20 December 2016

Mimetic-Mimicry-Conformity









"Caillois, regards mimesis as a perennial instinct of all life forms, one that does not essentially differ in insects, animals, and in humans. In ‘Mimicry and Legendary Psychasthenia’ (1935), he seeks to explain the strange fact that many insect species have evolved to mimic their surroundings. Although most studies of this phenomenon see mimicry as an offensive or defensive adaptation, a way of surprising prey or tricking predators, Caillois approaches it as part of a more primal relationship between the organism and its surroundings. As Caillois notes, some examples of mimicry lack obvious advantages for survival. Many of the predators from whom mimetic insects try to hide hunt by smell and not by sight, so visual mimicry does not provide much protection from them. Other mimetic adaptations do not seem to be functional at all. Some mimetic species are inedible and therefore have nothing to fear from predators. In other cases mimesis is even suicidal, as with certain insects that forage among the leaves they imitate and can mistakenly eat others of their own species." (in Potolsky, 2006: 142).

14 October 2016

TESIS

Saya menggunakan huruf besar semua pada kata tesis karena sedang tersadar dan kaget bahwa sekarang sudah hampir tengah Oktober. Semester yang berlangsung sudah dimulai sejak bulan September dan saya merasa belum membuat kemajuan berarti terkait dengan tesis. 

Hal-hal yang terjadi belakangan seperti pernikahan, penyesuaian dengan status dan situasi baru sebagai konsekuensi menikah, menulis untuk riset, menjadi wakil kepala divisi piano klasik, menjadi host untuk bedah buku kekayaan negara dari program kesejahteraan sosial yang sama sekali berbeda dengan bidang yang saya tekuni (yang meskipun dalam proses mempelajari dan mengalaminya saya agak menderita seperti ikan yang diminta memanjat pohon, dengan pengalaman tersebut saya merasa diingatkan bahwa pertama, memperluas horizon dengan terlibat dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan itu hal baik yang bisa membuat kita tetap membumi dan melihat bahwa ada hal-hal penting lain di luar sana yang dekat sekali dengan kita, kedua, pengetahuan kita sebagai manusia sangat-sangat terbatas dan kita tak akan bisa memahami semuanya, ketiga, setiap orang seharusnya memang memiliki fokus dan kepakaran fokus masing-masing dan seharusnya saling menghargai satu sama lain) kata-kata dalam kurung terlalu panjang sampai saya lupa sampai mana. 

Hal-hal yang terjadi belakangan dari yang bisa saya sebutkan disini hingga yang tidak bisa saya sebutkan disini yang memicu berbagai emosi hingga mendekati kegilaan dan depresi, agak mengalihkan fokus saya bahwa tesis ini sangat penting supaya saya bisa lulus tentunya (sebenarnya membaca dan menulis untuk riset juga sangat membantu mengetahui arah penulisan tesis, tetapi ironisnya seperti musik atonal, semakin jelas aturannya, semakin kacau kedengarannya). Dua semester lalu, waktu bercakap-cakap dengan teman-teman sekelas yang sedang pada ngeri membayangkan situasi tesis, saya menyemangati dan berkata "Kita pasti lebih mudah menulis tesis karena sudah terbiasa menulis paper-paper hampir tiap minggunya (kurang tidur dan pegal-pegal itu biasa)." Kenyataannya, secara manusiawi, optimisme saya mengalami pasang surut. 

Sejak kemarin, karena deadline makin dekat (kami diharapkan menyelesaikan tesis tengah November karena semester dengan bulan Desember dan Januari adalah semester yang berisiko banyak libur asyik) saya merasa ngeri dan terpicu untuk membaca dan menulis dengan pantas selayaknya orang serius yang sedang tesis. Dalam prosesnya, saya teringat perkataan dari pembimbing skripsi saya yang baik hati dan punya kebajikan sebagai dosen filsafat (pak Harsa, yang sekarang adalah pembimbing tesis saya juga), di sela apresiasi dan kritik terhadap upaya saya di acara bedah buku saya dulu, beliau pernah berkata juga bahwa nanti kalau saya sudah lebih dewasa (nampaknya secara pemikiran), saya akan berubah pandangan atas pernyataan-pernyataan dalam skripsi saya. Dan beliau betul. Entah saya lebih dewasa atau apa, tesis saya dapat dikatakan sebagai entah pelengkap atau pembantah skripsi saya. Tetapi meskipun sudah usang, skripsi saya masih berguna dan tanpanya saya tidak akan melakukan lompatan dan perubahan pemikiran. Saya hanya bisa selalu setuju pada Heraclitus, yang abadi memang hanya perubahan.

13 October 2016

Entah Judul Apa

Jangankan level diskusi, pembicaraan saja tidak akan jalan dengan adanya otoritas represif.

Otoritas represif yang menyenangi segala hal yang hirarkis hanya menjinakkan pikiran lain supaya tunduk dan menurut dengan pandangan sempitnya. Hasilnya kalimat-kalimat yang muncul berbentuk sirkular saja, demi mengamini. Hasilnya potensi untuk berpikir kritis dipadamkan. Hasilnya orang terbiasa menjadi dogmatis. Tidak akan ada komunikasi tulus ataupun diskusi mulus, yang ada hanya basa-basi. 

Lalu orang-orang yang tidak sadar bernaung hanya dalam lingkup pandangan sempit itu akan kelabakan dan kesusahan bila menghadapi masalah yang beragam dalam hidup. 

Bahkan pelukis tidak cukup menggunakan tangan dan jari untuk berkarya, ia harus punya beragam pengetahuan, pengalaman, dan kuas favoritnya supaya karyanya bermutu. 

Untuk orang-orang yang terjebak dengan hanya penampakan di dunia, mereka tidak akan repot dan terganggu untuk berpikir "Apa yang ada di balik penampakan itu?" Bagaikan manusia-manusia gua yang dirantai dan terjebak dengan kegelapannya, dunia bayangan dari kenyataan di luar adalah satu-satunya kebenaran bagi mereka. Ketika ditunjukkan bahwa kebenaran tidaklah seperti bayangan mereka, mereka mengamuk, berteriak, dan menganggap orang itu gila. 

Untuk yang terjebak di dunia penampakan dan kesulitan berpikir abstrak, mereka tidak akan bisa menarik abstraksi di kehidupan keseharian, misalnya saja memilih dua politisi yang buruk seperti buah yang busuk. Ketika disuruh memilih, mereka akan dengan senang hati memilih salah satunya, berdasarkan citra yang mereka senangi, supaya disebut bermasyarakat. Mereka tidak akan berpikir sampai "Untuk apa memilih dua buah yang sama-sama busuk?" dan bahwa tidak memilih juga merupakan suatu pilihan dalam bermasyarakat. Mereka tidak akan bisa membedakan antara membicarakan orang dengan tujuan baik dan membicarakan orang dengan tujuan buruk, bahkan mereka tidak menyadari bahwa membicarakan orang adalah salah satu hal yang kadang tidak dapat dihindarkan. Membicarakan kondisi seseorang yang mengalami permasalahan dengan keluarganya karena peduli pada dampaknya atas dirinya dan performa kerjanya jelas berbeda dengan membicarakan seseorang karena hasrat bergosip. Mereka juga memahami kata bijak "Jangan mencampuri urusan orang lain" dengan literal, hingga menghiraukan istri atau anak tetangga mereka yang sering lebam dan bersedih karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain hingga tak peduli, dan lama kelamaan jadi tidak pedulian lalu mengatasnamakan kata bijak tersebut.

Mereka juga akan hobi menonton berita dan membaca koran, tapi tanpa mengetahui dan mengkritisi bahwa semua berita tersebut dimiliki oleh orang atau kelompok orang yang berkuasa dengan memiliki agenda tertentu. Segala berita berlalu bagaikan hiburan yang seru. Di waktu luang, sesuai ajaran dan didikan masyarakat kapitalis, mereka tidak akan susah-susah membaca buku serius, mendengar musik serius, mengapresiasi karya-karya serius, justru kebalikannya.

Entah saya mau bicara apa, tapi saya ingin menjaga pikiran dan akal sehat saya.

13 September 2016

The Irony of Anthropocentrism and The Religious Celebration

“Let man human have dominion over the fish of the sea, and over the fowl of the air, and over the cattle, and over all the earth, and over every creeping thing that creepeth upon the earth."

26 August 2016

(Salah Satu) Doa Sore

Semoga saya tidak menjadi orang yang berpikiran sempit.
Semoga saya tidak menjadi orang yang congkak.
Semoga saya tidak menjadi orang yang merasa paling benar dan paling mulia.
Semoga saya tidak menjadi orang yang merasa paling suci.
Semoga saya tidak menjadi orang yang hobi menyindir sana-sini seenaknya.
Semoga saya tidak menjadi orang yang senang mempermalukan orang lain di depan umum.
Semoga saya dan semua keturunan saya terhindar dari segala keburukan itu, dan semoga kami dapat membela diri bila berhadapan dengan segala keburukan itu.

Semoga saya menjadi orang yang berpikiran terbuka.
Semoga saya menjadi orang yang rendah hati.
Semoga saya menjadi orang yang merasa terus perlu belajar dan memperbaiki diri.
Semoga saya menjadi orang yang terus berinstrospeksi.
Semoga saya menjadi orang yang peka dan berhati-hati.
Semoga saya menjadi orang yang mampu menahan diri dan menjaga kehormatan orang lain.
Semoga saya dan semua keturunan saya mendekati kepada segala kebaikan itu.


24 August 2016

Wajah-Wajah Pantai-Pantai Bali

"The world is already there, it would be senseless just to repeat it", said a critic to an impressionist painter in a soiree.











Bali 2014-2016, from a trip to a honeymoon, all photos were taken by me with my phone.





12 July 2016

Buku Saya Pernah Ikut Frankfurt Book Fair (dan Semoga Bisa Menerbitkan Buku Lagi dan Ikut Lagi)

Setelah waktu berlalu, data diri saya kemudian banyak berubah, mengingatkan bahwa perubahan adalah satu-satunya hal yang tetap.

15 June 2016

Ingat Bukan Hapal

Hapal adalah kata yang saya tidak suka, tetapi kata tersebut banyak ditemui dalam percakapan sehari-hari. Misalnya:
"Sudah hapal (...)?"
"Wah, saya gak hapal (...)"
Tidak mengherankan sih, karena sejak sekolah dasar, sistem pendidikan di Indonesia lebih peduli pada hapalan, bukan pada pemahaman, dan pada prakteknya memang nampak memberlangsungkannya, lihat saja dari banyaknya materi kurikulum yang setengah mati dipadatkan untuk satu semester dan bentuk-bentuk ujiannya. Hapal menjadi jalan pintas untuk menghadapinya. Praktek sistem agama mayoritas pun begitu, kebanyakan mengutamakan untuk hapal ayat-ayat dan ritual lalu bangga karenanya, bukan bangga karena mencoba memahami ajaran fundamentalnya yang memiliki nilai moral mulia dan damai.
Banyak yang mengira bahwa akademisi rumpun ilmu sosial dan humaniora itu kerjanya menghapal dan jago menghapal.
Banyak yang mengira bahwa pianis yang bermain tanpa partitur itu kerjanya menghapal dan jago menghapal.
Padahal tidak seperti itu.
Dua-duanya membutuhkan proses pembelajaran, bukan untuk menghapal, tetapi memahami. Memahami konsep, struktur, perspektif, konteks, dsb, secara detail, lalu mengintegrasikannya agar mendapat kedalaman pemahaman. 
Saya lebih suka kata mengingat yang lebih dekat dengan yang aktif dan mendalam, bukan kata menghapal yang lebih dekat dengan yang pasif dan sekedar kompulsif namun dangkal. 
Bagi saya, memahami adalah tujuan, sedangkan mengingat hanya merupakan konsekuensi sampingan dari tujuan utamanya. 
Tapi, mengingat juga lekat dengan melupakan.
Jadi kalau sering dengar saya berkata, 
"Wah, saya gak ingat," atau 
"Wah, saya lupa,"
Harap maklum.


19 May 2016

Time Poverty for Polyamory/ Succulent Pieces

Saya punya banyak cinta, salah satunya untuk musik dan filsafat. (Polyamory disini maksudnya cinta pada banyak hal di saat bersamaan, hehe). Saya tahu dua-duanya membutuhkan banyak waktu, yang satu menuntut untuk latihan, yang satu menuntut untuk membaca, dan dua-duanya membutuhkan analisa lebih lanjut. Saya mengajar piano sejak saya berkuliah program sarjana, lalu sempat kerja kantoran setelah lulus, lalu kembali mengajar piano sembari melanjutkan kuliah program magister. Sejauh ini, saya tidak banyak bertemu orang yang mau menekuni dua bidang seperti saya. Tapi, saya tahu ada juga orang-orang seperti saya, yang kadang merasa menderita karena cinta, haha.

Untuk kepakaran tinggi, belakangan saya memahami dan mengakui bahwa seseorang yang belajar instrumen musik tertentu sejak kecil ketika menyelesaikan sekolah dan akan berkuliah sebaiknya mengambil kuliah musik juga. Hal itu akan mempermudah segalanya. Ia dapat melanjutkan pendidikan musik dengan lebih mendalam hingga lebih memungkinkan untuk mencapai kepakaran di bidang musik. Ia punya waktu yang sesuai dan searah yang digunakan untuk latihan instrumen musik sekaligus belajar mata kuliahnya. Ia juga punya waktu luang untuk beristirahat dan bersosialisasi.

Bila terlanjur seperti saya yang terombang-ambing di antara musik dan filsafat (atau bidang-bidang lainnya), harus terima konsekuensi bahwa waktu tidak akan mencukupi untuk mencapai kepakaran tingkat dewi di dua-duanya. Tapi itu tidak berarti kita menyerah begitu saja, karena kalau cinta pasti mau terus berusaha kan? Memang kita mesti banyak mengorbankan hal-hal lain misalnya kehidupan sosial untuk mendapat waktu agak lebih yang bisa kita bagi untuk minat-minat kita itu, atau istirahat dari minat-minat kita itu.

Bila dulu saya bisa berlatih beberapa jam rutin tiap hari, sekarang berlatih beberapa jam seminggu tiga kali saja saya sudah merasa bersyukur. Kadang saya merasa berkarat karena kurangnya latihan. Di sisi lain ketika belajar filsafat, saya merasa berkarat juga karena kurangnya membaca. Kadang ketika belajar filsafat saya malah terpikir bunyi, notasi, dan masalah musik, sebaliknya ketika berlatih piano saya malah terpikir gagasan atau masalah filosofis. Otak memang bisa bandel begitu.

Ingat film The Pianist (salah satu film bertema Holocaust dan Perang Dunia II yang sangat menggugah emosi itu) di adegan Szpilman yang memainkan Ballade no.1  in G Minor Chopin? Karya itu sangat menarik, langsung memikat dari awal, sangat menggugah emosi, dan memuaskan pendengaran juga pikiran. Bagian awal karya itu sederhana lalu bertahap makin sulit hingga sangat sulit. Tanpa bermaksud mencela karena saya tahu adegan itu sangat penting untuk keseluruhan film dan menyentuh hati penonton, menurut saya adegan itu tidak realistis karena berbulan-bulan atau setahun tanpa mampu latihan fisik (latihan mental masih memungkinkan) seseorang tidak akan mampu memainkan karya yang begitu sulit dengan sebagus itu dari awal hingga akhir. Sama seperti seorang atlet lari tidak akan bisa langsung maraton sedemikian jauhnya bila ia tidak berlatih selama berbulan-bulan atau setahun lamanya. 

Jalan tengah untuk tetap menekuni bidang musik bagi saya adalah dengan memelihara karya-karya yang saya sebut sebagai Succulent Pieces (sok buat istilah sendiri).

Seperti tanaman succulent yang indah tapi tidak banyak menuntut air, asalkan cukup sinar matahari, dan disayangi, Succulent Pieces juga seperti itu. Indah dan tidak banyak menuntut. Memang bila meninggalkannya, tetap juga perlu waktu untuk berlatih dan mengingat kembali, tapi tentunya berada dalam tingkat masih bisa ditangani di jadwal yang padat. Menurut saya, Succulent Pieces bagi tiap orang tentu berbeda, sesuai tingkat dan kemampuan (yang terus berubah, entah membaik atau memburuk). Singkatnya, Succulent Pieces itu berada di bawah tingkat dan kemampuan sesungguhnya (seperti bahan-bahan ujian instrumen musik yang biasanya setingkat lebih mudah daripada tingkat sesungguhnya). Saya sendiri memelihara Waltzes dari Chopin, Brahms, dan Schumann, Nocturnes dari Chopin dan Grieg, Sonatas dari Haydn dan Mozart, dan beberapa karya  Bach, Debussy, dll.

My love for succulent and Succulent Pieces 
(saya berencana segera memelihara dan berkebun tanaman ini)







25 March 2016

Pikiran Kecil Tentang Perekonomian

Daripada memberikan uangmu ke perusahaan-perusahaan makanan besar yang para pemiliknya bahkan sangat jauh lebih kaya darimu, mengapa tidak memberikan uangmu ke para pedagang kecil dan sedikit membantu mensejahterakan mereka?

Setiap hari, kita pasti berjumpa atau melewati orang-orang yang tetap bekerja keras walaupun upah yang mereka dapatkan atas pekerjaan mereka tidak seberapa. Saya kadang melihat bapak-bapak yang rajin menyapu jalanan besar, berpapasan di pagi hari dan siang hari, di hari kerja dan di tanggal merah, sepertinya tidak ada hari libur untuk dia. Saya juga kadang melihat bapak-bapak yang rajin mengayuh sepedanya menjual kerupuk, berpapasan di pagi hari di komplek rumah saya dan di siang hari di dekat terminal, bayangkan seberapa jauh jarak yang dia tempuh dengan sepedanya, untuk mencari nafkah. Saya kadang melihat ibu-ibu yang rajin mengayuh sepedanya untuk berjualan sayur, bayangkan seberapa jauh juga jarak yang dia tempuh dan beban yang ia kayuh dengan sepedanya.  Apa yang biasanya kalian rasakan bila berjumpa dengan mereka? Sedih? Kasihan? Atau cuek saja? 

Bila diekspresikan dengan kata, saya biasanya merasa sedih, bukan kasihan seperti pilihan kata yang umum. Kadang emosi kita membingungkan dan bisa jadi sebetulnya terbelit; ada banyak yang sebetulnya kita rasakan sekaligus seperti merasakan ketidakadilan, ketidaksamarataan, kebingungan, dan ketidakberdayaaan.

Saya pernah dapat pandangan lain yang bisa jadi plot twist untuk perasaan-perasaan berkaitan dengan kasihan. Bila kita merasa kasihan melihat orang-orang itu, bisa jadi kita menganggap diri kita lebih tinggi dibanding mereka. Kita justru harus melihat semangat mereka untuk tetap mau bekerja bukannya jadi peminta. Hal itu tidak sepenuhnya benar, tapi mungkin ada benarnya juga. Dipikir-pikir, setiap orang itu sebetulnya bergulat dan terlibat dengan kehidupan dan masalah mereka masing-masing. Tidak ada orang yang tidak punya masalah. Semuanya punya masalah berbeda dan menyelesaikan dengan cara berbeda. Tidak ada orang dengan tujuan hidup yang persis sama, tidak ada orang dengan jalan hidup yang sama.

Kembali lagi pada perjumpaan dengan para pekerja keras tapi belum beruntung secara ekonomi itu. Merasa sedih? Kasihan? Itu artinya kalian masih punya perasaan. Tidak merasakan apa-apa? Wah itu gawat, sepertinya malah kalian yang butuh bantuan. Tapi, misalnya ada rasa kasihan, hal itu saja tidak akan berdampak apapun pada mereka. Kita bisa lihat semangat mereka dan sedikit menyenangkan hati dan membantu mereka dengan melariskan dagangan mereka kan? Atau apapun hal lain yang kita bisa lakukan. Walaupun ada yang menganggap bahwa hal seperti itu seperti donasi, yang dilakukan berangkat dari kepentingan kita sendiri misalnya supaya kita tidak lagi sedih dan merasa senang karena sudah membantu, saya rasa anggapan itu terlalu sinis dan negatif. Bila ada manfaatnya, mengapa tidak? Saya rasa masalah sosial seperti itu bukan hanya tanggung jawab negara, tapi tanggung jawab sesama manusia (lagipula banyak hal yang tidak bisa ditangani negara, kan). Saya juga tahu bahwa jauh lebih baik memperbaiki permasalahan di akar penyebabnya dan mencegahnya daripada hanya mengobatinya. Tapi kita selalu berhadapan dengan yang kita hadapi, bukan?

Para ahli ekonomi bahkan mengatakan bahwa masalah kemiskinan itu adalah sesuatu yang kompleks. Amartya Sen misalnya mengatakan ada faktor-faktor geografis, biologis, dan sosial yang berpengaruh pada pendapatan individual. Yang miskin biasanya memiliki kekurangan unsur pendidikan, akses lahan, kesehatan dan umur yang panjang, keadilan, dukungan keluarga dan komunitas, sumber-sumber produksi dan kredit, suara dalam institusi, dan akses untuk kesempatan lain. Miskin tidak  hanya berarti hidup di bawah garis kemiskinan, menurut Sen batasnya tidak jelas dan secara umum artinya memiliki tingkat pendapatan yang tidak memungkinkan seorang individu untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu, dengan mempertimbangkan keadaan dan kebutuhan sosial pada lingkungan bersangkutan.

Solusi untuk mensejahterakan masyarakat dan warga negara bukan sesuatu yang sederhana dan instan, malainkan kompleks dan butuh waktu lama. Negara yang jumlah penduduknya sangat banyak sementara lapangan pekerjaan tidak sebanyak itu mungkin memberlakukan kebijakan membatasi jumlah anak dari pernikahan, tapi dalam jangka panjang, mereka malah mengalami kekurangan penduduk dan tenaga kerja di saat lapangan kerja berkembang banyak, hasilnya adalah krisis ekonomi. Negara yang makmur sehingga bisa menunjang pengangguran dengan gaji dan rumah, bisa bangkrut juga bila tadinya perusahaan-perusahaan mereka berkembang pesat hingga butuh tenaga kerja dari luar lalu terkena krisis ekonomi dan banyak pengangguran yang ditunjang. 

Lebih lanjut, ini hasil ngobrol dengan pacar saya juga, dengan perkembangan teknologi dan informasi, sekarang ada tren sharing economy yang cukup membuat chaos di beberapa negara. Di masa depan mungkin sekali ada tren menggunakan robot saja untuk mengganti semua tenaga kerja manusia yang membuat chaos secara global, hasilnya adalah pengangguran dimana-mana. Tapi bisa saja ada yang berinisiatif untuk membagi keuntungan ekonomi sehingga orang-orang tidak perlu bekerja lagi untuk bisa punya penghasilan. Ada dua kemungkinan orang-orang setelah itu: 1) orang-orang yang merasa tidak perlu sekolah dan belajar lagi, tidak perlu melakukan apa-apa lagi, ini biasanya dilakukan orang-orang yang punya mental sekolah dan kuliah untuk cari uang bukan cari ilmu, yang sukanya bertanya "Kuliah filsafat mau kerja jadi apa?" dan 2) orang-orang yang justru merasa bebas untuk melakukan dan mempelajari apapun sesuai hasrat mereka dan sesuai potensi mereka, orang-orang ini jadi agen penting untuk kemajuan peradaban dan kebudayaan.

8 March 2016

Salah Satu Penyesalan Belakangan

Salah satu penyesalan bulanan, mingguan, atau malah keseharian yang saya dan mungkin banyak orang muda lainnya alami adalah mengkhianati pikiran, pengetahuan, pengalaman, dan perasaan diri sendiri yang padahal diperoleh dengan proses tidak selalu mudah dan  dengan susah payah, hanya demi menyenangkan lawan bicara (ironisnya, seringkali yang berusaha disenangkan adalah orang yang tidak menyenangkan, saya juga heran kenapa kita perlu repot-repot demikian, tapi sebagai makhluk sosial yang waktu kecil diajarkan berbagai norma yang absurd, kita kadang sulit juga untuk melupakan norma kesopanan dan basa-basi itu lalu kita malah lupa untuk bersikap kritis karena terhambat norma-norma dan hal absurd itu). 

Dalam keseharian, kita tidak selalu menemukan lawan bicara ysng menyenangkan untuk kita, yang benar-benar tahu apa itu dialog bukan menghayati dan mendominasi dengan monolog, yang penasaran sehingga ingin bertanya tapi juga rendah hati untuk mendengar, yang paham bahwa tidak ada kaitan antara kebijaksanaan, tingkatan, dan kedalaman pengetahuan mengenai bidang-bidang tertentu dan mengenai kehidupan dengan seberapa tua usia, dan seterusnya. Bila sedang beruntung tentu senang sekali bertemu orang-orang seperti itu. Tapi sialnya, dalam keseharian justru seringnya kita malah bertemu dengan orang-orang yang berkebalikan dari segala kriteria tersebut, lalu kita sering putus asa, enggan, dan sengaja mengalah demi menghindari perdebatan karena kita tahu orang-orang itu malah akan menganggapnya sebagai konflik. Bentuk mengalah itu antara lain menggumam, mengangguk, mengiyakan sesekali, menguap, atau pura-pura tidur hingga tertidur. Orang yang sehat pikiran dan perasaannya pasti bisa membedakan dialog macam apa atau monolog macam apa yang sedang berlangsung.

Di lingkungan akademis, setiap pendapat, kritik, saran, dan perdebatan adalah hal yang biasa yang justru membantu lahirnya pengetahuan baru dan memperluas wawasan. Bahkan secara umum, segala kemajuan filsafat dan ilmu pengetahuan tidak akan ada bila seseorang hanya terjebak dalam pikiran sempitnya, tidak mau dan tidak mampu berdialog, menerima pandangan lain, kritik, dan saran. Secara metafora seperti gaya bahasa yang umum ditemukan pada kitab suci apapun itu, seorang yang seperti itu kepalanya akan membesar seperti balon dan mulutnya akan terus bicara mirip rekaman rusak yang terus mengulang-ngulang bahan usang dari kotak pikiran sempitnya. 

Tapi seberapa sering kita berada di lingkungan yang sehat secara akademis, ilmiah, dan filosofis? Seberapa sering kita berada di lingkungan yang tidak menunjang? Bagaimana agar semakin cakap dalam menempatkan diri di dua lingkungan berbeda itu dan tidak tertukar dalam bersikap? Bagaimana agar terus ingat untuk tidak mengkhianati diri?

2 January 2016

Pemujaan Gelar

Untuk keperluan kuliah, setiap kali saya membaca buku terjemahan bahasa Inggris biasanya buku yang saya baca adalah buku filsafat dari filsuf-filsuf Jerman atau Perancis. Kadang saya mengalami yang namanya lost in translation, sebab dalam mencoba memahami dan menafsirkan, tentunya saya menerjemahkan juga bacaan dari bahasa Inggris, yang tadinya berasal dari bahasa Jerman atau Perancis, kadang ada istilah dari bahasa Yunani atau Latin, kadang pula ada istilah-istilah yang diciptakan oleh para filsufnya sendiri yang bahkan tidak ada terjemahannya dalam bahasa mereka. Bagi saya itu adalah hal yang seru. 

Saat termenung atau pusing dengan bacaan, saya kadang melakukan hal-hal tidak penting untuk mengatasi kebosanan, misalnya dengan mengecek kucing-kucing di Neko Atsume atau mencari tahu siapa orang luar biasa yang bisa menerjemahkan tulisan ajaib seperti itu. Setelah saya mencari nama mereka di google, biasanya para penerjemah itu adalah para profesor atau doktor dari Inggris atau Amerika. Gelar akademik mereka tentu membanggakan, tetapi mereka tidak memajangnya pada buku yang mereka terjemahkan. Jangankan mereka para profesor, para filsuf dengan gelar profesor atau pujian-pujian akademis dan kemanusiaan yang membanggakan sekalipun tidak pernah memajangnya pada buku-buku yang mereka tulis.

Nama mereka justru lebih besar dari rentetan gelar yang mengikuti nama mereka.

Amat sangat berbeda dengan di Indonesia, tiap kali ada profesor atau dosen yang menerbitkan buku, mereka akan memajang gelar-gelar di buku mereka. Itu masih lebih baik sih menurut saya, lagipula peletakkan gelar adalah hal biasa di dunia akademis dan masih ada gunanya. Yang lucu bagi saya adalah melihat rentetan gelar pada selembar undangan pernikahan. Gelar menandakan pendidikan sarjana, magister, naik haji (yang kalau anda belum tahu gelar haji dan hajah itu adalah warisan dari kolonialisme Belanda untuk mengawasi tindakan orang-orang yang telah ibadah haji). Kalau saya sudah kenal orangnya tentu saya sudah tahu apa saja kegiatan mereka, maka gelar-gelar itu tidak penting dan tidak relevan lagi. Tapi kalau saya tidak kenal orangnya, misalnya undangan pernikahannya ditujukan pada ibu saya, saya kadang terheran-heran juga bagaimana saya tidak pernah mendengar orang dengan rentetan gelar panjang dan dashyat begitu, bagaimana saya tidak tahu apa saja yang ia lakukan. Pertanyaan yang selalu melintas adalah: apa pentingnya sih gelar-gelar itu? Memangnya siapa yang peduli?

1 January 2016

Hey 2016

To get one thing that we like, we usually have to give up another thing that we like. Making decisions requires trading off one goal against another. 

Di kelas filsafat ekonomi beberapa tahun lalu, saya berkenalan dengan prinsip ekonomi seperti itu dan sangat setuju dengan TINSTAAFL atau “There is no such thing as a free lunch.” 

Di dunia ini tidak ada hal yang gratis. Selama pendidikan magister ini saya sempat merasa jenuh dan frustrasi dengan begitu banyak tugas yang harus dikerjakan dan begitu banyak waktu yang harus dihabiskan untuk sekedar memikirkan maupun benar-benar mengerjakan tugas-tugas itu. Sebenarnya ada banyak sekali hal yang saya sukai dan ingin lakukan tetapi tidak bisa karena harus mengorbankannya demi prioritas saat ini. Selalu ada 24 jam untuk setiap orang, tetapi 24 jam itu selalu digunakan berbeda oleh setiap orang. Beberapa orang akan melalui hari tanpa beban pikiran dan kerjaan yang berarti dan 24 jam itu cukup atau mungkin kelebihan bagi mereka, sementara beberapa orang lainnya akan melalui hari dengan beban pikiran dan kerjaan yang banyak sehingga 24 jam itu terasa tidak cukup bagi mereka, hal yang belakangan dapat disebut time poverty, agaknya.
  
Saya misalnya harus mengorbankan kehidupan sosial saya yang sedikit namun berharga, saya harus mengorbankan waktu bersenang-senang dan bersantai, saya harus mengorbankan bahkan kesenangan saya membaca yang entah mengapa berkurang terus selama mengerjakan tugas-tugas. Saya harus mengorbankan memutuskan berhenti dari belajar piano lagi di konservatori karena selain perjalanan pulang-perginya bisa memakan waktu hingga 6 jam bila macet parah, saya juga tidak dapat berlatih cukup baik (karena semangat mengerjakan tugas kuliah), dan kalaupun saya berhasil menyempatkan berlatih dengan cukup baik (tapi mengerjakan tugas kuliah sekedarnya), setelah menyetir beberapa jam, sesampainya disana jari-jari saya kaku dan tidak bisa menunjukkan hasil latihan saya dengan baik, dan sepulang dari kemacetan itu saya bisa hibernasi hingga besoknya terlambat masuk kuliah pagi. Sia-sia saja bila saya melanjutkan hal yang saat ini tidak efektif. Saya juga harus memutuskan terus mengurangi jam mengajar piano karena mengajar itu melelahkan pikiran juga (apalagi kalau muridnya enggan belajar layaknya tipikal murid tempat les pada umumnya) dan saya juga butuh waktunya yang saya rasa bisa saya gunakan dengan lebih bermanfaat daripada di tempat les.

Saya pernah ditanya, “Apakah kamu bermain/belajar alat musik lain? Gitar? Biola? Drum?”. Saya jawab, “tidak”. Pertanyaan tersebut tentu fleksibel, bisa diganti dengan variabel lain asalkan maksudnya sama. Saya tidak menjelaskan alasannya karena kebiasaan saya yang tak suka berbicara banyak. Ini adalah kebiasaan yang kadang juga merugikan diri saya karena kecenderungan itu membuat saya baru terpikir lebih dalam saat-saat berikutnya dan ketika saya menemukan kalimatnya tentu percakapan itu sudah tidak ada disana. Alasannya adalah setidaknya untuk saat ini selain karena saya tidak punya kemewahan waktu karena bagi saya kegiatan saya sudah cukup banyak tanpa harus merasa membebani diri lagi. Saya selalu memikirkan tujuan dari segala sesuatu maupun apa yang akan saya lakukan (pernah ada yang menjuluki saya pragmatis dengan nada peyoratif, tapi saya rasa yang lebih tepat justru teleologis(?)). Jadi apa tujuannya melakukan semua itu? Untuk sekedar bersenang-senang atau mencapai keahlian? Bila untuk bersenang-senang, saya bisa menundanya sampai saya punya waktu luang yang banyak. Bila untuk mencapai keahlian..

Dari pengalaman saya dengan orang-orang yang saya temui, dari apa yang saya ketahui selama ini umumnya seseorang tidak akan bisa dengan serius mengerjakan begitu banyak hal sekaligus dan mencapai keahlian hingga menguasai segala bidangnya. Beethoven, Van Gogh, Einstein, Nabokov, Richter, Murakami, Heidegger, misalnya adalah contoh-contoh sesuai. Jadi seseorang bisa saja mengerjakan begitu banyak hal misalnya A belajar biola, suling, timpani, menulis, melukis, bernyanyi, belajar kedokteran, panjat gunung, berenang, tapi A hanya akan menjalankan semuanya dengan kemampuan rata-rata. Bagi yang membenci mediocrity, tentu hal ini sangat tidak menarik. 

Walaupun demikian, ada juga orang yang tidak umum, saya belum sempat bertemu dengan orang-orang macam ini. Mereka adalah orang yang bisa mengerjakan begitu banyak hal sekaligus dan mencapai keahlian hingga menguasai segala bidangnya. Plato, Aristoteles, Da Vinci, Descartes, Leibniz, Adorno, misalnya adalah contoh-contoh sesuai. Kim Kardashian dan Kanye West juga mungkin contoh yang sesuai walaupun tidak dapat dibandingkan dengan enam orang sebelumnya. Dari contoh ini A bisa saja mengerjakan begitu banyak hal dari belajar biola hingga berenang dan sukses di semua bidangnya. Tentu mereka sangat spesial dan bisa menjadi inspirasi bahwa hal itu masih memungkinkan. 

Bagaimanapun juga, semua orang pasti memiliki prioritas untuk menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Prioritas saya saat ini adalah kuliah dengan tujuan menyelesaikan pendidikan magister dengan baik. Segala hal yang saya sukai yang saya korbankan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, tapi tentunya saya juga mendapat hal yang saya sukai lainnya. Di balik tingkah laku sistematis, punggung yang pegal, wajah yang dekil dan ekspresi yang sering datar atau malah terlalu ekspresif, ada saat-saat dimana saya mengalami braingasm, pencerahan di pikiran dan di perasaan saya, pengetahuan baru, kekayaan perspektif, petunjuk untuk kebijaksanaan, perasaan aneh bahwa saya tidak tahu mengetahui apa-apa setiap saya mendalami suatu konsep, dan seterusnya. Saya tahu (atau yakin?) dengan pendidikan ini saya sedang menuju perubahan untuk kebaikan diri saya, dan semoga saya bisa berbagi kebaikan itu agar berguna untuk orang-orang lainnya.

Selamat tahun baru.