2 November 2012

How to Deal with Unwanted Sounds?


Should we make anti-noise campaign, or am I the only one who realize that our world is so noisy?


Beberapa waktu lalu saya terbengong-bengong di suatu ruang tunggu, (saya sedang tidak terlalu suka sok sibuk dengan hp saya sehingga saya lebih memilih untuk mengamati perilaku orang-orang berseragam disana, yang kemudian berakhir pada kegiatan bengong karena mulai bosan).

Orang-orang berbicara pelan-pelan, suara televisi diruang tunggu begitu berisik, terdengar narasi infotainment sore hari, berganti saluran, lalu terdengar bocah menyanyi diiringi musik yang sepertinya susah payah menutupi suara sumbangnya, pintu terbuka dan terdengarlah suara berisik macam-macam dari luar yang sudah tercampur menjadi suara..... entah apa namanya. Saya melihat orang-orang itu. Mereka sadar tidak sih berisik sekali disini? Mereka kelihatan baik-baik saja dengan hp mereka dan majalah konyol di ruang tunggu. Lalu terpikirlah hubungan saya dan proposal skripsi saya. Saya bertanya-tanya apakah saya yakin mau membahas tema tersebut, apakah hal yang secara tidak sadar menggiring saya pada tema tersebut, dst.

Saya tertarik dengan John Cage yang menciptakan komposisi 4’33; komposisi berlembar-lembar tersebut hanya berisi tanda diam dari awal hingga akhir dengan durasi empat menit tiga puluh tiga detik. David Tudor merupakan pianis pertama yang ‘memainkan’ komposisi ini. Ia hanya membuka dan menutup piano untuk menandai tiga movement, sementara para penonton dengan manner penonton musik klasik hanya berbisik dan berdeham dengan sopannya perihal rasa bingung mereka karena si pianis tidak membunyikan pianonya.

Komposisi tersebut ‘harusnya’ merupakan komposisi yang diam. Namun diam ternyata tidak dapat diproduksi oleh tanda-tanda diam dalam partitur karena toh tanda-tanda diam hanya hal kecil yang dipahami oleh musisi dalam recital tersebut sementara penonton berbisik dan berdeham karena bingung, kemudian suara hujan dan lalu lintas merembes dalam gedung, dsb. Sama seperti saya yang kadang merekam latihan piano saya, pada bagian yang seharusnya diam dan saya tidak menekan apapun, malah terdengar suara si mbak yang menelpon temannya dengan nyaring, atau suara tukang bakso yang lewat.

Tadinya saya mau menghubungkan diam di 4’33 itu dengan teori Zen Buddhism, kemudian merasa bahwa saya belum menemukan tools yang pas untuk menaklukkan makanan saya.

Sebagai seorang yang pendiam, saya tentu merindukan diam (gak nyambung). Tetapi sepertinya diam itu tidak ada. Sulit sekali menemukan diam. Bahkan dalam ruangan yang senyap sekalipun, kita masih mendengar sesuatu yaitu suara degup jantung kita sendiri. Terima kasih kepada telinga yang berfungsi.

Betapa berisiknya dunia ini. Saya sadar bahwa saya sensitif terhadap bunyi-bunyian. Saya juga agak tuli karena bisingnya dunia sehingga kadang perlu bertanya ‘Apa?’ dan ‘Hah?’ pada yang sedang mengajak saya bicara. Di tempat ramai seperti mall saya sering merasa mengambang agak pusing mendengar berisiknya semua toko yang bersaingan sekeras-kerasnya menggaungkan musik-musik hits masa kini, pop, kpop, melayu, penyanyi yang disponsori restoran ayam, dst (industri musik sekarang penuh penderitaan menurut saya, dan membuat saya menderita juga karena sulit melarikan diri dari serangan musik tak terduga). Di jalanan tentu berisik suara mobil, motor, bis, becak, bajaj, kereta, tukang parkir yang meniup peluit, suara heboh dari mobil lewat yang memainkan lagu dugem misalnya, dst. Di dalam salah satu dari kendaraan saya masih diganggu oleh suara mesin kendaraan tersebut, atau musik dari radio yang tidak saya inginkan. Di dalam kendaraan umum saat saya memilih menjejalkan telinga saya dengan headset, saya malah mendapati diri saya merasa makin runyam karena harus memilih fokus antara dua macam suara; suara keras di telinga saya yang menggaungkan Romanzen-nya Wagner atau suara samar-samar mengganggu dari campuran suara kendaraan ditambah obrolan orang sekeliling.

Saya memikirkan anak-anak kecil yang tumbuh pada masa kini, mereka menonton televisi yang berisik, bermain di timezone yang berisik, game di komputer yang berisik, dan xbox yang berisik. Generasi anak muda sekarang sepertinya baik-baik saja dengan keberisikan ini. Mungkin mereka menganggap keberisikan ini sebagai sesuatu yang alamiah (angkat bahu). Tapi tidak bagi saya dan jiwa tua saya yang rindu masa lampau, bertanya-tanya apakah masa lampau lebih hening daripada masa kini? Kemudian sekali lagi merasa salah zaman dan salah tempat, merasa bahwa harusnya saya hidup di Jerman di masa transisi klasik ke romantik. Ah tapi zaman dulu perempuan masih menjadi sekedar ornamen dan tidak diutamakan mendapat pendidikan. Ah feminisme toh tetap ada sampai zaman sekarang karena problem tetap ada, namun bergeser tidak disitu terus. Oke sepertinya saya melenceng.

Ketika diam menjadi sesuatu yang langka dan sulit ditemukan bagi orang yang merindukan dan mencari diam, tentu perekonomian menampakkan dirinya. Apakah harus ada produsen yang memproduksi diam dan membandrolnya dengan harga yang tinggi? Diam kemudian menjadi komoditi pula. Orang bisa ‘membeli diam’ dengan panel kedap suara, penyumbat telinga, dan hal lain yang bisa menyelamatkan diri mereka dari suara berisik.

Di sisi lain, orang yang terbiasa dengan keberisikan agak canggung dan takut pada diam dan menganggapnya sebagai sesuatu yang mengerikan. Lift, rumah sakit, penjara, makam, dan alam bebas yang cenderung lebih sunyi menjadi tempat yang mungkin mereka hindari.

Well, saya masih mencari tools yang pas untuk menaklukkan makanan saya, dan harus menemukannya secepatnya sebelum saya kelaparan.