30 November 2012

Team Zizek

Tadinya sih saya sedang asik dengan teks Hobbes dan Locke, lalu kemudian tangan saya iseng meraih hp dan membaca pesan singkat didalamnya, yang membuat saya jadi tidak bisa fokus lagi dengan Leviathan dan Two Treatises of Government.

Well, pesan singkat yang tidak singkat, konyol tapi menjengkelkan itu cukup bikin saya kesal, dan mengingatkan saya lagi (saya sudah tau hal ini, cuma cepet lupa aja) bahwa tidak perlu ngasih duit ke pengemis, bodo amat mau diteriakin sama si pengemisnya kek (ada bocah pengemis dilampu merah yang gak saya kasih duit, dia teriak dengan bahasa sunda “Wooo geulis tapi koret!”). Masalahnya kadang belakangan ini saya agak sok murah hati dan lupa bahwa at some point, murah hati tidak pada tempatnya=kebodohan.

Jadi isi pesannya kira-kira ada manager perusahaan elektronik yang sedang ngantri makan di KFC, dengan heran dia negur pengemis yang juga ngantri makan didekatnya. Dari pertanyaan-pertanyaan itulah si manager tau bahwa si pengemis sudah makan 3 kali, tadi pagi habis merayakan ultah anaknya di McD bareng guru dan teman-temannya, istri dan anaknya barusan makan di Pizza Hut, setidaknya penghasilan dia mengemis tiap 60 detik dapat 2 ribu; 1 jam = 60 kali lampu merah, 60x2000=120.000/jam, kerja 9 jam/hari, dan setidaknya dapat penghasilan 28 juta/bulan. Si manager sendiri gajinya 15 juta/bulan, yang kemudian diledekin si pengemis bahwa dia kasihan sama si manager, karena banyak duit untuk kuliah sampai s2, karena kena omelan boss, karena kepikiran banyak kerjaan terus. FUUUUUUUU. Lalu saya googling dan menemukan fakta bahwa ada yang namanya kampung pengemis, bahwa kebanyakan mereka berasal dari Indramayu, bahwa mereka gembel di Jakarta, tapi di kampung halamannya rumah mereka megah dan mewah lengkap dengan kolam renang, bagi yang laki-laki, istri pun lebih dari satu. FUUUUUUUUU. Saya sebagai mahasiswi dengan duit pas-pasan yang sebelum akhir bulan duitnya udah surut pun kesal setengah mati. Itu seantero orang-orang kok bisa-bisanya sih dengan mudahnya memberikan duit mereka ke orang yang menadahkan tangan.

Dari duduk di depan laptop, saya jadi pindah duduk di depan meja makan, mengunyah-ngunyah sisa mie goreng makan malam sambil cerita-cerita kesel ke mama saya yang kebetulan sedang duduk disitu. “.................. Grrrr, iya Ma, pokoknya kita jangan lagi kasih duit deh ke pengemis”, juga dalam hati bertekad untuk tidak memberi duit ke pak ogah yang bertebaran tiap belokan jalan, juga pada tukang parkir yang bertebaran tiap meter, kalau perlu gak usah bawa kendaraan deh, jalan kaki, naik angkutan umum saja. Kalau ditotal-total, seharinya duit yang misalnya dipakai untuk dikasih tiap ketemu mereka bisa saya pakai untuk nambah saat makan siang. Kemudian mikir-mikir kalau yang bener-bener orang susah ya para tukang becak itu, yang dari zaman saya masih jajan anak mas sampai sekarang kok rasanya mereka masih pakai baju yang itu-itu juga, yang menunggu dan bergiliran mengantar penumpang yang rumahnya di blok sekian demi 5 ribu lalu mengayuh becaknya balik lagi ke pangkalan, ya tukang kerupuk, yang panas-panasan mengayuh sepedanya dengan jarak dari depok dua ke depok satu, demi 10 ribu per kaleng besar, ya tukang sol sepatu yang jalan kaki dari komplek ke komplek demi 5 ribu persepatu, itu juga kalau ada yang memanggil, ya kakek-kakek yang di zaman margo city ini masih mendorong gerobaknya yang berisi gesper dan golok keliling komplek; mereka yang meskipun memiliki keterbatasan dan rintangan, tapi dignity tingginya menghalangi mereka untuk hanya menadahkan tangan. Jadi kalau sedang mau berbaik hati melakukan charity kecil ya berbaik hatilah pada mereka-mereka ini.

Kemudian ujung-ujungnya jadi ingat sama Zizek, Zizek pasti ngomelin dan ngetawain saya, mungkin mirip seperti kalau saya membayangkan dia terkekeh di depan muka saya kalau tetiba menyesap caramel macchiato di Starbucks, atau kalau saya nyasar beli lip butter di body shop, yang katanya kedua mega brand ini menyisihkan sekian persen di tiap produk yang kita beli dengan harga mahalnya untuk charity, dengan foto dan kata-kata yang menggugah meyakinkan kita bahwa saat kita meneguk kopi, ada petani kopi yang tertolong, saat kita mengoleskan krim di bibir ada petani cherry yang tertolong. Donasi tidak membuat keadaan buruk menjadi lebih baik, justru malah memperlama keadaan yang buruk. Ibaratnya ada orang yang sakit parah dan sudah ingin banget mati supaya tidak menderita lagi, malah dikasih bantuan yang memperlama hidupnya. “We should let people starve and die from disease so that they take up arms sooner rather than later”, he said. Ih om Zizek jahat, gak bermoral, pasti kalian mau bilang begitu. Justru Zizek bilang bahwa donasi itulah yang gak bermoral, “I’m not against charity, in an abstract sense, it’s better than nothing, but be aware that there is elements of hypocrisy there”. Solusinya bukan pada donasi yang disukai oleh masyarakat modern yang hatinya mudah tersentuh oleh penderitaan, tapi “The real aim is to try and reconstruct society on such basis that poverty will be impossible”. Oh yeah.. Poetic banget.