Tadinya sih saya sedang asik dengan
teks Hobbes dan Locke, lalu kemudian tangan saya iseng meraih hp dan membaca
pesan singkat didalamnya, yang membuat saya jadi tidak bisa fokus lagi dengan Leviathan dan Two Treatises of Government.
Well, pesan singkat yang tidak
singkat, konyol tapi menjengkelkan itu cukup bikin saya kesal, dan mengingatkan
saya lagi (saya sudah tau hal ini, cuma cepet lupa aja) bahwa tidak perlu
ngasih duit ke pengemis, bodo amat mau diteriakin sama si pengemisnya kek (ada
bocah pengemis dilampu merah yang gak saya kasih duit, dia teriak dengan bahasa
sunda “Wooo geulis tapi koret!”). Masalahnya kadang belakangan ini saya agak
sok murah hati dan lupa bahwa at some
point, murah hati tidak pada tempatnya=kebodohan.
Jadi isi pesannya kira-kira ada
manager perusahaan elektronik yang sedang ngantri makan di KFC, dengan heran dia
negur pengemis yang juga ngantri makan didekatnya. Dari pertanyaan-pertanyaan
itulah si manager tau bahwa si pengemis sudah makan 3 kali, tadi pagi habis
merayakan ultah anaknya di McD bareng guru dan teman-temannya, istri dan
anaknya barusan makan di Pizza Hut, setidaknya penghasilan dia mengemis tiap 60
detik dapat 2 ribu; 1 jam = 60 kali lampu merah, 60x2000=120.000/jam, kerja 9
jam/hari, dan setidaknya dapat penghasilan 28 juta/bulan. Si manager sendiri
gajinya 15 juta/bulan, yang kemudian diledekin si pengemis bahwa dia kasihan sama
si manager, karena banyak duit untuk kuliah sampai s2, karena kena omelan boss,
karena kepikiran banyak kerjaan terus. FUUUUUUUU. Lalu saya googling dan
menemukan fakta bahwa ada yang namanya kampung pengemis, bahwa kebanyakan
mereka berasal dari Indramayu, bahwa mereka gembel di Jakarta, tapi di kampung
halamannya rumah mereka megah dan mewah lengkap dengan kolam renang, bagi yang
laki-laki, istri pun lebih dari satu. FUUUUUUUUU. Saya sebagai mahasiswi dengan
duit pas-pasan yang sebelum akhir bulan duitnya udah surut pun kesal setengah
mati. Itu seantero orang-orang kok bisa-bisanya sih dengan mudahnya memberikan
duit mereka ke orang yang menadahkan tangan.
Dari duduk di depan laptop, saya
jadi pindah duduk di depan meja makan, mengunyah-ngunyah sisa mie goreng makan
malam sambil cerita-cerita kesel ke mama saya yang kebetulan sedang duduk
disitu. “.................. Grrrr, iya Ma, pokoknya kita jangan lagi kasih duit
deh ke pengemis”, juga dalam hati bertekad untuk tidak memberi duit ke pak ogah
yang bertebaran tiap belokan jalan, juga pada tukang parkir yang bertebaran
tiap meter, kalau perlu gak usah bawa kendaraan deh, jalan kaki, naik angkutan
umum saja. Kalau ditotal-total, seharinya duit yang misalnya dipakai untuk
dikasih tiap ketemu mereka bisa saya pakai untuk nambah saat makan siang. Kemudian
mikir-mikir kalau yang bener-bener orang susah ya para tukang becak itu, yang
dari zaman saya masih jajan anak mas sampai sekarang kok rasanya mereka masih
pakai baju yang itu-itu juga, yang menunggu dan bergiliran mengantar penumpang
yang rumahnya di blok sekian demi 5 ribu lalu mengayuh becaknya balik lagi ke
pangkalan, ya tukang kerupuk, yang panas-panasan mengayuh sepedanya dengan
jarak dari depok dua ke depok satu, demi 10 ribu per kaleng besar, ya tukang
sol sepatu yang jalan kaki dari komplek ke komplek demi 5 ribu persepatu, itu
juga kalau ada yang memanggil, ya kakek-kakek yang di zaman margo city ini masih
mendorong gerobaknya yang berisi gesper dan golok keliling komplek; mereka yang
meskipun memiliki keterbatasan dan rintangan, tapi dignity tingginya menghalangi mereka untuk hanya menadahkan tangan.
Jadi kalau sedang mau berbaik hati melakukan charity kecil ya berbaik hatilah pada mereka-mereka ini.
Kemudian ujung-ujungnya jadi ingat
sama Zizek, Zizek pasti ngomelin dan ngetawain saya, mungkin mirip seperti
kalau saya membayangkan dia terkekeh di depan muka saya kalau tetiba menyesap caramel
macchiato di Starbucks, atau kalau saya nyasar beli lip butter di body shop,
yang katanya kedua mega brand ini menyisihkan sekian persen di tiap produk yang
kita beli dengan harga mahalnya untuk charity,
dengan foto dan kata-kata yang menggugah meyakinkan kita bahwa saat kita meneguk
kopi, ada petani kopi yang tertolong, saat kita mengoleskan krim di bibir ada
petani cherry yang tertolong. Donasi tidak membuat keadaan buruk menjadi lebih
baik, justru malah memperlama keadaan yang buruk. Ibaratnya ada orang yang
sakit parah dan sudah ingin banget mati supaya tidak menderita lagi, malah
dikasih bantuan yang memperlama hidupnya. “We
should let people starve and die from disease so that they take up arms sooner
rather than later”, he said. Ih om Zizek jahat, gak bermoral, pasti kalian
mau bilang begitu. Justru Zizek bilang bahwa donasi itulah yang gak bermoral, “I’m not against charity, in an abstract
sense, it’s better than nothing, but be aware that there is elements of hypocrisy
there”. Solusinya bukan pada donasi yang disukai oleh masyarakat modern
yang hatinya mudah tersentuh oleh penderitaan, tapi “The real aim is to try and reconstruct society on such basis that
poverty will be impossible”. Oh yeah.. Poetic
banget.