hal tersebut dapat
menjadi masalah ketika suatu agama berbentrokan dengan agama lain karena masing-masing
pemeluknya merasa paling ideal. Nilai moral universal pun gagal terwujud. Tanpa
adanya sekularisme, sebuah agama yang dominan dalam suatu negara berisiko
mendominasi dalam sistem pemerintahan dan merugikan pemeluk agama-agama lain
yang minoritas di negara tersebut, kemudian dapat menimbulkan konflik lebih
lanjut. Dengan pembedaan urusan agama dan dunia, urusan privat dan publik, sistem
sekuler dapat melindungi semua agama, tidak hanya agama tertentu saja, sebab
negara bersikap netral terhadap agama, namun hal itu diharapkan juga mendorong
sikap saling menghargai antar tradisi para umat beragama maupun yang tidak
beragama.
Bila kita
mencari golongan yang menentang sekularisme, kita akan bertemu dengan kaum
mayoritas yang kurang kritis disana. Mereka memang merasa tak butuh sekularisme.
Kalau bisa mereka berupaya menjadikan agama mereka sebagai agama seluruh warga
negara. Mayoritas akan menentang sekularisme dengan berbagai alasan, entah
karena produk barat, dan lainnya. Tetapi mereka juga harus mempertimbangkan
ketika posisi mereka terbalik, ketika mereka berada pada posisi minoritas.
Tentu sikap mereka akan berbeda karena sistem sekularisme menguntungkan semua
pihak dengan kenetralannya. Toleransi antar umat beragama sangat penting untuk
mencegah timbulnya diskriminasi.
Sekularisme
pada awalnya hadir di barat dengan latar belakang antara lain refleksi dari
kesuraman di abad pertengahan dimana agama Kristen mendominasi negara dan
menimbulkan ketidaknyamanan dalam kehidupan karena banyaknya kewenangan yang
diatur oleh pemuka agama yang mengklaim bahwa mereka adalah institusi resmi
wakil Tuhan dimuka bumi. Orang-orang yang berotoritas tersebut kemudian
melakukan hegemoni dan doktrin atas kepentingan-kepentingan kalangan tertentu
dalam kehidupan bermasyarakat dengan mengatasnamakan agama, serta melakukan
tindakan brutal untuk mendiskriminasikan agama-agama lain juga pihak-pihak
lain. Mereka telah melihat bahwa ketika suatu agama tertentu mendominasi urusan
negara, maka banyak hal buruklah yang terjadi karena kekuasaan tersebut,
seperti kekerasan antar umat beragama. Hal itu terjadi di peradaban barat pada
abad pertengahan kemudian ditinggalkan dengan penerapan sekularisme.
Namun demikian,
justru di Indonesia pada masa modern ini dengan kemajuan teknologi yang beredar
berkat perdagangan global seperti ipad,
blackberry dan sebagainya, pola pikir
masyarakat seperti sedang diarahkan kembali oleh kelompok tertentu menuju pada
abad pertengahan yang terkenal juga dengan abad kegelapan dimana terdapat
dominasi agama tertentu yang mengarah pada diskriminasi agama lainnya. Tahun
2011 lalu misalnya, terjadi peningkatan pelanggaran dalam kehidupan beragama
dibandingkan dengan tahun 2010. Jemaat Ahmadiyah adalah korban terbanyak dengan
46 kasus, kemudian ada pembakaran pesantren milik warga Syiah di Dusun
Nangkernang. Kemudian pada Jumat kemarin terjadi pelanggaran HAM ketika sekelompok organisasi yang mengatasnamakan
agama berulah membubarkan diskusi Irshad Manji. Selain itu pemerintah Indonesia
seakan diam saja menyaksikan peristiwa kekerasan tersebut, membiarkan ‘preman-preman
agama’ yang seringkali mengganggu keharmonisan dan kerukunan beragama.
Kekerasan
seperti itu tidak akan terjadi ketika masyarakat menyadari dan memahami bahwa
agama apapun yang dianut oleh berbagai orang, merupakan urusan personal
masing-masing individu. Selama urusan kepercayaan mereka prakteknya tidak
mengganggu dan merugikan masyarakat, seharusnya masyarakat tidak menggangu
mereka. Urusan masing-masing adalah milik masing-masing. Kekerasan tersebut merupakan
bukti dominasi dari agama tertentu terhadap pemerintahan, dan tentu mayoritas
tidak merasa dirugikan, yang dirugikan tentu minoritas. Ironisnya sekali orang
yang mengusung agama yang seharusnya penuh rasa damai malah melakukan tindakan
kekerasan yang mengatasnamakan agama tersebut. Dengan demikian aturan kebebasan
atau hak-hak sipil dalam menjamin perlindungan hukum dan kesempatan yang setara
bagi semua warga negara tanpa memandang ras, agama, serta jenis kelamin,
hanyalah sekedar aturan.
Semua
manusia pada hakikatnya menginginkan kebebasan. Bahkan sebenarnya manusia melekat
pada eksistensi manusia dan manusia bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya,
apapun itu. Semua manusia berkebebasan. Manusia harus memahami hal tersebut
sebagai sebuah apresiasi terhadap kebebasan satu sama lainnya agar tidak
terjadi pelanggaran terhadap kebebasan orang lain. Lakukan kebebasan tetapi
jangan mengganggu kebebasan orang lain. Kebebasan ini tentunya juga berlaku
dalam hal keyakinan karena keyakinan adalah bagian dari pilihan manusia yang
bereksistensi. Sehingga dapat dipahami bahwa manusia bebas untuk beragama apapun,
maupun bebas bila tidak ingin beragama.
Sekularisme
kiranya dapat mewadahi keharmonisan kehidupan warga negara, bukan dengan
menolak agama seperti yang dilakukan oleh kaum fanatik dengan menolak agama
tertentu, namun, sekularisme membantu membedakan urusan agama dengan dunia sehingga
tidak ada yang terdominasi dan tersubordinasi. Segala urusan di dunia sebaiknya
dibahas dengan term-term duniawi yang rasional, empiris. Sedangkan urusan agama
merupakan hal personal bagi masing-masing warga negaranya yang seharusnya tidak
mengganggu dan tidak perlu diganggu, justru nilai universal yang esensial
didalamnya seharusnya dimaknai dan dipraktekkan secara mendalam oleh
masing-masing individunya.