Sejak Januari 2018, kami pindah tinggal di Rotterdam, Belanda. Pertimbangan dan persiapannya kami lakukan dengan matang, meski berawal sebagai kejutan dari suami saya yang sangat pintar, cerdas, dan baik hati. Ia yang punya ide untuk mengubah hidup kami berdua ke negara maju.
Untuk syarat perkuliahan, saya ingat, karena Senin-Jumat suami saya bekerja penuh, ia belajar tiap akhir pekan selama 2 bulan untuk mengambil tes GMAT. Ia mendapatkan nilai yang membuat ia berada di persentase paling tinggi sedunia meski ia hanya belajar sebentar dibanding kandidat lain. Sementara itu, tes IELTS ia lakukan dengan mudahnya, langsung datang saja, lalu mendapatkan hasil di batas yang paling tinggi yang ada. Saya bilang pada suami saya, ia sangat pintar dan memang mesti menggunakan kecerdasannya sebaik mungkin, di lingkungan yang jauh lebih menghargainya.
Sejak kami pindah ke Belanda, hidup kami sangat berubah menjadi lebih positif. Bagi kami mengagumkan sekali bahwa kami bisa merasa jauh lebih bahagia dengan pergi jauh sekali ke tempat yang tepat.
Pola hidup, pola makan, pola pertemanan kami jauh lebih sehat.
Dari jendela rumah, kami bisa melihat sungai besar, kapal, dan burung yang beterbangan atau berenang. Kami hanya perlu berjalan kaki sebentar dan tiba di sungai Nieuwe Mass. Bila kami rindu hutan, kami hanya perlu jalan kaki 40 menit lalu tiba di hutan yang lengkap dengan danau dan berbagai hewan liar maupun yang dipelihara dan biasanya kami menghabiskan 2-3 jam jalan kaki di hutan dan pulang ke rumah. Saya paham kalau di Indonesia bisnis perjalanan ke alam bisa laris, karena akses harian ke alam cukup sulit, dan keseharian di kendaraan umum yang mesti dilalui untuk berangkat dan pulang kerja begitu ganas. Diiringi film "petualangan" yang sempat populer, begitu ada akhir pekan atau libur panjang, orang mau membayar untuk diatur perjalanannya, makanannya, tempat tinggalnya, dan mengikuti pemandunya. Berbagi ruang dengan orang-orang yang menginginkan hal serupa, dibalut dengan nuansa "kebersamaan" dan "petualangan".
Bila belanja, dengan mudah, kami bisa memilih untuk mendukung dengan membeli produk yang etis pada pekerja, hewan, lingkungan dan menjaga kelangsungan hidup mereka. Untuk produk daging hewan, ada label-label mengenai kualitas hidup dan peternakan mereka sebelumnya. Untuk produk tumbuhan, ada label-label mengenai mereka organik atau bukan. Produk daging, sayur, dan buah segar pun jauh lebih murah dibanding membeli makanan tidak sehat di restoran cepat saji. Juga, bila belanja entah produk makanan, minuman, pakaian, sepatu, atau kosmetik dan sejenisnya, sebagian besar kemasannya berasal dari kertas atau plastik daur ulang 100%. Di Indonesia, semua hal itu adalah kemewahan.
Bila jajan di jalan, kami tidak pernah melakukannya karena kasihan pada pedagang lalu malah ditipu. Tidak ada cerita anak kecil usia SD berjualan tisu dan mematok harga IDR 10ribu bahkan 20ribu bila dia melihat calon pembelinya rapi dan berkulit terang, atau penjual lap mobil 20ribu di lampu merah yang begitu saya memberi 50ribu, bukannya mendapat kembalian, saya hanya bisa tercengang melihat dia lari kabur membawa duit itu. Orang-orang yang dengar cerita itu biasanya merespon, "Kasihan hidup mereka susah, anggap saja kamu sedekah, kamu dapat pahala." Masalahnya dari hal-hal itu, yang paling hilang adalah kepercayaan saya pada orang-orang. Juga, saya tahu masalah kemiskinan dan kecenderungan mereka beranak-pinak tanpa pertimbangan lebih jauh akan menghasilkan lingkaran setan yang serupa. Ironisnya, di saat yang sama dan di negara yang sama, para sosialita, artis, dan selebramnya mengenakan tas chanel atau hermes, tidak lupa dengan sepatu valentino.
Oke kembali ke jajan disini. Misalnya, disini, jajan oliebollen, appelbollen appelflappen, chocolade wafel, dan roomboter wafel bisa habis sekitar 10 euro. Itu pun karena rasanya sangat enak dan segala bahannya terasa berkualitas tinggi, segar, dan bersih. Tokonya pun meski kios sementara terlihat sangat solid, rapi, dan bersih, dengan seorang meneer berpakaian chef yang menunggu dan melayani pelanggan.
Di Indonesia merupakan hal yang biasa untuk dikecewakan orang-mendengar bualan tidak masuk akal demi citra semu mereka-dibicarakan yang buruk di belakang-tapi lalu mereka dengan asyiknya dan tanpa malu minta tolong bila ada perlu-yang membuat saya bingung mesti bersikap seperti apa dengan orang-orang.
Bila di Indonesia merupakan keajaiban untuk bertemu dengan orang-orang yang pintar, masuk akal, menyenangkan, dan baik hati, disini, di negara maju, kualitas-kualitas itu merupakan hal yang familiar. Disini, sementara ini, lingkaran pertemanan kami lebih kecil lingkupnya, tetapi, cenderung lebih dekat dengan semua karena percakapan jauh lebih cerdas dan beradab. Dari percakapan soal minuman apa saja yang cocok bila dicampur, bisa berganti ke perkembangan politik dunia dengan mudahnya. Dan tidak ada yang mengomentari "Duh berat banget sih ngomongnya" atau "Sok pinter lu" lalu bicara yang nyampah lagi.
Hal-hal yang kami rindukan dari Indonesia masih ada. Mama saya, Kuma kucing kami, buku-buku saya, piano sungguhan, nasi padang trio permai, rawon daging di rawone, martabak telur orient, dan pempek pak Raden, misalnya. Tapi itu hanya muncul kadang saja. Sebagian besar di hari-hari kami, kami begitu bersyukur dan berbahagia dengan hidup kami.