27 April 2012

Menghidupi Kehidupan


Jumat, 15 Juli 2011

Saya tadi menyetir mobil seperti biasa. Hari ini panas. Seperti musim panas pada umumnya. Saya menyetir sendirian dari rumah menuju bengkel mobil untuk mengganti kulit jok mobil. Jalanan tidak terlalu ramai karena mungkin masih pagi, atau mungkin orang-orang bersiap-siap berpartisipasi untuk solat Jumat.

Jam 11.15. Saya melintasi jalan Siliwangi dan melihat tukang kerupuk dengan gerobak biru, ia berkulit hitam, bertopi biru tua, berkemeja putih, bercelana hitam, mengenakan handuk merah muda pudar di lehernya dan sepatu olahraga merah muda koral. Itu tukang kerupuk yang setiap hari melewati perumahan saya. Jauh sekali ia berjalan. Ibu saya bilang bahwa dia pernah melihatnya berjalan dengan gerobak kerupuknya di terminal. Memang, tukang kerupuk itu mempunyai gerobak sepeda, tetapi tentunya dia tidak bisa terus mengayuhnya, terutama bila jalanan menanjak, atau jalanan terlalu ramai dengan angkutan dan pejalan kaki sehingga kerepotan. Dia harus berjalan dan mendorong gerobak kerupuknya yang besar. Saya menyetir, tapi pikiran saya tidak benar-benar hanya pada lalu lintas yang saya hadapi. Sekelebat penglihatan terhadap tukang kerupuk itu cukup mengusik pikiran saya.

Berapa jauh sebenarnya jarak yang dia dan gerobak kerupuknya tempuh setiap hari? Saya tahu bahwa setiap hari dia berputar-putar mengelilingi perumahan saya yang tidak bisa dibilang kecil. Hanya berjalan mengelilingi tiap celah perumahan saya saja saya lelah membayangkannya, apalagi dengan membawa gerobak kerupuk. Apalagi saya juga tahu bahwa bukan hanya perumahan saya yang ia putari. Tentunya dia punya rumah, dan apabila ibu saya pernah melihatnya di terminal, dia pasti tinggal sekitar daerah itu atau mungkin lebih jauh lagi. Dia juga pasti berkunjung ke daerah pemukiman lainnya.

Saya mengingat-ingat saat saya kadang menyerahkan gerobak kerupuk kosong padanya untuk diisi, saya melihat matanya. Menelaah orang seperti biasa. Saya selalu berusaha ramah dengan orang yang saya kira membutuhkan keramahan. Saya juga selalu melihat mata orang lain baik-baik, untuk mendapatkan kesan dari dirinya. Tukang kerupuk itu bermata dingin, kosong, canggung, begitu juga dengan gerak-geriknya. Dari situ saya tahu dia telah menempuh perjalanan melelahkan, hingga kedepan rumah saya. Dari situ saya tahu bahwa setiap hari dia menempuh ratusan kilometer bolak-balik, dengan sepatu olahraganya, dan handuk pudar untuk mengelap keringatnya. Astaga, hampir setiap harinya di Depok ini begitu panas! Dia mengayuh sepeda dan berjalan kaki sejauh ratusan kilometer setiap harinya, hanya berperisai sepatu merah muda koralnya, handuk merah mudanya yang pudar, dan topi untuk melindungi kepalanya dari sengatan sinar matahari. Tak heran dia bersikap dingin, kosong dan canggung. Dia mengalami hari yang berat setiap harinya, menempuh jarak jauh dengan mengayuh sepeda dan berjalan kaki, dipanaskan sinar matahari, diterpa angin dan polusi, serta menghadapi banyak wajah setiap harinya untuk menjual kerupuknya. Sinar matahari yang ganas, tiap harinya telah membuat kulitnya hitam. Siapa yang tahu apabila sebelumnya kulitnya berwarna cokelat, atau mungkin kuning langsat? Tapi hal itu bermanfaat. Pigmennya bertambah banyak untuk melindungi dirinya dari pekerjaannya, dari sinar matahari selama dia bekerja untuk menghidupi dirinya dan keluarganya.

Saya kemudian berpikir tentang survival. Menurut saya, kita semua manusia, berusaha sebaik-baiknya untuk bertahan hidup setiap harinya, dengan cara kita masing-masing. Disadari atau tidak, kita melakukannya. Saya rasa tidak ada orang yang benar-benar pemalas. Setiap hari, saya melihat orang-orang yang berjuang untuk bertahan hidup untuk dirinya, dan menopang hidup orang-orang yang disayanginya. Mereka berjuang dengan sapu mereka, gerobak makanan dan minuman mereka, gerobak peralatan rumah tangga dan mainan anak-anak, gerobak sampah, dengan kendaraan mereka seperti becak, motor, atau dengan tubuh mereka, berusaha membawa uang ketika kembali kerumah. 

Uang. Ketika segala hal yang nyata memerlukan uang. Ketika orang menilai orang lainnya berdasarkan uang yang dimilikinya, bukan dari kebaikan hatinya dan ketulusannya. Di dunia yang dominasi materialis ini manusia membutuhkan uang bagaikan oksigen. Semua melakukan dengan cara masing-masing untuk mendapatkannya. Saya tidak bisa menyebut para pengemis itu pemalas. Mereka mungkin hanya mampu melakukan hal itu untuk mencari uang, memiliki pikiran dan kemampuan terbatas. Orang-orang itu dengan hal yang dapat mereka andalkan, dengan sapu, gerobak, kendaraan, dan tubuh mereka, bukan melakukan hal itu karena senang melakukannya. Tidak ada yang senang melakukannya, saya rasa, mereka juga tahu bahwa ada begitu banyak pekerjaan yang lebih tinggi dan lebih ‘wah’ daripada yang mereka kerjakan. Tapi mereka harus melakukannya. Mereka mungkin tidak mampu mendapatkan pendidikan untuk menjadi pengacara, otak brilian untuk menjadi ilmuwan, atau penampilan indah untuk menjadi model. 

Mereka hanya punya kapasitas tertentu. Itu yang mereka andalkan. Mereka ingin hidup. Mereka mengesampingkan kesenangan mereka, kebahagiaan mereka, harga diri mereka, ketika mereka membersihkan selokan, membersihkan kloset bekas orang habis buang air, atau bahkan sekedar berjalan mendorong gerobak mereka di jalanan yang penuh dengan mobil berAC dan orang yang nyaman didalamnya, orang yang melihat mereka, sementara mereka mengelap keringat karena panasnya sinar matahari dan terus melihat kedepan, mencoba tidak iri hati dengan kenyamanan yang orang lain dapatkan dan menjalani kehidupan mereka saja sebaik-baiknya.

Setiap manusia berusaha, entah yang berbaju mewah atau yang berbaju lusuh. Saya tahu bahwa orang-orang di gedung tinggi dengan ruangan ber-AC juga berusaha untuk bertahan hidup. Hanya saja medan pertempurannya berbeda. Kompleksitas tersirat dan tersurat dengan senyum simpul, kedipan mata, perlombaan mana yang ‘TER’. Memamerkan bulu mereka dalam perjuangannya. Bahkan dari masih anak-anak pun, manusia berupaya untuk bertahan dari sesamanya, diantara yang memiliki orang tua kaya, yang memiliki penampilan rupawan, yang memiliki otak cerdas, sejak kecil manusia belajar untuk bertahan.

Hidup ini keras. Mati saya belum mengalaminya, atau lupa kalaupun pernah. (Hahaha, reinkarnasi?)

Setiap manusia punya medan pertempuran masing-masing.

Hidup atau mati?

Saya rasa, dalam kehidupan, jenis kita yang berpikir, juga yang merasakan dengan panca indera, entah makanan enak, mencium keharuman parfum dan sabun, merasakan kenyamanan saat orang yang kita suka menyentuh kita, merasakan lembutnya bulu hewan, harumnya rumput yang baru dipangkas, mendengar keindahan musik, melihat indahnya alam, kecantikan di dunia, keindahan karya seni, memilih untuk bertahan hidup karena telah tersentuh dunia. Mengingat hal-hal indah didunia meskipun tidak dipungkiri banyak juga sisi tidak indahnya. Namun manusia berharap untuk merasakan keindahan-keindahan dan kenikmatan- kenikmatan itu lagi. Kemudian keinginan untuk hidup, berjuang untuk hidup mengarahkan pada kegiatan berjuang mendapatkan uang.

Bahkan saya juga berjuang untuk mendapatkan uang dengan cara saya sendiri. Ingin sekali bisa membantu banyak orang yang sengsara dan anehnya saya kadang ikut sengsara memikirkan mereka, tapi jarang bisa mengungkapkannya, jarang bisa berbuat apa-apa dengan kondisi keuangan saya yang terbatas. (kapasitas mahasiswi kelas menengah)

Apa? Saya hanya perempuan muda berumur 20 tahun. Saya belajar di program studi Filsafat, juga belajar piano, dan mengajar piano untuk mendapatkan uang saku (hehehe). Saya berharap, sesegera mungkin, beberapa tahun lagi saya bisa menjadi orang yang dapat menolong orang yang membutuhkan. (uang? di negara ini kenyataannya begitu kan? tapi saya akan menambah elemen afeksi), mencoba membahagiakan orang-orang disekitar saya dan menjadikan kebahagiaan mereka kebahagiaan saya juga. Saya ingin sekali menolong seluruh dunia. Tapi saya ini siapa? Orang besar pun belum tentu mampu melakukannya, apalagi orang seperti saya. Saya pikir masalah ini termasuk yang partikular, saya tentunya tidak mampu menolong semua, saya mungkin akan mampu menolong sebagian kecil saja, sebagian lain mungkin akan ditolong orang lain. Setidaknya saya mencoba.

Saya harap masa itu jangan terlalu lama, masa saat saya membahagiakan orang-orang disekitar saya, karena rasanya saya tidak tahan, dan ingin secepatnya menolong orang-orang. Saya tahu bagaimana jahatnya orang-orang lainnya yang harus dihadapi, saya tahu rasanya kesepian, kekurangan, diacuhkan, direndahkan, dicemooh, berjuang saat diri seakan dilempari batu tak kasat mata oleh orang-orang, lalu berjuang lagi saat lemparan itu berhenti, sunyi, kemudian berperang dengan diri sendiri, bertahan dengan diri sendiri untuk menghidupi kehidupan.

Menghidupi kehidupan mungkin mudah bagi kita yang berkapasitas untuk itu. Tapi beberapa orang lainnya tidak memiliki kapasitas untuk menolong dirinya sendiri.