Saya tertarik dengan patung diatas.
Patung tersebut pernah dipamerkan dalam pameran tunggal Altje Ully Pandjaitan
berjudul “The Second Skin” di Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan. Judul “The Second Skin” sendiri seperti memiliki kaitan dengan “The Second Sex”
dari Simone de Beauvoir, namun sang seniman sendiri mengaku bukanlah seseorang
yang akrab dengan wacana feminisme. Pada pameran yang dikuratori oleh Jim
Supangkat tersebut, terdapat 12 buah patung dalam beragam ekspresi dan kostum
yang meniru wujud perempuan. Kesemua patung tersebut berkepala botak dan
memiliki tubuh perempuan sintal. Mereka
dinamakan Bogi oleh Altje, Bogi adalah kependekan dari Boneka Bogel. Mungkin
untuk memudahkan orang-orang mengingatnya, seperti mengingat Barbie. Altje
menjadikan dirinya sendiri sebagai model bagi 12 buah patung karyanya tersebut.
Dari 12 buah patung, saya tertarik
dengan salah satu dari patung tersebut untuk diapresiasi. Patung itu berjudul
“Daydreaming” atau “Melamun”. Ukuran patung ini adalah 54x44x64 cm. Patung
“Daydreaming” memiliki warna kulit kuning langsat, berkepala botak, bertubuh
sintal. Ia dibuat dengan bahan fiberglass. Selain itu, patung ini mengenakan
pakaian ketat pendek, jauh diatas lutut,
dengan bahu terbuka, namun tangan tertutup hampir ¾,. Pakaian patung berwarna
merah muda berbahan kulit, selain itu ia mengenakan kalung berbentuk
kotak-kotak berjajar dengan titik ditengah kotak. Kalung tersebut menempel
ketat dileher patung, berwarna variasi metalik ungu, merah muda, dan emas.
Selain itu patung juga mengenakan sepatu sandal yang panjangnya hingga betis,
berwarna merah marun dengan aksen warna perak pada beberapa bagiannya. Patung
tersebut dibuat berpose duduk diatas balok kayu berwarna cokelat tua dimana
judul patung tersebut terpampang, dan beralaskan balok putih besar. Tubuh
patung agak condong kedepan dengan kedua lutut merapat dan kedua betis
meregang, tangan kanan patung terlipat rapi diatas paha, tangan kiri patung
sikunya bertumpu pada lutut dan bertopang dagu sementara wajah patung sedikit
mendongak keatas.
Bila melihat patung “Daydreaming”
ini, kita tidak dapat memungkiri bahwa wujudnya terlihat seperti boneka
manekin, namun dengan pembedaan, bila pada boneka manekin ukuran tubuhnya
cenderung langsing, patung “Daydreaming” bertubuh sintal dengan dada padat dan
pinggul berlekuk.
Patung tersebut seperti terpengaruh
desain modern, terlihat pada kemasan dan tampilannya yang ringan dan ringkas.
Patung tersebut duduk diatas balok kayu warna cokelat tua dimana plakat
judulnya tertera, dan beralaskan balok putih besar. Penggunaan bentuk balok
yang sederhana dan berkesan ringan, serta pilihan warna alas seperti coklat tua
dan putih mendukung kesan modern dan ringan pada karya “Daydreaming”.
Penggunaan warna baju dan aksesoris
yaitu warna merah muda, merah marun, ungu, perak dan emas memberi kesan cerah
dan gemerlap pada sosok patung “Daydreaming”. Seperti kesan keceriaan dan kesan
kemudahan hidup yang sering kita jumpai pada televisi dan majalah mengenai gaya
hidup.
Ada keunikan dalam patung
“Daydreaming”. Patung tersebut mengenakan baju yang bisa dikatakan seksi,
minim, berani dan terbuka, menunjukkan bahu dan paha. Hal ini agak kontras
dengan pose melamunnya yang polos seperti menunjukkan kepolosan dari sisi
anak-anak. Kita tidak tahu betul patung ini maksudnya sedang melamun mengenai
apa, dan hal ini juga membuat patung ini semakin unik.
Apa yang disebut sebagai ‘seni’
merupakan sesuatu yang dapat terindera oleh manusia, namun seni itu sendiri
melampaui benda seninya. Seni dapat terjadi bila ada dialog antara subjek seni
dengan objek seni sehingga saling memberi dan menerima. Dalam interpretasi ini,
saya akan berusaha mengungkapkan bahwa patung “Daydreaming” merupakan suatu
karya seni.
Perempuan sering kali menjadi
Subject Matter dalam karya-karya seni, entah dalam lukisan, patung, puisi, dsb.
Pada patung “Daydreaming”, saya melihat bahwa karya ini merupakan Imitative Art
yang memiliki unsur mimesis, ekspresi emosi, mengusung tema seks dan gender,
juga pengobjekkan manusia, khususnya perempuan.
Mimesis disini merujuk pada
pengertian mimesis yang positif dari Aristoteles, peniruan dunia, alam dan
manusia, namun tidak sekedar meniru, karena dalam peniruan pun melahirkan karya
baru yang memiliki gagasan dari salah satu sudut pandang. Karya ini meniru diri
sang seniman. Namun, meniru disini tidak sekedar meniru, terdapat juga
perenungan atas peniruan itu. Dalam pembuatan karyanya yang menirukan dirinya
sendiri, sang seniman tentunya semakin menyadari individu yang bagaimanakah
dirinya. Patung “Daydreaming” disini merefleksikan kenyataan dari diri sang
seniman.
Karya “Daydreaming” dari pameran
bertajuk “The Second Skin” juga memiliki unsur ekspresi emosi dari senimannya.
Seniman sendiri mengaku tidak mengaitkan judul pamerannya dengan “The Second
Sex” dari Simone de Beauvoir, meskipun masalah yang diusung juga terkait dengan
gender. Ia mengekspresikan perasaan dari dalam ke luar dirinya dalam bentuk
seninya melalui medium yang digunakannya. Kita harus ingat bahwa sebuah karya
dibuat dengan tujuan tertentu. Tolstoy mengatakan bahwa sebuah karya seni
berhasil apabila karya seni tersebut mampu membangkitkan perasaan yang dialami
seniman ke penikmat seni. Kita dapat menangkap suatu kesan dari penggunaan
model baju, warna baju dan aksesoris yang cerah dan gemerlap, gaya, dan
ekspresi, patung “Daydreaming” seperti menggambarkan salah satu sisi dari
seorang perempuan kota besar, seperti dari kalangan menengah atas dengan
pikiran terbuka, cukup konsumtif dengan gaya baju dan sepatu yang mengikuti
mode, memiliki gaya hidup ala perkotaan, dan memiliki akses untuk menikmati
kemudahan hidup.
Selain kesan, kita juga dapat
menangkap pesan ekspresi seniman dari patung “Daydreaming”. Tajuk pameran “The
Second Skin” sendiri mengungkapkan dan mengingatkan bahwa pakaian yang kita
kenakan, yang melekat pada tubuh kita, seperti ‘kulit kedua’ dari diri kita.
Setiap hari, kita selalu mengenakan pakaian. Kesan utama, adalah penggunaan
pakaian minim dan terbuka pada karya “Daydreaming”. Seperti yang kita ketahui
pada umumnya, masyarakat Indonesia dengan budaya ketimurannya biasanya
beranggapan bahwa perempuan yang mengenakan pakaian minim dan terbuka adalah
perempuan yang ‘tidak baik’. Hal inilah yang sepertinya ingin diangkat oleh
sang seniman. Sang seniman disini sendiri merupakan seorang perempuan yang
senang berpakaian minim dan terbuka. Karya seninya sangat dekat dengan
kenyataan kehidupan kesehariannya. Melalui karya seninya, kita mendapatkan
sudut pandang lain, bahwa tidak semua tujuan perempuan mengenakan pakaian seksi
adalah untuk memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya dan memicu hasrat seksual
laki-laki menjadi terpicu karenanya, melainkan tujuan perempuan mengenakan
pakaian seksi adalah karena perempuan itu menyukai pakaian itu.
Patung ini merepresentasikan
perempuan yang mengenakan pakaian seksi sebagai bentuk penghargaan terhadap
pakaian yang ia senangi. Hal tersebut merupakan bagian dari pilihannya sebagai
makhluk yang bereksistensi. Ketika perempuan memakai pakaian minim dan terbuka
ditempat umum, tujuannya adalah untuk memamerkan pakaian yang menurutnya bagus
dan indah itu kepada orang-orang agar turut dapat melihat keindahannya,
tujuannya bukan memamerkan tubuhnya. Namun, yang terjadi adalah, pandangan
orang lain biasanya langsung tertuju pada lekuk tubuhnya, bukannya melihat sisi
keindahan pakaiannya, kemudian menganggap perempuan itu sebagai perempuan
‘tidak baik’ karena berpakaian terbuka, atau membayangkan perempuan itu sebagai
objek dari hasrat seksualnya.
Bila kita pikirkan secara
refleksif, karya ini juga mengangkat persoalan bahwa perempuan diposisikan
seperti objek yang didefinisikan oleh budaya dan masyarakat, bukan oleh dirinya
sendiri sebagai subjek. Simone de Beauvoir mengatakan bahwa dimensi patriarki
membuat relasi laki-laki terhadap perempuan sebagai yang ‘inferior’ dirinya,
sebagai seks semata, sebab perempuan didefinisikan dengan referensi kepada
laki-laki dan bukan referensi kepada dirinya sendiri.
Seperti yang kita ketahui,
laki-laki memiliki obsesi dan hasrat pada tubuh perempuan, hal ini dapat
ditemukan pada tiap tempat di dunia. Banyak perempuan yang tidak merasa
ditindas padahal sedang dalam keadaan tertindas. Mereka mengira bahwa hal yang
mereka alami adalah hal normal dan wajar yang memang harus mereka alami karena
mereka adalah perempuan. Padahal hal tersebut tentunya adalah konstruksi
sosial. Kesadaran perempuan direpresi, ketika mereka sedang dijadikan objek
bagi orang lain. Sartre mengatakan bahwa kejatuhan seseorang adalah eksistensi
orang lain. Kehadiran orang lain dapat menyusup ke dunia kita, pandangan orang
lain membekukan kita sebagai subjek.
Karya seni memiliki efek emosi bagi
penikmatnya. Dalam karya “Daydreaming”, kita dapat membayangkan bahwa wujud
perempuan sintal berbaju terbuka yang sedang tenggelam dalam lamunannya ini,
karena memiliki tubuh, ketubuhannya dapat dijumpai oleh orang lain. Ketika
perempuan ini sedang ber”Daydreaming”,
melayangkan pikirannya ke persoalan lain, ke tempat lain, ke hal-hal berbeda,
ketubuhannya dirampas oleh orang-orang lain yang melihatnya, dengan
memperhatikannya lekat-lekat ataupun sekejap melihat sambil lewat, orang lain
bisa saja memikirkan kemungkinan situasi yang dapat dilakukan olehnya, menyusun
dunianya dengan menyertakan ketubuhannya. Namun dengan teori Sartre tadi bahwa
kejatuhan eksistensi seseorang adalah eksistensi orang lain, disisi lain, kita
bisa juga mengasumsikan bahwa sosok perempuan dalam patung “Daydreaming” ini
juga mungkin saja sedang merampas ketubuhan orang lain dan menyusupkannya
sebagai objek dari lamunannya.
Altje Ully Pandjaitan merupakan
seniman yang senang menjadikan dirinya sebagai model bagi karyanya, karyanya
banyak terinspirasi dari dirinya sendiri. Seniman yang senang juga melakukan
hal ini adalah Vincent van Gogh. Ia membuat self portraitnya sendiri sebanyak
sekitar 30 buah lukisan. Bila karya Altje memiliki kesan seksi, karya van Gogh
memiliki raut muka yang hampir sama seriusnya.
Bila menilik melalui orisinalitas
dari kreativitas sang seniman, menurut saya, patung “Daydreaming” memiliki
orisinalitas cukup baik, karena upayanya adalah menghadirkan sisi diri sang
seniman yang menyukai cara berpakaian terbuka, dan secara implisit mengandung
sudut pandang berbeda dengan kebanyakan orang, bahwa ketika perempuan berpakaian
seksi, hal itu bukan dengan tujuan untuk memamerkan tubuhnya, melainkan untuk
memamerkan pakaian yang perempuan itu sukai. Sayangnya, masyarakat, terutama
laki-laki, malah langsung melihat tubuhnya, merampas ketubuhannya dan
menjadikannya objek dalam pikiran mereka.
Hal yang menarik adalah judul
“Daydreaming” dari karya ini, ketika perempuan ini sedang ber”Daydreaming”, melayangkan pikirannya ke
hal-hal berbeda, ketubuhannya bisa saja dirampas oleh orang-orang lain yang
melihatnya, menyusun dunianya dengan menyertakan ketubuhannya. Namun dengan
teori Sartre bahwa kejatuhan eksistensi seseorang adalah eksistensi orang lain,
disisi lain, kita bisa juga mengasumsikan bahwa sosok perempuan dalam patung
“Daydreaming” ini juga mungkin saja sedang merampas ketubuhan orang lain dan
menjadikannya objek pada lamunannya.
Penguasaan teknik sangat penting dalam
penciptaan karya seni, karena makin mengenal dan menguasai teknik seni, makin
bebas pula sang seniman menuangkan segala aspek gagasan seninya.
Apabila melihat hasil karya
“Daydreaming”, kelihatannya tidak ada yang begitu rumit dari detail tubuh
patung, rasanya hampir seperti melihat manekin yang lebih sintal. Media dari
karya ini adalah fiberglass, telah disebutkan sebelumnya bahwa karya ini
berukuran 54x44x64cm. Pembuatannya tentunya jauh lebih mudah bila dibandingkan
dengan karya “David” dari Michelangelo yang berukuran 5.17 m, dan terbuat dari
marmer, yang dibuat dengan teknik memahat. Patung “Daydreaming” yang bermedia
fiberglass dibuat dengan teknik mencetak.
Biasanya seniman terikat oleh tenik
seninya, namun gagasanlah yang menuntun seniman untuk melakukan teknik baru,
bukan sebaliknya. Bila melihat hasil karya “Daydreaming”, kita dapat melihat
bahwa hasil karyanya cukup halus dan rapi. Bila meninjau keindahan, yang
menurut Aristoteles yaitu keseimbangan, keteraturan, dan ketepatan material.
Kita dapat melihat bahwa ketepatan proporsi anggota tubuhnya agak sedikit
kurang sebanding, khususnya bagian telapak tangan dan telapak kaki yang agak
terlalu besar bila dibandingkan dengan keseluruhan anggota tubuh. Namun, lepas
dari masalah tersebut, kita bisa juga mengalami keindahan lain secara estetis,
bila kita mau berhenti sejenak dan melihat lebih dalam, pengalaman indrawi kita
menghadapi patung “Daydreaming” mengajak kita berpikir bahwa karya tersebut
memiliki kandungan implisit yang menyenangkan yang membuka cakrawala berpikir
kita dan membuat kita melebur didalamnya ketika menelaahnya.