14 June 2012

Hedonisme atau Hedonisme?


Teman saya hari ini mengatakan akan membagikan kuesioner mengenai perilaku hedonisme kaum sosialita.

Lalu saya tanya, apa maksud hedon disini? 


Dia mengatakan maksud hedon disini adalah fenomena kaum sosialita yg konsumtif dengan membeli barang-barang berharga jutaan, nongkrong dan kumpul-kumpul menghabiskan uang berjuta-juta.

Lalu saya katakan bahwa itu miskonsepsi yang dianggap lumrah dari makna hedonisme.

Saya katakan bahwa situasi tersebut merupakan perilaku konsumtif. 


Perilaku konsumtif dari maraknya konsumerisme yang tentunya berelasi dengan hegemoni dari kapitalisme, sehingga orang-orang tergila-gila menghabiskan uang yang mereka peroleh dengan susah payah demi barang-barang sekunder dan tersier yang sebenarnya tidak penting, tapi iklan dan bombardir barang-barang tersebut begitu merasuki keinginan mereka. Mereka yang bekerja pagi hingga sore atau malam, pulang kerja entah kenapa harus nongkrong entah dimana, entah kenapa harus membeli barang yang sedang tren, entah kenapa harus ke tempat ini, entah kenapa harus coba makanan itu. Mereka yang bekerja, mereka yang membeli. Hasilnya yang lagi-lagi mendapat keuntungan adalah kaum kapitalis.

Lalu saya koreksi bahwa makna hedonisme sebenarnya adalah mendekati kebahagiaan dan menjauhi keburukan.

Dari makna tersebut, poin-poin yang dapat manusia lakukan untuk memperoleh kesenangan adalah bekerja keras, menjaga kesehatan, berbuat baik pada sesama dan apapun, dst..

Hedonisme sendiri merupakan salah satu filsafat moral yang berasal dari zaman Yunani kuno. Aristippus dari Cyrene yang mengembangkan filsafat moral ini. 


Ketika Sokrates bertanya, ‘Apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia?’ Aristippus menjawab ‘hēdonē’ atau kesenangan. Menurut Aristippus manusia tertarik pada kesenangan dan selalu menjauhi ketidaksenangan. Kesenangan menurut Aristippus ini merupakan kesenangan yang bersifat badaniah (konsepsinya manusia merupakan tubuh, bukan tubuh dan jiwa). Aristippus mengatakan bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, disini dan kini.

Kesenangan ini pun tidak membabi-buta seperti miskonsepsi yang dianggap lumrah. Aristippus bahkan tahu bahwa ada batas untuk kesenangan, yaitu pengendalian diri.

Kaum hedonis lainnya, Epicurus, mengatakan bahwa selain kesenangan badaniah, juga ada kesenangan rohaniah. Tidak sekedar kebebasan dari nyeri tubuh, tetapi juga kebebasan dari keresahan jiwa. 


Epikurus juga mengatakan bahwa kesenangan tidak hanya pada hal aktual saja, melainkan kehidupan sebagai keseluruhan termasuk masa lampau dan masa depan.

Hal-hal yang harus diingat agar hedonisme tidak dianggap sebagai term gaya hidup berfoya-foya seperti miskonsepsi bagi masyarakat awam saat ini adalah, adanya pembedaan tiga macam keinginan yang diajukan oleh Epikurus:
1. Keinginan alamiah yang perlu (makanan, pakaian, rumah)
2. Keinginan alamiah yang tidak perlu (makanan enak, pakaian glamor, rumah mewah)
3. Keinginan sia-sia (kekayaan)

Menurutnya justru hanya keinginan pertama yang harus dipuaskan. Maksud dari hal ini tentu merujuk pada pola hidup yang sederhana.


Orang yang bijaksana akan berusaha sedapat mungkin hidup terlepas dari keinginan mengganggu, dengan demikian akan diperoleh ataraxia, atau ketenangan jiwa dimana jiwa dalam kondisi seimbang, tidak terganggu oleh hal-hal lain.

Bagaimana? Sudah terbebas dari miskonsepsi?