28 April 2012

Daydreaming?






Saya tertarik dengan patung diatas. Patung tersebut pernah dipamerkan dalam pameran tunggal Altje Ully Pandjaitan berjudul “The Second Skin” di Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan. Judul “The Second Skin” sendiri seperti memiliki kaitan dengan “The Second Sex” dari Simone de Beauvoir, namun sang seniman sendiri mengaku bukanlah seseorang yang akrab dengan wacana feminisme. Pada pameran yang dikuratori oleh Jim Supangkat tersebut, terdapat 12 buah patung dalam beragam ekspresi dan kostum yang meniru wujud perempuan. Kesemua patung tersebut berkepala botak dan memiliki tubuh  perempuan sintal. Mereka dinamakan Bogi oleh Altje, Bogi adalah kependekan dari Boneka Bogel. Mungkin untuk memudahkan orang-orang mengingatnya, seperti mengingat Barbie. Altje menjadikan dirinya sendiri sebagai model bagi 12 buah patung karyanya tersebut.

Dari 12 buah patung, saya tertarik dengan salah satu dari patung tersebut untuk diapresiasi. Patung itu berjudul “Daydreaming” atau “Melamun”. Ukuran patung ini adalah 54x44x64 cm. Patung “Daydreaming” memiliki warna kulit kuning langsat, berkepala botak, bertubuh sintal. Ia dibuat dengan bahan fiberglass. Selain itu, patung ini mengenakan pakaian ketat pendek,  jauh diatas lutut, dengan bahu terbuka, namun tangan tertutup hampir ¾,. Pakaian patung berwarna merah muda berbahan kulit, selain itu ia mengenakan kalung berbentuk kotak-kotak berjajar dengan titik ditengah kotak. Kalung tersebut menempel ketat dileher patung, berwarna variasi metalik ungu, merah muda, dan emas. Selain itu patung juga mengenakan sepatu sandal yang panjangnya hingga betis, berwarna merah marun dengan aksen warna perak pada beberapa bagiannya. Patung tersebut dibuat berpose duduk diatas balok kayu berwarna cokelat tua dimana judul patung tersebut terpampang, dan beralaskan balok putih besar. Tubuh patung agak condong kedepan dengan kedua lutut merapat dan kedua betis meregang, tangan kanan patung terlipat rapi diatas paha, tangan kiri patung sikunya bertumpu pada lutut dan bertopang dagu sementara wajah patung sedikit mendongak keatas.

Bila melihat patung “Daydreaming” ini, kita tidak dapat memungkiri bahwa wujudnya terlihat seperti boneka manekin, namun dengan pembedaan, bila pada boneka manekin ukuran tubuhnya cenderung langsing, patung “Daydreaming” bertubuh sintal dengan dada padat dan pinggul berlekuk.

Patung tersebut seperti terpengaruh desain modern, terlihat pada kemasan dan tampilannya yang ringan dan ringkas. Patung tersebut duduk diatas balok kayu warna cokelat tua dimana plakat judulnya tertera, dan beralaskan balok putih besar. Penggunaan bentuk balok yang sederhana dan berkesan ringan, serta pilihan warna alas seperti coklat tua dan putih mendukung kesan modern dan ringan pada karya “Daydreaming”.

Penggunaan warna baju dan aksesoris yaitu warna merah muda, merah marun, ungu, perak dan emas memberi kesan cerah dan gemerlap pada sosok patung “Daydreaming”. Seperti kesan keceriaan dan kesan kemudahan hidup yang sering kita jumpai pada televisi dan majalah mengenai gaya hidup.

Ada keunikan dalam patung “Daydreaming”. Patung tersebut mengenakan baju yang bisa dikatakan seksi, minim, berani dan terbuka, menunjukkan bahu dan paha. Hal ini agak kontras dengan pose melamunnya yang polos seperti menunjukkan kepolosan dari sisi anak-anak. Kita tidak tahu betul patung ini maksudnya sedang melamun mengenai apa, dan hal ini juga membuat patung ini semakin unik.

Apa yang disebut sebagai ‘seni’ merupakan sesuatu yang dapat terindera oleh manusia, namun seni itu sendiri melampaui benda seninya. Seni dapat terjadi bila ada dialog antara subjek seni dengan objek seni sehingga saling memberi dan menerima. Dalam interpretasi ini, saya akan berusaha mengungkapkan bahwa patung “Daydreaming” merupakan suatu karya seni.

Perempuan sering kali menjadi Subject Matter dalam karya-karya seni, entah dalam lukisan, patung, puisi, dsb. Pada patung “Daydreaming”, saya melihat bahwa karya ini merupakan Imitative Art yang memiliki unsur mimesis, ekspresi emosi, mengusung tema seks dan gender, juga pengobjekkan manusia, khususnya perempuan.

Mimesis disini merujuk pada pengertian mimesis yang positif dari Aristoteles, peniruan dunia, alam dan manusia, namun tidak sekedar meniru, karena dalam peniruan pun melahirkan karya baru yang memiliki gagasan dari salah satu sudut pandang. Karya ini meniru diri sang seniman. Namun, meniru disini tidak sekedar meniru, terdapat juga perenungan atas peniruan itu. Dalam pembuatan karyanya yang menirukan dirinya sendiri, sang seniman tentunya semakin menyadari individu yang bagaimanakah dirinya. Patung “Daydreaming” disini merefleksikan kenyataan dari diri sang seniman.

Karya “Daydreaming” dari pameran bertajuk “The Second Skin” juga memiliki unsur ekspresi emosi dari senimannya. Seniman sendiri mengaku tidak mengaitkan judul pamerannya dengan “The Second Sex” dari Simone de Beauvoir, meskipun masalah yang diusung juga terkait dengan gender. Ia mengekspresikan perasaan dari dalam ke luar dirinya dalam bentuk seninya melalui medium yang digunakannya. Kita harus ingat bahwa sebuah karya dibuat dengan tujuan tertentu. Tolstoy mengatakan bahwa sebuah karya seni berhasil apabila karya seni tersebut mampu membangkitkan perasaan yang dialami seniman ke penikmat seni. Kita dapat menangkap suatu kesan dari penggunaan model baju, warna baju dan aksesoris yang cerah dan gemerlap, gaya, dan ekspresi, patung “Daydreaming” seperti menggambarkan salah satu sisi dari seorang perempuan kota besar, seperti dari kalangan menengah atas dengan pikiran terbuka, cukup konsumtif dengan gaya baju dan sepatu yang mengikuti mode, memiliki gaya hidup ala perkotaan, dan memiliki akses untuk menikmati kemudahan hidup.

Selain kesan, kita juga dapat menangkap pesan ekspresi seniman dari patung “Daydreaming”. Tajuk pameran “The Second Skin” sendiri mengungkapkan dan mengingatkan bahwa pakaian yang kita kenakan, yang melekat pada tubuh kita, seperti ‘kulit kedua’ dari diri kita. Setiap hari, kita selalu mengenakan pakaian. Kesan utama, adalah penggunaan pakaian minim dan terbuka pada karya “Daydreaming”. Seperti yang kita ketahui pada umumnya, masyarakat Indonesia dengan budaya ketimurannya biasanya beranggapan bahwa perempuan yang mengenakan pakaian minim dan terbuka adalah perempuan yang ‘tidak baik’. Hal inilah yang sepertinya ingin diangkat oleh sang seniman. Sang seniman disini sendiri merupakan seorang perempuan yang senang berpakaian minim dan terbuka. Karya seninya sangat dekat dengan kenyataan kehidupan kesehariannya. Melalui karya seninya, kita mendapatkan sudut pandang lain, bahwa tidak semua tujuan perempuan mengenakan pakaian seksi adalah untuk memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya dan memicu hasrat seksual laki-laki menjadi terpicu karenanya, melainkan tujuan perempuan mengenakan pakaian seksi adalah karena perempuan itu menyukai pakaian itu.

Patung ini merepresentasikan perempuan yang mengenakan pakaian seksi sebagai bentuk penghargaan terhadap pakaian yang ia senangi. Hal tersebut merupakan bagian dari pilihannya sebagai makhluk yang bereksistensi. Ketika perempuan memakai pakaian minim dan terbuka ditempat umum, tujuannya adalah untuk memamerkan pakaian yang menurutnya bagus dan indah itu kepada orang-orang agar turut dapat melihat keindahannya, tujuannya bukan memamerkan tubuhnya. Namun, yang terjadi adalah, pandangan orang lain biasanya langsung tertuju pada lekuk tubuhnya, bukannya melihat sisi keindahan pakaiannya, kemudian menganggap perempuan itu sebagai perempuan ‘tidak baik’ karena berpakaian terbuka, atau membayangkan perempuan itu sebagai objek dari hasrat seksualnya.

Bila kita pikirkan secara refleksif, karya ini juga mengangkat persoalan bahwa perempuan diposisikan seperti objek yang didefinisikan oleh budaya dan masyarakat, bukan oleh dirinya sendiri sebagai subjek. Simone de Beauvoir mengatakan bahwa dimensi patriarki membuat relasi laki-laki terhadap perempuan sebagai yang ‘inferior’ dirinya, sebagai seks semata, sebab perempuan didefinisikan dengan referensi kepada laki-laki dan bukan referensi kepada dirinya sendiri.

Seperti yang kita ketahui, laki-laki memiliki obsesi dan hasrat pada tubuh perempuan, hal ini dapat ditemukan pada tiap tempat di dunia. Banyak perempuan yang tidak merasa ditindas padahal sedang dalam keadaan tertindas. Mereka mengira bahwa hal yang mereka alami adalah hal normal dan wajar yang memang harus mereka alami karena mereka adalah perempuan. Padahal hal tersebut tentunya adalah konstruksi sosial. Kesadaran perempuan direpresi, ketika mereka sedang dijadikan objek bagi orang lain. Sartre mengatakan bahwa kejatuhan seseorang adalah eksistensi orang lain. Kehadiran orang lain dapat menyusup ke dunia kita, pandangan orang lain membekukan kita sebagai subjek.

Karya seni memiliki efek emosi bagi penikmatnya. Dalam karya “Daydreaming”, kita dapat membayangkan bahwa wujud perempuan sintal berbaju terbuka yang sedang tenggelam dalam lamunannya ini, karena memiliki tubuh, ketubuhannya dapat dijumpai oleh orang lain. Ketika perempuan ini sedang  ber”Daydreaming”, melayangkan pikirannya ke persoalan lain, ke tempat lain, ke hal-hal berbeda, ketubuhannya dirampas oleh orang-orang lain yang melihatnya, dengan memperhatikannya lekat-lekat ataupun sekejap melihat sambil lewat, orang lain bisa saja memikirkan kemungkinan situasi yang dapat dilakukan olehnya, menyusun dunianya dengan menyertakan ketubuhannya. Namun dengan teori Sartre tadi bahwa kejatuhan eksistensi seseorang adalah eksistensi orang lain, disisi lain, kita bisa juga mengasumsikan bahwa sosok perempuan dalam patung “Daydreaming” ini juga mungkin saja sedang merampas ketubuhan orang lain dan menyusupkannya sebagai objek dari lamunannya.

Altje Ully Pandjaitan merupakan seniman yang senang menjadikan dirinya sebagai model bagi karyanya, karyanya banyak terinspirasi dari dirinya sendiri. Seniman yang senang juga melakukan hal ini adalah Vincent van Gogh. Ia membuat self portraitnya sendiri sebanyak sekitar 30 buah lukisan. Bila karya Altje memiliki kesan seksi, karya van Gogh memiliki raut muka yang hampir sama seriusnya.

Bila menilik melalui orisinalitas dari kreativitas sang seniman, menurut saya, patung “Daydreaming” memiliki orisinalitas cukup baik, karena upayanya adalah menghadirkan sisi diri sang seniman yang menyukai cara berpakaian terbuka, dan secara implisit mengandung sudut pandang berbeda dengan kebanyakan orang, bahwa ketika perempuan berpakaian seksi, hal itu bukan dengan tujuan untuk memamerkan tubuhnya, melainkan untuk memamerkan pakaian yang perempuan itu sukai. Sayangnya, masyarakat, terutama laki-laki, malah langsung melihat tubuhnya, merampas ketubuhannya dan menjadikannya objek dalam pikiran mereka.

Hal yang menarik adalah judul “Daydreaming” dari karya ini, ketika perempuan ini sedang  ber”Daydreaming”, melayangkan pikirannya ke hal-hal berbeda, ketubuhannya bisa saja dirampas oleh orang-orang lain yang melihatnya, menyusun dunianya dengan menyertakan ketubuhannya. Namun dengan teori Sartre bahwa kejatuhan eksistensi seseorang adalah eksistensi orang lain, disisi lain, kita bisa juga mengasumsikan bahwa sosok perempuan dalam patung “Daydreaming” ini juga mungkin saja sedang merampas ketubuhan orang lain dan menjadikannya objek pada lamunannya.

Penguasaan teknik sangat penting dalam penciptaan karya seni, karena makin mengenal dan menguasai teknik seni, makin bebas pula sang seniman menuangkan segala aspek gagasan seninya.

Apabila melihat hasil karya “Daydreaming”, kelihatannya tidak ada yang begitu rumit dari detail tubuh patung, rasanya hampir seperti melihat manekin yang lebih sintal. Media dari karya ini adalah fiberglass, telah disebutkan sebelumnya bahwa karya ini berukuran 54x44x64cm. Pembuatannya tentunya jauh lebih mudah bila dibandingkan dengan karya “David” dari Michelangelo yang berukuran 5.17 m, dan terbuat dari marmer, yang dibuat dengan teknik memahat. Patung “Daydreaming” yang bermedia fiberglass dibuat dengan teknik mencetak.

Biasanya seniman terikat oleh tenik seninya, namun gagasanlah yang menuntun seniman untuk melakukan teknik baru, bukan sebaliknya. Bila melihat hasil karya “Daydreaming”, kita dapat melihat bahwa hasil karyanya cukup halus dan rapi. Bila meninjau keindahan, yang menurut Aristoteles yaitu keseimbangan, keteraturan, dan ketepatan material. Kita dapat melihat bahwa ketepatan proporsi anggota tubuhnya agak sedikit kurang sebanding, khususnya bagian telapak tangan dan telapak kaki yang agak terlalu besar bila dibandingkan dengan keseluruhan anggota tubuh. Namun, lepas dari masalah tersebut, kita bisa juga mengalami keindahan lain secara estetis, bila kita mau berhenti sejenak dan melihat lebih dalam, pengalaman indrawi kita menghadapi patung “Daydreaming” mengajak kita berpikir bahwa karya tersebut memiliki kandungan implisit yang menyenangkan yang membuka cakrawala berpikir kita dan membuat kita melebur didalamnya ketika menelaahnya.