Should
we make anti-noise campaign, or am I the only one who realize that our world is
so noisy?
Beberapa waktu lalu saya terbengong-bengong di
suatu ruang tunggu, (saya sedang tidak terlalu suka sok sibuk dengan hp saya
sehingga saya lebih memilih untuk mengamati perilaku orang-orang berseragam disana,
yang kemudian berakhir pada kegiatan bengong karena mulai bosan).
Orang-orang berbicara pelan-pelan,
suara televisi diruang tunggu begitu berisik, terdengar narasi infotainment
sore hari, berganti saluran, lalu terdengar bocah menyanyi diiringi musik yang
sepertinya susah payah menutupi suara sumbangnya, pintu terbuka dan
terdengarlah suara berisik macam-macam dari luar yang sudah tercampur menjadi
suara..... entah apa namanya. Saya melihat orang-orang itu. Mereka sadar tidak
sih berisik sekali disini? Mereka kelihatan baik-baik saja dengan hp mereka dan
majalah konyol di ruang tunggu. Lalu terpikirlah hubungan saya dan proposal
skripsi saya. Saya bertanya-tanya apakah saya yakin mau membahas tema tersebut,
apakah hal yang secara tidak sadar menggiring saya pada tema tersebut, dst.
Saya tertarik dengan John Cage yang
menciptakan komposisi 4’33; komposisi berlembar-lembar tersebut hanya berisi
tanda diam dari awal hingga akhir dengan durasi empat menit tiga puluh tiga
detik. David Tudor merupakan pianis pertama yang ‘memainkan’ komposisi ini. Ia
hanya membuka dan menutup piano untuk menandai tiga movement, sementara para penonton dengan manner penonton musik klasik hanya berbisik dan berdeham dengan
sopannya perihal rasa bingung mereka karena si pianis tidak membunyikan
pianonya.
Komposisi tersebut ‘harusnya’ merupakan komposisi yang diam. Namun diam ternyata tidak dapat diproduksi oleh tanda-tanda diam dalam partitur karena toh tanda-tanda diam hanya hal kecil yang dipahami oleh musisi dalam recital tersebut sementara penonton berbisik dan berdeham karena bingung, kemudian suara hujan dan lalu lintas merembes dalam gedung, dsb. Sama seperti saya yang kadang merekam latihan piano saya, pada bagian yang seharusnya diam dan saya tidak menekan apapun, malah terdengar suara si mbak yang menelpon temannya dengan nyaring, atau suara tukang bakso yang lewat.
Tadinya saya mau menghubungkan diam
di 4’33 itu dengan teori Zen Buddhism, kemudian merasa bahwa saya belum
menemukan tools yang pas untuk menaklukkan
makanan saya.
Sebagai seorang yang pendiam, saya
tentu merindukan diam (gak nyambung). Tetapi sepertinya diam itu tidak ada. Sulit
sekali menemukan diam. Bahkan dalam ruangan yang senyap sekalipun, kita masih
mendengar sesuatu yaitu suara degup jantung kita sendiri. Terima kasih kepada telinga
yang berfungsi.
Betapa berisiknya dunia ini. Saya
sadar bahwa saya sensitif terhadap bunyi-bunyian. Saya juga agak tuli karena
bisingnya dunia sehingga kadang perlu bertanya ‘Apa?’ dan ‘Hah?’ pada yang
sedang mengajak saya bicara. Di tempat ramai seperti mall saya sering merasa
mengambang agak pusing mendengar berisiknya semua toko yang bersaingan
sekeras-kerasnya menggaungkan musik-musik hits masa kini, pop, kpop, melayu,
penyanyi yang disponsori restoran ayam, dst (industri musik sekarang penuh
penderitaan menurut saya, dan membuat saya menderita juga karena sulit
melarikan diri dari serangan musik tak terduga). Di jalanan tentu berisik suara
mobil, motor, bis, becak, bajaj, kereta, tukang parkir yang meniup peluit, suara
heboh dari mobil lewat yang memainkan lagu dugem misalnya, dst. Di dalam salah
satu dari kendaraan saya masih diganggu oleh suara mesin kendaraan tersebut,
atau musik dari radio yang tidak saya inginkan. Di dalam kendaraan umum saat
saya memilih menjejalkan telinga saya dengan headset, saya malah mendapati diri saya merasa makin runyam karena
harus memilih fokus antara dua macam suara; suara keras di telinga saya yang
menggaungkan Romanzen-nya Wagner atau suara samar-samar mengganggu dari
campuran suara kendaraan ditambah obrolan orang sekeliling.
Saya memikirkan anak-anak kecil
yang tumbuh pada masa kini, mereka menonton televisi yang berisik, bermain di
timezone yang berisik, game di komputer yang berisik, dan xbox yang berisik. Generasi
anak muda sekarang sepertinya baik-baik saja dengan keberisikan ini. Mungkin
mereka menganggap keberisikan ini sebagai sesuatu yang alamiah (angkat bahu).
Tapi tidak bagi saya dan jiwa tua saya yang rindu masa lampau, bertanya-tanya
apakah masa lampau lebih hening daripada masa kini? Kemudian sekali lagi merasa
salah zaman dan salah tempat, merasa bahwa harusnya saya hidup di Jerman di masa
transisi klasik ke romantik. Ah tapi zaman dulu perempuan masih menjadi sekedar
ornamen dan tidak diutamakan mendapat pendidikan. Ah feminisme toh tetap
ada sampai zaman sekarang karena problem tetap ada, namun bergeser tidak disitu
terus. Oke sepertinya saya melenceng.
Ketika diam menjadi sesuatu yang
langka dan sulit ditemukan bagi orang yang merindukan dan mencari diam, tentu
perekonomian menampakkan dirinya. Apakah harus ada produsen yang memproduksi
diam dan membandrolnya dengan harga yang tinggi? Diam kemudian menjadi komoditi
pula. Orang bisa ‘membeli diam’ dengan panel kedap suara, penyumbat telinga,
dan hal lain yang bisa menyelamatkan diri mereka dari suara berisik.
Di sisi lain, orang yang terbiasa
dengan keberisikan agak canggung dan takut pada diam dan menganggapnya sebagai
sesuatu yang mengerikan. Lift, rumah sakit, penjara, makam, dan alam bebas yang
cenderung lebih sunyi menjadi tempat yang mungkin mereka hindari.
Well, saya masih mencari tools yang pas untuk menaklukkan makanan
saya, dan harus menemukannya secepatnya sebelum saya kelaparan.