27 June 2012

Menghewankan


Ditangkap, Pria Pemakan Hewan.

Saya terkekeh saat membaca judul sebuah artikel yang di retweet oleh seorang teman.

Menurut saya judul itu konyol. Konyol karena kurang keterangan atau karena rasanya memang konyol saja karena paradoks didalamnya. Entah orang macam apa yang ngasal dalam membuat judul artikel yang dibaca oleh banyak orang.

Ditangkap, Pria Pemakan Hewan.
Pria Pemakan Hewan Ditangkap.

Apa bedanya pria itu dengan gerombolan remaja labil atau gerombolan keluarga yang memakan ayam dengan lahap di restoran ayam cepat saji? Memakan kulitnya, menggigit setiap lapisan dagingnya, menggerogoti tulangnya.

Ditangkap, Subjek Pemakan Hewan.
Subjek Pemakan Hewan Ditangkap.

Berarti semua subjek yang sedang makan hewan di restoran ayam terdekat bisa ditangkap.

Berarti semua subjek yang sedang makan hewan di warung tenda pecel ayam, lele, sate kambing, atau seafood bisa ditangkap.

Atau tidak?

Subjek-subjek tersebut tetap damai sentosa makan hewan, tulang-tulang dibuang ditempat sampah. Kulit kerang berceceran. Dan sebagainya. Dalam sekejap, hewan berpindah ke perut mereka.

Saya baca artikel tersebut. Ternyata pria itu ditangkap karena memakan anjing peliharaannya hidup-hidup saat sedang mabuk. Menggigit dagingnya, mengulitinya.

Apa yang membedakan pria tersebut dari kelompok orang Jepang yang memakan live sashimi? Memakan ikan yang masih menggelepar dengan sumpitnya? Mencabik daging yang menempel di badan ikan yang masih menggelepar?

Apa yang membedakan pria tersebut dari anak kecil yang gembira memegang tusuk sate berisi potongan daging kambing?

Apa yang membedakan pria tersebut dari bapak-bapak yang lahap menyeruput sumsum sapi?

Apa yang membedakan pria tersebut dari ibu-ibu yang memilih potongan daging sapi di pasar?

Katanya sih, pria itu terancam dipenjara karena tuduhan melakukan kekejaman terhadap hewan.

Bagaimana itu kekejaman terhadap hewan?

Memakan hewan hidup-hidup?
Atau juga
Memakan masakan dari daging hewan?
Memakai tas kulit hewan?
Memakai pakaian berbulu hewan?
Menonton hewan sebagai alat hiburan?
Menggunakan hewan sebagai percobaan-percobaan?

Menurut saya, semuanya tidak jauh berbeda. Intinya sama. Mengkonsumsi hewan. Mendiskriminasi hewan. Mendominasi hewan. Dengan beragam cara. Perbedaan itu hanya konstruksi yang diadakan. Konstruksi dari yang merasa bahwa ada batas antara yang civilized dan yang uncivilized yang menurut saya hampir tidak ada bedanya. Hampir semua yang ada didunia ini rancu. Abu-abu. Membaur jadi satu.

Merasa bersalah, agak bersalah, ngeri atau agak ngeri? Saya mungkin memang ingin membagi rasa itu pada Anda yang kebetulan membaca.

Padahal sama-sama hewan. Tapi, katanya teks suci.. Khalifah.

Oke. Sintesis dari Hewan dan Khalifah, Khalifah Hewan? Anggaplah sesederhana itu karena kata tunggal tersebut malah disalahgunakan sebagai kuasa atas segala sumber daya di alam ini. Bukan merawatnya dengan sebaik-baiknya, malah seringkali  menggunakan tameng teks suci untuk membenarkan hal yang kurang benar. Gunakan hati untuk menelaah teks suci. Jangan gunakan kepentingan ketika menelaah teks suci. *loh kok jadi keterusan membahas hal ini..


Hewan. Animal. Dari kata Animale, bahasa latinnya: Animalia, atau Anima, berarti nafas yang vital, atau jiwa.

Secara biologis, secara nyata, secara sederhana, hal tersebut mengindikasikan bahwa semua makhluk yang hidup termasuk manusia masuk dalam Animalia. Hewan juga.

Kenapa saya iseng saja menulis hal macam ini?

Because we’re supposed to be the thoughtful animals?


20 June 2012

Dehumanisasi Sendiri


Hari ini saya mengajar piano seperti biasa. Berangkat setelah bangun tidur siang. Saat menunggu murid, saya ber whatsapp-an dengan pasangan saya. Saat menunggu juga, salah satu panca indera saya yaitu telinga saya terasa sangat tidak nyaman, karena murid piano dari ruang sebelah memainkan musik yang menurut saya buruk dan membuat saya sakit kepala karena repetisi not-not yang kacau terus menerus. Mengingatkan saya pada beberapa murid saya yang juga memiliki kondisi demikian dari minggu ke minggu.

Murid-murid saya yang ‘bermasalah’ merupakan murid pindahan dari guru tertentu yang metode belajarnya diakui cukup berantakan dan fondasinya cukup buruk dalam belajar, meninggalkan beban pada guru-guru yang diberi tanggung jawab untuk membenahi murid-murid tersebut (sukar sekali membenahi sesuatu atau seseorang yang dibentuk dengan buruk).

Saya kesal karena seharusnya murid-murid tersebut mempelajari apa yang seharusnya mereka pelajari dirumah dengan sebaik-baiknya. Kalau tidak, seharusnya mereka tidak usah datang ke tempat les dengan bawaan kosong. Waktu 45 menit yang seharusnya digunakan untuk memandu, mengkoreksi, mempelajari sesuatu yang baru malah terbuang habis dengan jajaran not retak di udara dari materi sebelumnya (kalau dalam kartun akan demikian gambarnya). Apa masalah dari murid-murid ini? Kurangnya fondasi yang solid, kurangnya bakat, kurangnya waktu, kurangnya motivasi, ketidakmampuan belajar, ketidakmauan belajar?

Kurangnya fondasi yang solid, mungkin, ibarat manusia diajarkan abjad, mereka belum tau A-Z, setelah diberitahu sejuta kali pun, sukar meresap ke otak. Kurangnya bakat, bukan alasan yang pantas, karena toh sebenarnya bisa dipelajari. Kurangnya waktu, tidak mungkin, mereka bukan orang sibuk yang harus kesana-kesini mengerjakan ini-itu, saya tau betul waktu mereka yang banyak sekali luangnya, entah dihabiskan dengan melakukan apa, kurangnya waktu berlatih baru tepat. Kurangnya motivasi, sebanyak dan sebaik mungkin saya beri motivasi tetapi motivasi terbaik tentu datang dari diri mereka sendiri. Ketidakmampuan belajar, atau ketidakmauan belajar? Mampu belum tentu mau, mau belum tentu mampu. Dua hal ini saling berbelit.

X mampu mengambil emas, tapi X tidak mau karena menurutnya bunga lebih menarik.
Y mau mengambil emas, tapi Y tidak mampu bergerak karena lumpuh.

Menurut saya, segala hal berangkat dari kemauan. We can’t change anything if we can’t change our mind. kecuali mereka dalam situasi lumpuh atau sudah mati, seharusnya ada kemauan untuk mampu melakukan sesuatu. Semua anggota tubuh berfungsi dengan ‘normal’, sehat iya, makan iya, istirahat iya, apa yang kurang?

Pendidikan seharusnya dapat memanusiakan manusia. Ketika ada aliran pendidikan (liberal) yang mendehumanisasikan manusia dan dikritik oleh aliran pendidikan kritis, dalam kehidupan keseharian saya, yang sering saya temukan malah manusia-manusia yang mendapat akses pendidikan, tidak didehumanisasikan oleh pendidikan tersebut, justru menurut saya, mereka yang mendehumanisasikan diri mereka sendiri, mengalienasikan diri mereka dari pendidikan. =_____= What a pity.

15 June 2012

Truth is not Found in a View



Jadi kamu mengalami kekeliruan persepsi dengan mereka ya.

Kamu kurang berkomunikasi dengan mereka sehingga menarik kesimpulan sendiri, sementara mereka ternyata tidak seperti yang kamu kira, tidak seperti yang saya kira, tidak seperti yang kita kira.

Saya teringat salah satu cerita waktu saya belajar filsafat timur, inti dari cerita tersebut adalah, truth is not found in a view.

Ada satu cerita dari India, mengenai gajah dan sejumlah orang yang berhadapan dengannya. Mereka tidak dapat melihat gajah tersebut. Mereka mendefinisikan gajah tersebut hanya dari perabaan saja.

Orang yang memegang tubuhnya mengira bahwa itu adalah tembok.

Orang yang memegang telinganya mengira bahwa itu adalah kipas.

Orang yang memegang gadingnya mengira bahwa itu adalah tombak.

Orang yang memegang belalainya bingung mengira bahwa itu adalah selang atau ular.

Orang yang memegang kakinya mengira bahwa itu adalah tiang.

Orang yang memegang ekornya mengira bahwa itu adalah tambang.

Setelah mereka dapat melihat gajah tersebut, perbedaan lenyap dari perkataan mereka. Semuanya benar, tetapi hanya sepotong-sepotong.

Bagaimana kita dapat menemukan kebenaran?

Beberapa aliran filsafat justru mengatakan kebenaran itu tidak ada.

Kalau begitu, setidaknya, bagaimana kita dapat mendekati kebenaran?

Mempelajari banyak informasi, melihat banyak, menjaga jarak, dan menyeluruh?

Jangan pernah menarik kesimpulan kalau masih ragu, kamu bukan Descartes.

14 June 2012

Hedonisme atau Hedonisme?


Teman saya hari ini mengatakan akan membagikan kuesioner mengenai perilaku hedonisme kaum sosialita.

Lalu saya tanya, apa maksud hedon disini? 


Dia mengatakan maksud hedon disini adalah fenomena kaum sosialita yg konsumtif dengan membeli barang-barang berharga jutaan, nongkrong dan kumpul-kumpul menghabiskan uang berjuta-juta.

Lalu saya katakan bahwa itu miskonsepsi yang dianggap lumrah dari makna hedonisme.

Saya katakan bahwa situasi tersebut merupakan perilaku konsumtif. 


Perilaku konsumtif dari maraknya konsumerisme yang tentunya berelasi dengan hegemoni dari kapitalisme, sehingga orang-orang tergila-gila menghabiskan uang yang mereka peroleh dengan susah payah demi barang-barang sekunder dan tersier yang sebenarnya tidak penting, tapi iklan dan bombardir barang-barang tersebut begitu merasuki keinginan mereka. Mereka yang bekerja pagi hingga sore atau malam, pulang kerja entah kenapa harus nongkrong entah dimana, entah kenapa harus membeli barang yang sedang tren, entah kenapa harus ke tempat ini, entah kenapa harus coba makanan itu. Mereka yang bekerja, mereka yang membeli. Hasilnya yang lagi-lagi mendapat keuntungan adalah kaum kapitalis.

Lalu saya koreksi bahwa makna hedonisme sebenarnya adalah mendekati kebahagiaan dan menjauhi keburukan.

Dari makna tersebut, poin-poin yang dapat manusia lakukan untuk memperoleh kesenangan adalah bekerja keras, menjaga kesehatan, berbuat baik pada sesama dan apapun, dst..

Hedonisme sendiri merupakan salah satu filsafat moral yang berasal dari zaman Yunani kuno. Aristippus dari Cyrene yang mengembangkan filsafat moral ini. 


Ketika Sokrates bertanya, ‘Apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia?’ Aristippus menjawab ‘hēdonē’ atau kesenangan. Menurut Aristippus manusia tertarik pada kesenangan dan selalu menjauhi ketidaksenangan. Kesenangan menurut Aristippus ini merupakan kesenangan yang bersifat badaniah (konsepsinya manusia merupakan tubuh, bukan tubuh dan jiwa). Aristippus mengatakan bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, disini dan kini.

Kesenangan ini pun tidak membabi-buta seperti miskonsepsi yang dianggap lumrah. Aristippus bahkan tahu bahwa ada batas untuk kesenangan, yaitu pengendalian diri.

Kaum hedonis lainnya, Epicurus, mengatakan bahwa selain kesenangan badaniah, juga ada kesenangan rohaniah. Tidak sekedar kebebasan dari nyeri tubuh, tetapi juga kebebasan dari keresahan jiwa. 


Epikurus juga mengatakan bahwa kesenangan tidak hanya pada hal aktual saja, melainkan kehidupan sebagai keseluruhan termasuk masa lampau dan masa depan.

Hal-hal yang harus diingat agar hedonisme tidak dianggap sebagai term gaya hidup berfoya-foya seperti miskonsepsi bagi masyarakat awam saat ini adalah, adanya pembedaan tiga macam keinginan yang diajukan oleh Epikurus:
1. Keinginan alamiah yang perlu (makanan, pakaian, rumah)
2. Keinginan alamiah yang tidak perlu (makanan enak, pakaian glamor, rumah mewah)
3. Keinginan sia-sia (kekayaan)

Menurutnya justru hanya keinginan pertama yang harus dipuaskan. Maksud dari hal ini tentu merujuk pada pola hidup yang sederhana.


Orang yang bijaksana akan berusaha sedapat mungkin hidup terlepas dari keinginan mengganggu, dengan demikian akan diperoleh ataraxia, atau ketenangan jiwa dimana jiwa dalam kondisi seimbang, tidak terganggu oleh hal-hal lain.

Bagaimana? Sudah terbebas dari miskonsepsi?