29 April 2012

Mengenai Sekularisme



Opini Mengenai Sekularisme

Agama dan negara merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan. Negara memiliki banyak warga negara dengan kepercayaan agama yang beragam. Menurut saya, sekularisme merupakan hal yang bagus, dapat dikatakan bahwa saya setuju dengan penerapan sekularisme. Sekularisme merupakan ideologi yang lahir dalam peradaban modern yang berupaya memisahkan ruang publik dengan ruang privat. Di Eropa pada abad ke-19 terjadi  pemisahan antara hal-hal yang menyangkut agama dan non agama. Sedikit demi sedikit urusan keduniaan memperoleh kemerdekaan dari pengaruh institusi agama dimana gereja tidak berhak ikut campur tangan dalam bidang politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan.
Sekularisasi merupakan proses menuju sekularisme, awalnya diartikan sebagai pemisahan antara urusan negara, pemerintahan, politik, dengan urusan agama, kemudian berkembang sebagai kecenderungan melihat permasalahan dari sudut duniawi dan kekiniaan dengan cara-cara yang rasional maupun empiris, seperti yang ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan. Sekularisasi merupakan bertahap menuju sekularisme. Pemahaman sekularisasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh Nurkholis Majid. Menurutnya, sekularisasi adalah desakralisasi urusan duniawi yang merupakan proses pembebasan manusia dari unsur-unsur pemitosan  agama terhadap urusan duniawi (demitologisasi). Dalam agama Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia, tidak ada pemisahan agama dengan dunia seperti yang ada di dunia Barat, yang ada adalah pembedaan antara urusan agama dengan urusan dunia atau negara.
Dengan banyaknya sistem kepercayaan yang dianut oleh banyak warga negara, kehadiran sekularisme selain memisahkan dan membedakan urusan akhirat (agama) dengan urusan dunia (negara), secara tidak langsung juga dapat menambah toleransi antar umat beragama. Seperti yang kita ketahui, pada dasarnya semua agama memiliki nilai moral yang universal, mengajarkan kebaikan, menghindarkan keburukan. Namun dengan perbedaan kepercayaan tertentu, hal tersebut dapat menjadi masalah ketika suatu agama berbentrokan dengan agama lain karena masing-masing pemeluknya merasa paling ideal. Nilai moral universal pun gagal terwujud. Tanpa adanya sekularisme, sebuah agama yang dominan dalam suatu negara berisiko mendominasi dalam sistem pemerintahan dan merugikan pemeluk agama-agama lain yang minoritas di negara tersebut, kemudian dapat menimbulkan konflik lebih lanjut. Dengan pembedaan urusan agama dan dunia, urusan privat dan publik, sistem sekuler dapat melindungi semua agama, tidak hanya agama tertentu saja, sebab negara bersikap netral terhadap agama, namun hal itu diharapkan juga mendorong sikap saling menghargai antar tradisi para umat beragama maupun yang tidak beragama.
Bila kita mencari golongan yang menentang sekularisme, kita akan bertemu dengan kaum mayoritas yang kurang kritis disana. Mereka memang merasa tak butuh sekularisme. Kalau bisa mereka berupaya menjadikan agama mereka sebagai agama seluruh warga negara. Mayoritas akan menentang sekularisme dengan berbagai alasan, entah karena produk barat, dan lainnya. Tetapi mereka juga harus mempertimbangkan ketika posisi mereka terbalik, ketika mereka berada pada posisi minoritas. Tentu sikap mereka akan berbeda karena sistem sekularisme menguntungkan semua pihak dengan kenetralannya. Toleransi antar umat beragama sangat penting untuk mencegah timbulnya diskriminasi.
Sekularisme pada awalnya hadir di barat dengan latar belakang antara lain refleksi dari kesuraman di abad pertengahan dimana agama Kristen mendominasi negara dan menimbulkan ketidaknyamanan dalam kehidupan karena banyaknya kewenangan yang diatur oleh pemuka agama yang mengklaim bahwa mereka adalah institusi resmi wakil Tuhan dimuka bumi. Orang-orang yang berotoritas tersebut kemudian melakukan hegemoni dan doktrin atas kepentingan-kepentingan kalangan tertentu dalam kehidupan bermasyarakat dengan mengatasnamakan agama, serta melakukan tindakan brutal untuk mendiskriminasikan agama-agama lain juga pihak-pihak lain. Mereka telah melihat bahwa ketika suatu agama tertentu mendominasi urusan negara, maka banyak hal buruklah yang terjadi karena kekuasaan tersebut, seperti kekerasan antar umat beragama. Hal itu terjadi di peradaban barat pada abad pertengahan kemudian ditinggalkan dengan penerapan sekularisme.
Namun demikian, justru di Indonesia pada masa modern ini dengan kemajuan teknologi yang beredar berkat perdagangan global seperti ipad, blackberry dan sebagainya, pola pikir masyarakat seperti sedang diarahkan kembali oleh kelompok tertentu menuju pada abad pertengahan yang terkenal juga dengan abad kegelapan dimana terdapat dominasi agama tertentu yang mengarah pada diskriminasi agama lainnya. Tahun 2011 lalu misalnya, terjadi peningkatan pelanggaran dalam kehidupan beragama dibandingkan dengan tahun 2010. Jemaat Ahmadiyah adalah korban terbanyak dengan 46 kasus, kemudian ada pembakaran pesantren milik warga Syiah di Dusun Nangkernang. Kemudian pada Jumat kemarin terjadi pelanggaran HAM ketika  sekelompok organisasi yang mengatasnamakan agama berulah membubarkan diskusi Irshad Manji. Selain itu pemerintah Indonesia seakan diam saja menyaksikan peristiwa kekerasan tersebut, membiarkan ‘preman-preman agama’ yang seringkali mengganggu keharmonisan dan kerukunan beragama.
Kekerasan seperti itu tidak akan terjadi ketika masyarakat menyadari dan memahami bahwa agama apapun yang dianut oleh berbagai orang, merupakan urusan personal masing-masing individu. Selama urusan kepercayaan mereka prakteknya tidak mengganggu dan merugikan masyarakat, seharusnya masyarakat tidak menggangu mereka. Urusan masing-masing adalah milik masing-masing. Kekerasan tersebut merupakan bukti dominasi dari agama tertentu terhadap pemerintahan, dan tentu mayoritas tidak merasa dirugikan, yang dirugikan tentu minoritas. Ironisnya sekali orang yang mengusung agama yang seharusnya penuh rasa damai malah melakukan tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama tersebut. Dengan demikian aturan kebebasan atau hak-hak sipil dalam menjamin perlindungan hukum dan kesempatan yang setara bagi semua warga negara tanpa memandang ras, agama, serta jenis kelamin, hanyalah sekedar aturan.
Semua manusia pada hakikatnya menginginkan kebebasan. Bahkan sebenarnya manusia melekat pada eksistensi manusia dan manusia bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya, apapun itu. Semua manusia berkebebasan. Manusia harus memahami hal tersebut sebagai sebuah apresiasi terhadap kebebasan satu sama lainnya agar tidak terjadi pelanggaran terhadap kebebasan orang lain. Lakukan kebebasan tetapi jangan mengganggu kebebasan orang lain. Kebebasan ini tentunya juga berlaku dalam hal keyakinan karena keyakinan adalah bagian dari pilihan manusia yang bereksistensi. Sehingga dapat dipahami bahwa manusia bebas untuk beragama apapun, maupun bebas bila tidak ingin beragama.
Sekularisme kiranya dapat mewadahi keharmonisan kehidupan warga negara, bukan dengan menolak agama seperti yang dilakukan oleh kaum fanatik dengan menolak agama tertentu, namun, sekularisme membantu membedakan urusan agama dengan dunia sehingga tidak ada yang terdominasi dan tersubordinasi. Segala urusan di dunia sebaiknya dibahas dengan term-term duniawi yang rasional, empiris. Sedangkan urusan agama merupakan hal personal bagi masing-masing warga negaranya yang seharusnya tidak mengganggu dan tidak perlu diganggu, justru nilai universal yang esensial didalamnya seharusnya dimaknai dan dipraktekkan secara mendalam oleh masing-masing individunya.