Jumat, 15 Juli 2011
Saya tadi
menyetir mobil seperti biasa. Hari ini panas. Seperti musim panas pada umumnya. Saya
menyetir sendirian dari rumah
menuju bengkel mobil untuk mengganti kulit jok mobil. Jalanan tidak terlalu
ramai karena mungkin masih pagi, atau mungkin orang-orang bersiap-siap berpartisipasi untuk solat Jumat.
Jam 11.15. Saya
melintasi jalan Siliwangi dan melihat tukang kerupuk dengan gerobak biru, ia berkulit
hitam, bertopi biru tua, berkemeja putih, bercelana hitam, mengenakan handuk
merah muda pudar di lehernya dan sepatu olahraga merah muda koral. Itu tukang
kerupuk yang setiap hari melewati perumahan saya.
Jauh sekali ia berjalan. Ibu saya
bilang bahwa dia pernah melihatnya berjalan dengan
gerobak kerupuknya di terminal. Memang, tukang kerupuk
itu mempunyai gerobak sepeda, tetapi tentunya dia tidak bisa terus mengayuhnya, terutama bila
jalanan menanjak, atau jalanan terlalu ramai dengan angkutan dan pejalan kaki
sehingga kerepotan. Dia harus
berjalan dan mendorong gerobak kerupuknya yang besar. Saya menyetir, tapi pikiran saya tidak benar-benar hanya pada lalu lintas yang saya hadapi. Sekelebat
penglihatan terhadap tukang kerupuk itu cukup mengusik pikiran saya.
Berapa jauh sebenarnya jarak yang dia dan gerobak kerupuknya tempuh setiap hari? Saya tahu bahwa setiap hari dia berputar-putar mengelilingi perumahan saya yang tidak bisa dibilang kecil. Hanya berjalan mengelilingi
tiap celah perumahan saya saja saya
lelah membayangkannya, apalagi dengan membawa gerobak kerupuk. Apalagi saya juga tahu bahwa bukan hanya perumahan saya yang ia putari. Tentunya dia punya rumah, dan apabila ibu saya pernah melihatnya di terminal, dia pasti tinggal sekitar daerah itu atau mungkin lebih jauh lagi. Dia
juga pasti berkunjung ke daerah pemukiman
lainnya.
Saya mengingat-ingat saat saya kadang menyerahkan gerobak kerupuk kosong
padanya untuk diisi, saya melihat matanya. Menelaah orang
seperti biasa. Saya selalu berusaha ramah dengan orang yang saya kira membutuhkan keramahan.
Saya juga selalu melihat mata orang
lain baik-baik, untuk mendapatkan kesan dari dirinya.
Tukang kerupuk itu bermata dingin, kosong, canggung, begitu juga dengan
gerak-geriknya. Dari situ saya
tahu dia telah menempuh perjalanan
melelahkan, hingga kedepan rumah saya. Dari situ saya
tahu bahwa setiap hari dia menempuh
ratusan kilometer bolak-balik, dengan sepatu olahraganya, dan handuk pudar
untuk mengelap keringatnya. Astaga, hampir setiap harinya di Depok ini begitu panas! Dia mengayuh sepeda dan berjalan kaki sejauh ratusan
kilometer setiap harinya, hanya berperisai sepatu merah muda koralnya, handuk
merah mudanya yang pudar, dan topi untuk melindungi kepalanya dari sengatan
sinar matahari. Tak heran dia bersikap dingin,
kosong dan canggung. Dia mengalami
hari yang berat setiap harinya, menempuh jarak jauh dengan mengayuh sepeda dan
berjalan kaki, dipanaskan sinar matahari, diterpa angin dan polusi, serta
menghadapi banyak wajah setiap harinya untuk menjual kerupuknya. Sinar matahari
yang ganas, tiap harinya telah membuat kulitnya hitam. Siapa yang tahu apabila
sebelumnya kulitnya berwarna cokelat, atau mungkin kuning langsat? Tapi hal itu
bermanfaat. Pigmennya bertambah banyak untuk melindungi dirinya dari
pekerjaannya, dari sinar matahari selama dia
bekerja untuk menghidupi dirinya dan keluarganya.
Saya kemudian berpikir
tentang survival. Menurut saya, kita semua
manusia, berusaha sebaik-baiknya untuk bertahan hidup setiap harinya, dengan
cara kita masing-masing. Disadari atau tidak, kita melakukannya. Saya rasa tidak ada orang yang benar-benar pemalas. Setiap hari, saya melihat orang-orang yang berjuang untuk bertahan
hidup untuk dirinya, dan menopang hidup orang-orang yang disayanginya. Mereka
berjuang dengan sapu mereka, gerobak makanan dan minuman mereka, gerobak
peralatan rumah tangga dan mainan anak-anak, gerobak sampah, dengan kendaraan
mereka seperti becak, motor, atau dengan tubuh mereka, berusaha membawa uang
ketika kembali kerumah.
Uang. Ketika segala hal yang nyata memerlukan uang. Ketika orang menilai orang lainnya berdasarkan uang yang dimilikinya, bukan dari kebaikan hatinya dan ketulusannya. Di dunia yang dominasi
materialis ini manusia membutuhkan uang bagaikan oksigen. Semua
melakukan dengan cara masing-masing untuk
mendapatkannya. Saya tidak bisa
menyebut para pengemis itu pemalas. Mereka mungkin hanya
mampu melakukan hal itu untuk mencari uang, memiliki
pikiran dan kemampuan terbatas. Orang-orang itu dengan hal yang
dapat mereka andalkan, dengan sapu, gerobak, kendaraan, dan tubuh mereka, bukan
melakukan hal itu karena senang melakukannya. Tidak ada yang senang
melakukannya, saya rasa,
mereka juga tahu bahwa ada begitu banyak pekerjaan yang lebih tinggi dan lebih
‘wah’ daripada yang mereka kerjakan. Tapi mereka harus melakukannya. Mereka
mungkin tidak mampu mendapatkan pendidikan
untuk menjadi pengacara, otak brilian untuk menjadi
ilmuwan, atau penampilan
indah untuk menjadi model.
Mereka hanya punya kapasitas tertentu. Itu yang mereka andalkan. Mereka ingin hidup. Mereka mengesampingkan kesenangan mereka, kebahagiaan mereka, harga diri
mereka, ketika mereka membersihkan selokan, membersihkan kloset bekas orang
habis buang air, atau bahkan sekedar berjalan mendorong gerobak mereka di
jalanan yang penuh dengan mobil berAC dan orang yang nyaman didalamnya, orang yang melihat mereka, sementara mereka
mengelap keringat karena panasnya sinar matahari dan terus melihat kedepan,
mencoba tidak iri hati dengan kenyamanan yang orang lain dapatkan dan menjalani
kehidupan mereka saja sebaik-baiknya.
Setiap manusia berusaha, entah yang berbaju mewah
atau yang berbaju lusuh. Saya tahu bahwa orang-orang di gedung tinggi dengan
ruangan ber-AC juga berusaha untuk
bertahan hidup. Hanya saja medan pertempurannya berbeda. Kompleksitas tersirat
dan tersurat dengan senyum simpul, kedipan mata, perlombaan mana yang ‘TER’.
Memamerkan bulu mereka dalam perjuangannya. Bahkan dari masih anak-anak pun, manusia berupaya untuk bertahan dari sesamanya, diantara
yang memiliki orang tua kaya, yang memiliki
penampilan rupawan, yang memiliki otak
cerdas, sejak kecil manusia belajar
untuk bertahan.
Hidup ini keras. Mati saya
belum mengalaminya, atau lupa kalaupun pernah.
(Hahaha, reinkarnasi?)
Setiap manusia punya medan pertempuran
masing-masing.
Hidup atau mati?
Saya rasa, dalam kehidupan, jenis kita yang berpikir, juga yang merasakan dengan panca indera, entah makanan enak, mencium keharuman
parfum dan sabun, merasakan kenyamanan saat orang yang kita suka menyentuh
kita, merasakan lembutnya bulu hewan, harumnya rumput yang baru dipangkas, mendengar keindahan musik, melihat indahnya alam, kecantikan di dunia, keindahan karya seni, memilih untuk bertahan hidup karena telah tersentuh dunia. Mengingat hal-hal indah didunia meskipun tidak dipungkiri banyak juga sisi tidak indahnya. Namun manusia berharap untuk merasakan keindahan-keindahan dan kenikmatan- kenikmatan itu lagi.
Kemudian keinginan untuk hidup, berjuang untuk hidup mengarahkan pada kegiatan berjuang mendapatkan uang.
Bahkan saya juga
berjuang untuk mendapatkan uang dengan cara saya sendiri.
Ingin sekali bisa membantu banyak orang yang sengsara dan anehnya saya kadang ikut sengsara
memikirkan mereka, tapi jarang bisa
mengungkapkannya, jarang bisa
berbuat apa-apa dengan kondisi keuangan saya
yang terbatas. (kapasitas mahasiswi kelas menengah)
Apa? Saya
hanya perempuan muda berumur 20 tahun. Saya
belajar di program studi Filsafat, juga
belajar piano, dan mengajar piano untuk mendapatkan uang saku (hehehe). Saya berharap, sesegera mungkin, beberapa tahun lagi saya bisa menjadi orang yang dapat menolong orang yang membutuhkan. (uang? di negara ini kenyataannya begitu kan? tapi saya akan menambah elemen afeksi), mencoba membahagiakan orang-orang disekitar saya dan menjadikan kebahagiaan mereka kebahagiaan saya juga. Saya
ingin sekali menolong seluruh dunia. Tapi saya
ini siapa? Orang besar pun belum tentu mampu melakukannya, apalagi orang seperti saya. Saya pikir masalah ini termasuk yang partikular, saya
tentunya tidak mampu menolong semua, saya mungkin akan mampu menolong sebagian kecil saja, sebagian lain mungkin akan ditolong orang lain.
Setidaknya saya mencoba.
Saya harap masa
itu jangan terlalu lama, masa saat saya
membahagiakan orang-orang disekitar saya,
karena rasanya saya tidak tahan, dan ingin secepatnya
menolong orang-orang. Saya tahu
bagaimana jahatnya orang-orang lainnya yang harus dihadapi, saya tahu rasanya kesepian, kekurangan, diacuhkan,
direndahkan, dicemooh, berjuang saat diri seakan dilempari batu tak kasat mata
oleh orang-orang, lalu berjuang lagi saat lemparan itu berhenti, sunyi, kemudian berperang
dengan diri sendiri, bertahan dengan diri sendiri
untuk menghidupi kehidupan.
Menghidupi kehidupan mungkin mudah bagi kita yang berkapasitas untuk itu. Tapi beberapa orang lainnya tidak memiliki kapasitas untuk menolong dirinya sendiri.