20 November 2018

Hidup Kami di Rotterdam, Belanda

Sejak Januari 2018, kami pindah tinggal di Rotterdam, Belanda. Pertimbangan dan persiapannya kami lakukan dengan matang, meski berawal sebagai kejutan dari suami saya yang sangat pintar, cerdas, dan baik hati. Ia yang punya ide untuk mengubah hidup kami berdua ke negara maju.

Untuk syarat perkuliahan, saya ingat, karena Senin-Jumat suami saya bekerja penuh, ia belajar tiap akhir pekan selama 2 bulan untuk mengambil tes GMAT. Ia mendapatkan nilai yang membuat ia berada di persentase paling tinggi sedunia meski ia hanya belajar sebentar dibanding kandidat lain. Sementara itu, tes IELTS ia lakukan dengan mudahnya, langsung datang saja, lalu mendapatkan hasil di batas yang paling tinggi yang ada. Saya bilang pada suami saya, ia sangat pintar dan memang mesti menggunakan kecerdasannya sebaik mungkin, di lingkungan yang jauh lebih menghargainya.

Sejak kami pindah ke Belanda, hidup kami sangat berubah menjadi lebih positif. Bagi kami mengagumkan sekali bahwa kami bisa merasa jauh lebih bahagia dengan pergi jauh sekali ke tempat yang tepat.

Pola hidup, pola makan, pola pertemanan kami jauh lebih sehat.

Dari jendela rumah, kami bisa melihat sungai besar, kapal, dan burung yang beterbangan atau berenang. Kami hanya perlu berjalan kaki sebentar dan tiba di sungai Nieuwe Mass. Bila kami rindu hutan, kami hanya perlu jalan kaki 40 menit lalu tiba di hutan yang lengkap dengan danau dan berbagai hewan liar maupun yang dipelihara dan biasanya kami menghabiskan 2-3 jam jalan kaki di hutan dan pulang ke rumah. Saya paham kalau di Indonesia bisnis perjalanan ke alam bisa laris, karena akses harian ke alam cukup sulit, dan keseharian di kendaraan umum yang mesti dilalui untuk berangkat dan pulang kerja begitu ganas. Diiringi film "petualangan" yang sempat populer, begitu ada akhir pekan atau libur panjang, orang mau membayar untuk diatur perjalanannya, makanannya, tempat tinggalnya, dan mengikuti pemandunya. Berbagi ruang dengan orang-orang yang menginginkan hal serupa, dibalut dengan nuansa "kebersamaan" dan "petualangan".

Bila belanja, dengan mudah, kami bisa memilih untuk mendukung dengan membeli produk yang etis pada pekerja, hewan, lingkungan dan menjaga kelangsungan hidup mereka. Untuk produk daging hewan, ada label-label mengenai kualitas hidup dan peternakan mereka sebelumnya. Untuk produk tumbuhan, ada label-label mengenai mereka organik atau bukan. Produk daging, sayur, dan buah segar pun jauh lebih murah dibanding membeli makanan tidak sehat di restoran cepat saji. Juga, bila belanja entah produk makanan, minuman, pakaian, sepatu, atau kosmetik dan sejenisnya, sebagian besar kemasannya berasal dari kertas atau plastik daur ulang 100%. Di Indonesia, semua hal itu adalah kemewahan.

Bila jajan di jalan, kami tidak pernah melakukannya karena kasihan pada pedagang lalu malah ditipu. Tidak ada cerita anak kecil usia SD berjualan tisu dan mematok harga IDR 10ribu bahkan 20ribu bila dia melihat calon pembelinya rapi dan berkulit terang, atau penjual lap mobil 20ribu di lampu merah yang begitu saya memberi 50ribu, bukannya mendapat kembalian, saya hanya bisa tercengang melihat dia lari kabur membawa duit itu. Orang-orang yang dengar cerita itu biasanya merespon, "Kasihan hidup mereka susah, anggap saja kamu sedekah, kamu dapat pahala." Masalahnya dari hal-hal itu, yang paling hilang adalah kepercayaan saya pada orang-orang. Juga, saya tahu masalah kemiskinan dan kecenderungan mereka beranak-pinak tanpa pertimbangan lebih jauh akan menghasilkan lingkaran setan yang serupa. Ironisnya, di saat yang sama dan di negara yang sama, para sosialita, artis, dan selebramnya mengenakan tas chanel atau hermes, tidak lupa dengan sepatu valentino.

Oke kembali ke jajan disini. Misalnya, disini,  jajan oliebollen, appelbollen appelflappen, chocolade wafel, dan roomboter wafel bisa habis sekitar 10 euro. Itu pun karena rasanya sangat enak dan segala bahannya terasa berkualitas tinggi, segar, dan bersih. Tokonya pun meski kios sementara terlihat sangat solid, rapi, dan bersih, dengan seorang meneer berpakaian chef yang menunggu dan melayani pelanggan.

Di Indonesia merupakan hal yang biasa untuk dikecewakan orang-mendengar bualan tidak masuk akal demi citra semu mereka-dibicarakan yang buruk di belakang-tapi lalu mereka dengan asyiknya dan tanpa malu minta tolong bila ada perlu-yang membuat saya bingung mesti bersikap seperti apa dengan orang-orang.

Bila di Indonesia merupakan keajaiban untuk bertemu dengan orang-orang yang pintar, masuk akal, menyenangkan, dan baik hati, disini, di negara maju, kualitas-kualitas itu merupakan hal yang familiar. Disini, sementara ini, lingkaran pertemanan kami lebih kecil lingkupnya, tetapi, cenderung lebih dekat dengan semua karena percakapan jauh lebih cerdas dan beradab. Dari percakapan soal minuman apa saja yang cocok bila dicampur, bisa berganti ke perkembangan politik dunia dengan mudahnya. Dan tidak ada yang mengomentari "Duh berat banget sih ngomongnya" atau "Sok pinter lu" lalu bicara yang nyampah lagi.

Hal-hal yang kami rindukan dari Indonesia masih ada. Mama saya, Kuma kucing kami, buku-buku saya, piano sungguhan, nasi padang trio permai, rawon daging di rawone, martabak telur orient, dan pempek pak Raden, misalnya. Tapi itu hanya muncul kadang saja. Sebagian besar di hari-hari kami, kami begitu bersyukur dan berbahagia dengan hidup kami.

6 August 2018

Para Bedebah Berkedok

Sampai sekarang, saya masih memandang keluarga tersebut sebagai kumpulan orang-orang konyol, dangkal, menyedihkan, yang berkedok jinak dan suci tetapi sebenarnya berhati jahat dan berotak kerdil. Mereka begitu senang berpura-pura hingga tak sadar dan terlarut dalam kepura-puraan. Mereka tak sadar bahwa mereka bermain peran keluarga setiap hari bagaikan bermain rumah-rumahan polly pocket. Dengan suara-suara dan gestur-gestur yang ditata sedemikian rupa. Hingga salah satu dari anggota keluarganya tidak akan mengenali anggota keluarga lainnya bila berada di luar lingkup keluarga, karena mereka akan berkelakuan begitu berbeda, dan bila disodori kebenaran dari orang itu, mereka akan mengatakan itu fitnah! 

Jangankan level diskusi, pembicaraan saja tidak akan jalan dengan adanya otoritas represif.

Otoritas represif si bapak yang menyenangi segala hal yang hirarkis hanya mau menjinakkan pikiran lain supaya tunduk dan menurut dengan pandangan, pengetahuan, dan pengalaman sempitnya. Hasilnya kalimat-kalimat yang muncul dari si istri dan si anak-anaknya berbentuk sirkular saja, demi mengamini, atau supaya si tong kosong cepat tutup mulut. Hasilnya potensi untuk berpikir kritis dipadamkan. Hasilnya mereka terbiasa menjadi dogmatis. Tidak akan ada komunikasi tulus ataupun diskusi mulus, yang ada hanya basa-basi. Dalam suasana represif itu, ia mau menyetir kepala-kepala kosong tersebut. Ia tidak bisa terima kalau ada kepala tidak kosong yang tidak mau mengikutinya.

Sementara itu insecurity, ketidakstabilan emosional, ketidakmampuan introspeksi diri, rasa iri dan dengki luar biasa si ibu yang terbiasa jadi pengikut turut menggalakkan suasana represif tersebut. Bukannya bertanya mengapa orang-orang di tempat kerjanya menghindari atau tidak bisa meminta bantuannya, ia dengan mudah malah melemparkan kesalahan dan ketidakmampuannya ke orang lain yang sangat ia anggap saingan. Ia mengompori si bapak dan anak-anaknya, bicara yang tidak-tidak soal orang ini, dan berbohong buat keuntungan imaji dirinya sendiri, yang sekian lama dibuatnya sedemikian rupa termasuk dengan betapa kecilnya penampakan dan suaranya, bahwa ia lemah, gemulai, tak cocok bekerja keras, dan tak mungkin mampu bersalah.

Anak-anak yang tidak sadar bernaung hanya dalam lingkup pandangan sempit itu kelabakan dan kesusahan bila menghadapi masalah yang beragam dalam hidup. Disodori apapun yang diikuti orangtuanya, termasuk doktrin-doktrin yang mengarah ke fundamentalisme agama dan keterbelakangan pikiran yang disugarcoated dengan etiket dan kesopanan, mereka akan patuh demi menghormati, karena mereka dilatih untuk itu saja. Mereka diajarkan tidak ada privasi dalam keluarganya, seperti kamar yang tak berpintu dan tak bersekat satu sama lain, dan kamar mandi yang bercelah dari dalam bisa melihat ke luar, ilusi diawasi terus menerus ada. Tetapi di saat bersamaan, tidak adanya privasi sayangnya tidak berarti ada perhatian dan kepedulian untuk urusan-urusan. Mereka bahkan tak bisa bicara dari hati ke hati. Mereka mau berontak dan beranjak tapi tak bisa karena tak cukup cerdas dan berkapasitas, mereka hanya bisa gila diam-diam. Menurut dan beradaptasi, karena ketidakmampuan mereka membuat mereka bergantung pula dengan orangtuanya; jaminan kebertahanan hidup mereka (pangan, sandang, papan) dilandasi dengan tunduk dan mematuhi. 

Bahkan pelukis tidak cukup menggunakan tangan dan jari untuk berkarya, ia harus punya beragam pengetahuan, pengalaman, dan kuas supaya karyanya bermutu. 

Untuk orang-orang yang terjebak dengan hanya penampakan di dunia, mereka tidak akan repot dan terganggu untuk berpikir "Apa yang ada di balik penampakan itu?" Bagaikan manusia-manusia gua yang dirantai dan terjebak dengan kegelapannya, dunia bayangan dari kenyataan di luar adalah satu-satunya kebenaran bagi mereka. Ketika ditunjukkan bahwa kebenaran tidaklah seperti bayangan mereka, mereka mengamuk, berteriak, dan menghardik orang yang menunjukkannya itu gila. 

Untuk yang terjebak di dunia penampakan dan kesulitan berpikir abstrak, mereka tidak akan bisa menarik abstraksi di kehidupan keseharian, misalnya saja memilih dua politisi yang buruk seperti buah yang busuk. Ketika disuruh memilih, mereka akan dengan senang hati memilih salah satunya, berdasarkan citra yang mereka senangi, supaya disebut bermasyarakat. Mereka akan berbangga menjaga kotak suara dan tempat pemilihan, merasa itu amanat dan ibadah. Mereka tidak akan mampu berpikir sampai "Untuk apa memilih dua buah yang sama-sama busuk?", bahwa tidak memilih juga merupakan suatu pilihan dalam bermasyarakat, dan bahwa justru memilih dari hal-hal yang buruk merupakan kesalahan fatal. 

Mereka tidak akan bisa membedakan antara membicarakan orang dengan tujuan baik dan membicarakan orang dengan tujuan buruk, bahkan mereka tidak menyadari bahwa membicarakan orang adalah salah satu hal yang kadang tidak dapat dihindarkan. Misalnya, si A bertanya pada si B, "B, kamu tau kenapa si C belakangan tidak masuk kerja dan kalau masuk kerja dia terlihat sedih?". Begitu si B menjawab," Ya, dia ada masalah dengan istrinya yang pencemburu." Si A malah terlihat kesal dan berkata, "Astagfirullah, jangan bergosip urusan orang lain!". Si A begitu tololnya dan begitu terkekangnya dengan nilai-nilai tak valid sampai tak sadar bahwa ia yang bertanya soal urusan si C. Mereka tak bisa membedakan bahwa membicarakan kondisi seseorang yang mengalami permasalahan dengan keluarganya karena peduli pada dampaknya atas dirinya dan performa kerjanya jelas berbeda dengan membicarakan seseorang karena hasrat bergosip. Mereka juga memahami kata bijak "Jangan mencampuri urusan orang lain" dengan literal, hingga walaupun agama mereka mengajarkan kepedulian, mereka malah menghiraukan istri atau anak tetangga mereka yang sering lebam dan bersedih karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain hingga tak peduli, dan lama kelamaan jadi tidak pedulian, tak mau peduli, lalu mengatasnamakan kata bijak tersebut.

Mereka juga akan hobi menonton berita dan membaca koran, tapi tanpa mengetahui dan mengkritisi bahwa semua berita tersebut dimiliki oleh orang atau kelompok orang yang berkuasa dengan memiliki agenda tertentu. Segala berita berlalu bagaikan hiburan yang seru. Mereka bangga bila hapal nama si ini dan itu di posisi ini dan itu sekarang sedang begini begitu. Mereka juga sangat antusias membaca dan menanggapi tautan-tautan norak, murahan, tak berbobot, dan mengandung banyak fallacy yang ditulis provokator, tentunya karena itu sepaham dengan pemikiran mereka. Mereka tak akan lelah menyebar kebodohan dari berbagai tautan tersebut di grup whatsapp dan facebook. Di sisa waktu luang lainnya, sesuai ajaran dan didikan masyarakat kapitalis, mereka tidak akan susah-susah membaca buku serius, mendengar musik serius, mengapresiasi karya-karya serius, justru kebalikannya. 

Mereka menolak kapitalisme dan bangsa asing (kecuali Arab dan semacamnya yang mereka anggap auto-saleh-dan-masuk-surga), tetapi mereka memakai produk-produk kaum yang mereka benci dan mereka kutuk masuk neraka. Mereka senang pergi ke mall dan makan di restoran milik (yang mereka sebut) asing dan kafir, daripada memasak sendiri. Mereka bilang agama mengajarkan semua manusia berkedudukan sama, tapi buat mereka juga, untuk urusan kecil saja, mereka mesti dihormati sedemikian rupa dan membabi buta, juga untuk kerjaan rumah kecil saja mesti pakai pembantu dan senang memiliki dan memperbudaknya, lalu juga ada kaum yang mereka sebut kafir yang halal dihina dan bahkan diam-diam bagi mereka layak dibunuh. Mereka yakin benar bakal langsung masuk surga setelah mati, hingga mereka bisa berbuat semena-mena begitu saja ke orang yang tidak mereka suka atau hanya berbeda sedikit saja dari mereka. Kalau surga ditempati bedebah-bedebah seperti kalian, surga seperti apa yang kalian bicarakan?



Entah saya mau bicara apa, tapi saya ingin menjaga pikiran dan akal sehat saya.

Tanya Kabar Saja, Tapi Dengar Jawabannya Ya

Pepatah umum dan kutipan tak berdasar biasa berkata kalau tidak ada pertanyaan yang bodoh. Tapi menurut saya mungkin ada. Menurut saya juga, pepatah umum dan kutipan tak berdasar itu malah mendorong orang-orang mengeluarkan pertanyaan tak berbobot dan tak perlu.

Kalau tidak tau mau bicara apa, kalau tidak mengerti tapi mungkin bisa mengerti sendiri kalau mau berpikir, diam dan pikirkan dulu. Sama seperti kalau tidak perlu bicara, senyum saja lebih bagus daripada berkomentar yang menyinggung dan bicara yang tidak-tidak.

Isi dari pertanyaan-pertanyaan itu misalnya:
1. Yang hanya mengulang-ulang penjelasan sebelumnya. Misalnya dalam seminar tentang sejarah suatu kotak, ada penanya menunjuk tangan lalu mengulang isi seminar "Blablablabla tentang sejarah suatu kotak" berdurasi lima menit atau lebih, lalu setelah didesak, pertanyaan dia cuma dan malah, "Gimana pendapat anda tentang warna di luar kotak tersebut?". Tujuannya kira-kira cuma "Hello people, I'm here! Sorry for wasting your time but I just want to be noticed"
Biasanya di ruang kelas, seminar, konferensi, dan apapun itu. Ini sepertinya saya pernah tulis deh.

2. Yang hanya mendeskripsikan kondisi yang mereka lihat. Misalnya, "Lo bawa buku banyak ya?" atau "Rambut lo panjang ya?" Tujuannya... Entah apa. Yang sebenarnya bisa lebih dihargai bila cuma say hi atau entah apa. Tanya kabar bakal jauh lebih manis.

3. Yang basa-basi, mau tau aja entah buat apa, tapi lalu tidak ada urusan berikutnya yang relevan. Misalnya, "Sudah makan belum?" atau "Tasnya berat gak?" yang mengisyaratkan tindakan berikutnya atau apa, tapi biasanya "belum" atau "berat" pun bukannya mereka mau kasih makan atau bantu bawa atau apa. Cuma mau tau aja. Basa basi aja mengisi kekosongan. Kalau misalnya dia kasih makanan atau bantu bawa tas atau apa, tentu pertanyaannya bukan lagi di kategori ini, masuk kategori pertanyaan peduli.

4. Yang menganggap kamu layaknya makhluk yang memiliki kekuatan omniscient (maha mengetahui). Biasanya bukan melibatkan diri kita saja tapi melibatkan kejadian-kejadian dengan orang ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya. Misalnya bertanya,"Gimana ya perasaan dia?" yang sekalian aja tanya sama saya, "Gimana ya rasanya jadi kelelawar atau jadi lemari?" atau pertanyaan lain, "Penyebab kejadian itu apa ya?" yang sekalian aja tanya sama saya, "Asal muasal alam semesta itu apa ya?"

Kenapa komunikasi manusia Indonesia bisa rusak sedemikian rupa sampai bertanya saja tak bisa?

23 July 2018

Sisi Gelap dari Gemerlap

Dalam jumlah yang masih bisa dihitung sebelah jari tangan, beberapa kali itu saya, dengan kecewa karena pada musim dingin tidak mengalami gangguan ketika berjalan sendirian, ternyata mengalami gangguan ketika berjalan sendirian di Rotterdam, ketika musim semi dan musim panas. 

Ketika cuaca tidak lagi membuat beku dan berbagai bunga mulai tumbuh dan mekar kembali, orang-orang senang menghabiskan waktu di luar rumah, duduk di kursi taman, duduk di teras restoran, duduk di atas rumput, mengobrol di jalanan, minum-minum di depan sungai, atau hanya sekedar berdiri merokok di luar gedung. 

Beberapa kali ketika saya berjalan sendirian, beberapa laki-laki asal saja memanggil saya "Nihao-nihao" atau "Konnichiwa", mengatakan saya cantik, menanyakan nama saya, bersiul, dst. Kejadian yang lumayan mengganggu saya adalah waktu saya diikuti saat berjalan pulang dari tengah kota. Laki-laki itu memanggil saya "Nihao" dan bersiul, yang tentu tidak saya gubris. Lalu saya sadar dia mengikuti saya karena saya mendengar suara langkahnya beberapa meter dari saya, dia kadang bersiul juga, saya lihat sekilas, dia memang mengikuti dan jalanan sedang sepi (ya kapan sih ramainya disini, seramai-ramainya juga di pasar). Saya jalan secepat mungkin, menyebrang jalan sana-sini sebanyak mungkin, dia masih mengikuti di Groenendal. Begitu melihat Albert Heijn (supermarket), saya jalan lebih cepat lagi lalu masuk ke dalamnya. Dia berhenti. Saya berlama-lama di dalam AH lalu mengecek jalanan dan keberadaannya sebelum saya lanjut pulang.

Dari tiap pengalaman itu, saya menandai wilayah-wilayahnya, jadi lebih sering naik tram, dan menggunakan strategi bila mau berjalan di sekitar wilayah tertentu. Misalnya, sepulang belanja groceries saya didekati laki-laki yang sepertinya sedang high karena area itu juga ada toko ganja (jenis yang dijual lumayan banyak), dan di lain kesempatan dimintai uang oleh laki-laki di area itu juga, meskipun dia tidak kasar dan saya bisa menolaknya, tapi itu tetap tidak membuat nyaman. Bila lewat area itu lagi, saya ingat-ingat untuk memilih berjalan di seberangnya, lalu menyebrang lagi nanti jauh di depan saja. 

Salah satu alasan saya tulis ini adalah karena pagi ini, waktu baru bangun tidur dan mengecek hp, saya dapat kabar dari teman saya di Bodegraven, kalau ada pelajar Indonesia di Rotterdam dicekik dan diperkosa di area De Esch. Dia diserang waktu dia pulang ke rumah dan sedang mengunci sepedanya. Sekarang dia dirawat di rumah sakit dan semoga cepat pulih lahir batin. Sepertinya pertolongan polisi dan ambulans lumayan telat datang karena penduduk lokal tidak bertindak lebih cepat. Seseorang hanya menyangka suara jeritannya sebagai suara anak-anak muda yang baru pulang pesta atau apa (di area apartemen saya juga, apalagi kalau Jumat malam, banyak suara orang teriak-teriak yang waktu saya cek lihat ke bawah dari jendela hanya kumpulan orang-orang mabuk di jalanan, atau mereka yang baru pulang dari bar bicara dengan teriak), sedangkan seseorang lagi mendengar jeritannya tapi terlalu takut buat bertindak, lalu tidur lagi. 

Hidup di negara maju memang jauh lebih nyaman, tapi kita mesti tetap jaga diri sebisa mungkin, jangan sampai terlena. Simpan nomor telepon polisi dan nomor darurat orang tersayang untuk dihubungi dengan cepat, pastikan selalu ada pulsa di hp. Pelajari lingkungan, bawa perlindungan. Selalu waspada. Perempuan, di mana pun kau berada, berhati-hatilah. 

27 June 2018

Ik hou van Nederland


Saya sangat suka Belanda. Orang-orangnya rendah hati, jujur, santai tapi sigap membantu, tidak suka ikut campur urusan orang tapi sentimental. Bandingkan dengan di Indonesia misalnya, ketemu orang tak dikenal yang tak bakal ditemui lagi, naik gojek atau gocar hanya 10 menit saja, saya ditanya sudah punya anak atau belum, kalau belum, kenapa? Melelahkan bila setiap hari berhadapan dengan orang-orang semacam itu. Tapi kalau kita tidak mau menjawab atau mengobrol, kita akan disebut "sombong". Serba salah. 

Yang saya suka disini adalah orang-orang, seperti keinginan pikiran saya, berkomunikasi seperlunya. Bila mau mengobrol, itu adalah obrolan keseharian yang ringan dan menyenangkan atau malah yang menggugah perspektif sekalian. Tidak ada pertanyaan yang tidak perlu, tidak ada ejekan untuk berupaya akrab, tidak ada pikiran negatif yang membuat segala hal menjadi buruk. 

Teman-teman saya disini adalah orang-orang baik, pintar, dan berpikiran terbuka. Kewarganegaraan mereka beragam, tetapi kami sama-sama menginginkan kehidupan dan lingkungan yang lebih baik. Kami tahu persis bahwa, jauh dari siapa-siapa, kami bisa menjadi keluarga tersendiri. Kami hidup berdekatan, paling jauh hanya jarak jalan kaki 30 menit. Kami tidak perlu pamer foto ketika berkumpul, kami tidak perlu berkumpul di tempat-tempat mewah karena disini segala sesuatunya sudah cukup baik, hingga seringkali cukup untuk saling berkunjung di tempat tinggal kami masing-masing, memasak bersama, atau membawa makanan untuk dimakan bersama. Salah satu hal yang menyenangkan adalah pertukaran budaya melalui makanan, kami suka bertukar makanan asal negara kami masing-masing dan mengapresiasi satu sama lain. Misalnya saya jadi rutin makan masakan rumah berbagai negara, dan itu terasa lebih menyentuh daripada makan makanan tersebut di restoran. Ada sentuhan rumahan yang sederhana, yang dibuat oleh orang-orang yang barangkali tadinya jarang masak tapi ketika disini rindu dan mau membawa rasa masakan rumah sebisa mereka, misalnya pollo guisado dan arroz con habichuelas rojas dari Dominika, bak kut teh, taiwanese beef stew, berbagai masakan Korea, Taiwan, India, dan Amerika lainnya (meskipun masakan Amerika sudah familiar buat orang Indonesia, seperti mac and cheese, brownie, dan cookie). Mereka juga jadi tahu dan sangat doyan rasa nasi goreng dan sambal yang dibuat dengan bahan-bahan segar oleh saya, yang jelas berbeda dengan rasa instan yang sangat tereduksi di Albert Heijn, Aldi, dan Jumbo. 

Berbagai sarana transportasi disini sangat menarik. Bila di Indonesia orang akan berlomba naik mobil (saya pun juga sih, terutama supaya aman dari gangguan orang-orang rawan dan menghindari panas yang tak terkira) entah untuk alasan kenyamanan, keamanan, atau ajang pamer, yang jelas begitu banyaknya mobil (karena bahkan satu rumah tangga kelas menengah mau mencicil sampai punya tiga mobil meskipun mereka tidak punya garasi mencukupi jadi parkir di jalanan) membuat jalan raya macetnya luar biasa. Di Belanda, mobil hanya salah satu dari sekian, dan urusan parkir jelas lokasinya dan tegas biayanya. 

Disini, selain transportasi umum yang jelas aman dan nyaman seperti metro, tram lama atau baru, bus, waterbus, watertaxi, untuk transportasi pribadi, selain yang jelas jalan kaki, kita bisa beli atau sewa sepeda (banyak perusahaan sewa sepeda disini), atau scooter, skateboard, rollerblade: inline skates atau quad skates, bakfiets (sepeda dengan "gerobak" untuk memuat anak-anak), mobil lucu dengan bak untuk beberapa orang, greenmobility (mobil listrik roda tiga kecil dan pendek untuk ukuran satu orang posisi duduk selonjor seperti di mobil balap), canta (mobil mikro untuk dua orang, yang tadinya dirancang untuk orang-orang difabel), hamsterball (sepertinya untuk hiburan saja), bahkan juga ski di atas jalan. Transportasi air pribadi juga beragam, dari canoe, kayak, yacht, kapal layar, motorboat, swanboat, dan seterusnya. Pokoknya saya selalu terhibur setiap berpapasan dengan berbagai transporasi pribadi yang unik itu. Hal lain yang menghibur tapi menyentuh hati ketika melihatnya di jalan raya adalah, bagaimana satu keluarga pirang, papa dan mama membonceng anak-anaknya di sepeda dengan beriringan, asyik saja berkendara, tidak peduli pada hujan gerimis (biasanya true Dutch tidak peduli pada gerimis, hujan, dan angin, mereka tidak suka pakai payung bahkan ketika jalan kaki, cukup jaket saja, tapi juga, hujan disini selalu lebih manusiawi dan tidak akan langsung membuat kita basah kuyup, jalanan pun dibangun dengan sangat baik resapannya sehingga jarang sekali ada becekan).

Saya juga suka bahasa mereka yang lucu dan persis, misalnya granat appel (apel granat=delima), huis dier (hewan rumah=hewan peliharaan), dan berbagai kata-kata diskon di toko-toko (korting, alles moet weg). Ya, saya memiliki semangat serupa dengan mereka, senang melihat diskon, kalau bisa gratis sekalian, tidak mau bayar, paling senang ditraktir! Saya sudah mempunyai teman pedagang langganan di market, yang kalau melihat saya dia langsung memanggil supaya saya menghampirinya, lalu dia menyodorkan produk terbaiknya, misal sekotak strawberry termerah yang dia sembunyikan di laci konter, dan memberikan diskon juga pada saya. Kadang saya belanja beberapa tapi hanya membayar untuk satu item saja (lalu karena dia terlalu baik saya jadi tidak enak).

Mau bicara bahasa Belanda atau bahasa Inggris disini cukup tricky. Beberapa orang hanya mau berbahasa Belanda, tapi beberapa orang lainnya senang menunjukkan kemampuan bahasa Inggris mereka yang sempurna dan beraksen British. Tapi secara umum, orang Belanda akan sangat senang dan merasa dihargai bila kita mau mengucapkan kata-kata atau bahkan kalimat Belanda walaupun masih canggung. Tiap orang kantoran, pak pos, kasir dan pelayan toko, supermarket, dan restoran, orang-orang di market baik pedagang maupun pengunjung, akan suka mendengar kita bicara bahasa Belanda, tersenyum, mengacungkan jempol, dan kalau benar-benar tak menyangka, akan berkata, "Ah, spreekt u Nederlands?!" lalu mengajak bicara lumayan panjang (yang mana saya masih belang-belang Inggris-Belanda). Misalnya teman pedagang saya di market tadinya menolak sama sekali bicara bahasa Inggris supaya saya bicara bahasa Belanda pada dia, tapi beberapa minggu kemudian dia bicara bahasa Inggris yang canggung ke saya, supaya kita bisa berkomunikasi. Yang jelas, walaupun berbeda kemampuan bahasa, kita bisa tahu niatan baik seseorang, untuk saling mau berusaha mengucap bahasa yang dimengerti.

Berada di sini, bertemu dengan makanan-makanan Belanda, belajar bahasa Belanda, saya jadi makin mempertanyakan apa itu Indonesia dan nasionalisme yang membabi buta, yang tidak mau mengakui bahwa Indonesia mengambil bentukannya melalui sejarah panjang kolonialisme Portugis, Belanda dan pengaruh budaya berbagai pedagang Arab, Cina, India. Bahkan kita orang Indonesia memiliki turunan-turunan tersebut. Banyak kata-kata di bahasa Indonesia yang saya temui di bahasa Belanda, walaupun saya sudah tahu bahwa bahasa Indonesia kebanyakan merupakan bahasa serapan dari Portugis, Belanda, dan Arab, tiap bertemu bahasa yang serupa saya selalu terhibur juga. Koffer di bahasa Belanda misalnya, di Indonesia jadi koper. Emmer di bahasa Belanda, di Indonesia jadi ember. Frikandel jadi perkedel. Kaastengels setidaknya, tetap sama. 

Blablabla, saya tidak tahu mau tulis apa lagi. Keluhan saya hanya, biasanya kamar mandi Belanda itu sempit, entah itu ruang toilet atau shower! Tapi kekurangan itu tertutupi dengan segala kelebihan disini. 
Fijne dag!

30 April 2018

Salah Satu yang Tak Saya Mengerti

Salah satu emosi manusia yang tidak saya mengerti dan hampir tidak pernah rasakan adalah rasa iri. Kebanyakan saya hanya melihatnya, mengetahui seseorang merasakannya, dan menjadi korban dari rasa iri. Rasa iri bisa membuat seseorang memperlakukan orang lain yang diirikannya dengan lebih buruk daripada semestinya memperlakukan sesama manusia. Menyebar kata-kata buruk dan kebohongan, mengucilkan, membunuh baik secara karakter maupun di kasus-kasus kriminal tubuh sepenuhnya. Rasa iri bisa membuat seorang pengecut menghabiskan waktu membuat rencana-rencana buruk, mengompori orang lain dengan bisikan-bisikan busuk mengenai orang lain yang diirikannya, supaya lambat laun orang tersebut menjadi kaki tangan untuk kejahatannya. 

Dalam berbagai kesulitan dan gelapnya hidup di masa lalu, saya hampir selalu ikut senang bila melihat kemudahan hidup dan kebahagiaan orang lainnya. Dalam episode-episode suram hidup saya, hampir tidak pernah saya biarkan orang lain tahu secara sengaja, kecuali orang-orang dekat saja. Sebisa mungkin saya melukis fasad "saya baik-baik saja dan dari keluarga baik-baik saja", tampil dengan "normal" di muka umum. Bila melihat orang yang sangat cerdas saya kagum, sangat cantik atau tampan saya kagum, sangat sukses saya kagum, sangat sejahtera saya kagum, sangat artistik saya kagum. Dengan kata lain saya turut menikmati yang mereka pancarkan. Saya hampir tidak pernah merasa iri pada orang-orang yang terlihat jauh lebih bahagia dan berkondisi atau berkualitas jauh di atas saya dari segi apapun. Saya mengakuinya, saya mengagumi mereka.

Mungkin saya tidak punya kapasitas untuk perasaan iri seperti itu, mungkin saya tahu bahwa setiap orang memiliki jalur hidup berbeda yang tak bisa dibandingkan, mungkin sebagai korban rutin dari rasa iri saya memahami ironi dari rasa iri. Bahwa orang lain hanya menginginkan hal-hal bagus yang tampak, tetapi tidak mengerti bahwa dibaliknya ada penderitaan-penderitaan, entah yang berhubungan dengannya ataupun tidak sama sekali.

Bagaimanapun, hampir kebalnya saya pada rasa iri mesti saya syukuri.
Masih tidak saya mengerti, mengapa umumnya manusia tidak bisa ikut bahagia atau ikut menikmati bila melihat pancaran kebahagiaan, kebagusan, kecerdasan, kesuksesan, keindahan, dan kualitas positif yang sedang hinggap di orang lain? 


16 April 2018

Saya yang Cinta pada Keindahan

Saya serakah pada keindahan.
Saya mengagumi bunga-bunga di toko dari kejauhan selama bermenit-menit,
lalu mendekati dan menatap mereka lagi selama bermenit-menit.

Saya menggenggam bunga-bunga pilihan di pelukan saya sepanjang jalan.
Di rumah, saya memotong dahan dan menata mereka sesuai keinginan saya,
lalu saya mendekati dan menatap mereka lagi selama bermenit-menit.

Lewat, mengunjungi, menghirup, menyentuh, menatap mereka bermenit-menit.

Hari demi hari merawat, mengganti air, dan menunda kematian mereka,
menyadari perubahan harian, mengagumi keindahan, mengelus kelembutan, menghirup harum, mengamati tekstur dan helaian kelopak mereka.

Saya serakah pada keindahan.
Saya mengagumi kemiripan, ketidakmiripan, kecantikan, kejelekan, keseimbangan, ketidakseimbangan, kegembiraan, kesedihan, kerinduan, kejijkan, kengerian, keanehan, keabsurdan, kekonyolan, dan ke-nyata-an dari tiap karya seni di museum.
Menatap dari jauh dan dari dekat, mengamati tekstur dan bahan mereka, menerka ide dan konteks, dan membayangkan situasi zaman mereka.
Berjalan hilir mudik, berputar kembali ke karya-karya yang sama selama berjam-jam. Duduk ketika lelah, membiarkan pikiran berkelana sebelum tubuh kembali menjelajah.

Saya serakah pada keindahan.
Saya senang memainkan musik-musik yang sama di piano hingga ratusan kali, merasakan gerakan, kelelahan, dan kenikmatan yang sama.
Saya senang mendengarkan musik-musik yang serupa hingga ribuan kali.
Saya menangisi musik-musik yang serupa berpuluh kali, merasakan sensasi emosi yang membuka luka, merasakan cerminan jiwa, memahami jiwa sendiri, larut dalam semesta.

Saya serakah pada keindahan.
Saya senang berlama-lama menatap sungai dan danau, menghirup bau laut, menatap bentuk awan, dedaunan, pepohonan, rerumputan, bunga-bunga, dan hewan-hewan liar.

Dalam melakukan semua hal itu,
saya sadar bahwa saya serakah pada keindahan,
memiliki ruang khusus, dan butuh untuk terus mengisinya. 

1 March 2018

Cinta Paling Tulus: Makanan

Kita adalah apa yang kita pikirkan, apa yang kita kerjakan, dan apa yang kita makan. Saya suka memasak atau menyiapkan makanan sendiri, dan menikmati proses dari belanja, mencuci buah dan sayuran (percaya deh kalau bisa dan punya lahannya, saya mau punya kebun makanan sendiri), memasak atau menyiapkan makanan, hingga makan. Buat saya kegiatan memasak dan menyiapkan makanan itu merupakan momen meditatif dan proses yang tidak jauh banyak berbeda dari memainkan musik. 

Orang yang abai tapi sok tahu pernah mengatakan bahwa mudah sekali mengenali musik klasik, kan notasinya sama dan yang dimainkan adalah sama, jadi semuanya terdengar sama saja. Ya, musik pop, rock, jazz, dll bisa menggantikan kata musik klasik juga untuk kalimat tersebut. Atau bisa saya katakan juga dengan asal, lagu pop yang dinyanyikan pengamen dan yang dinyanyikan popstar di konser sama saja. Tapi untuk mengatakan mereka sama bukan merupakan kemampuan menangkap yang universal melainkan keabaian, konotasi negatif, dan kemalasan untuk mempersepsi lebih. Seperti pizza dan nasi goreng yang rasanya berbeda-beda tergantung kemampuan, selera, dan estetika yang memasaknya, pieces musik juga seperti itu. Notasi atau resep dari satu musik atau masakan yang sama, bahkan ditulis berbeda pula tergantung editornya, apalagi interpretasi dan eksekusinya. Tapi orang yang abai tidak akan memperhatikan sampai sana. Tidak apa tidak bisa masak, tapi akan bagus kalau bisa mengagumi makanan yang enak, dan bilang saja kalau ada makanan tidak enak, karena saya tahu semua orang punya kemampuan dan bidang berbeda. Tapi orang yang abai soal makanan itu, yang tidak bisa masak sama sekali atau hanya mengandalkan bumbu instan, tapi bisa sok jadi kritikus makanan dan bicara soal bumbu setengah mati, atau bicara besar buat hal yang sama sekali tidak dia mengerti. Familiar? Ya itu bisa ditemukan di bukan sekedar bidang makanan sih, haha.

Untuk menikmati makanan, saya tahu dengan pengalaman bahwa tidak semua orang mampu melakukannya. Tidak semua orang punya penciuman yang bagus dan lidah yang peka. Soal selera,  itu sangat ditentukan dengan latar belakang budaya dan pengalaman kuliner. Tetapi, tidak dipungkiri juga mungkin penciuman yang buruk dan lidah yang tumpul bukan karena cacat lahir melainkan karena tidak terlatih dari kecil untuk menikmati masakan. Ibunya tidak mau atau tidak bisa masak misalnya, atau ayahnya juga, misalnya, lalu makan dari masakan pembantu yang asal-asalan atau katering hambar misalnya, atau tidak dapat pendidikan soal makanan, misalnya, kemudian tidak tertarik dan tidak mau tahu lebih jauh soal makanan jadi tidak mau repot-repot makan di berbagai restoran, misalnya.

Saya lumayan beruntung karena besar dalam keluarga yang walaupun banyak sekali kekurangan dan compang-camping di hal-hal lain, tetapi lumayan bagus dalam hal masak-memasak dan masak-masakan. Dari sisi mama dan ayah saya, semua suka makanan dan bisa mengapresiasi makanan, nenek dan emak saya hobi masak, tante-tante saya juga, tidak peduli tante yang gendut atau yang paling langsing sekalipun. Mama saya dan ayah saya juga jago masak, dengan menu-menu andalan berbeda. Mama saya bisa masak hampir semua masakan Indonesia, menu yang sering dimasak antara lain pecel, ayam goreng, sop iga, perkedel kentang, perkedel jagung, daging empal, semur ayam atau sapi, soto bandung, soto kudus, rendang, rawon, garang asam, ayam woku, dan meskipun sibuk setengah mati karena bekerja sebagai periset dan dosen, karena hobinya, masih suka menerima pesanan buat acara, dari set tumpeng nasi kuning lengkap dengan lauk pauknya, soto-sotoan, hingga puding-pudingan. Sementara ayah saya biasa masak sayur asin, ikan asin, sayur oyong, sayur sop, nasi goreng, tumis kangkung atau bayam. Dari masih kecil kalau mereka memasak, saya biasanya dipanggil untuk mencicipi apa yang kurang, apa yang bisa jadi lebih enak, dan saya baru tahu kalau ternyata itu penting dan membuat saya terlatih untuk merasakan makanan. Sampai sekarang, seperti mama saya, saya kesal kalau makan makanan tidak enak (itu sebabnya saya jarang makan di kansas, karena tidak ada yang enak disana, bukannya saya belagu  dan maunya makan di Toscana terus karena toh saya punya warung tenda pecel lele dan ayam favorit) dan kecewa kalau sebagai tamu tidak disuguhi makanan yang dimasak atau disiapkan dengan sepenuh hati (percayalah saya tahu situasi dan kondisi, kalau kita datang ke rumah orang makmur tetapi mereka tidak menyuguhi makanan dan minuman yang pantas, maka mereka bukan orang baik karena menghargai tamu saja tidak mampu). Selain makanan dan minuman yang disuguhkan, upaya menyuguhkan itu juga penting dan menunjukkan banyak hal. Misalnya, masa sih tinggal jalan tiga langkah ke dispenser mesti teriak panggil pembantu atau anak buat mengambilkan minum untuk tamu, padahal itu jelas bisa dilakukan sendiri. Saya pernah di situasi begitu dan langsung saya bilang tidak usah karena saya tidak haus sama sekali. Dua detik menyaksikan hal itu membuat saya memahami kekonyolan, kebengisan, ilusi kesuperioritasan, dan ketidakmauan melayani tapi berkeinginan dilayani dan memperbudak orang, yang membuat saya tidak mau bibir saya menempel di gelas mereka dan minum air dari sana. Bayangkan di situasi yang beradab ketika yang punya rumah dengan sigapnya membuatkan atau menyuguhkan minuman untuk tamu, siapa yang tidak senang jasmani dan rohaninya?  

Blabla, walaupun banyak sekali hal yang saya pelajari sendiri dan seringnya dengan pahit, dan walaupun banyak hal yang orangtua saya lakukan dan tidak ingin saya tiru, tetapi mama  dan ayah saya setidaknya mengajarkan saya untuk masak dengan hasil akhir enak, menyuguhi tamu dengan makanan terbaik dari camilan, makanan inti, dan penutup, memastikan tamu kenyang dan bahagia perutnya setelah pergi dari rumah kami. Itu hal yang bisa saya ambil dan saya jalankan di keluarga saya sekarang. Saya suka masak dan makan, ingin orang yang saya sayang menikmati masakan yang saya masak, ingin menyuguhi tamu versi makanan dan minuman yang terbaik, dan kalau tidak melakukan semua itu, hal dekat masakan yang saya lakukan adalah menonton acara-acara memasak, dari Nigella Lawson, Jamie Oliver, Gordon Ramsay, Alex French Guy Cooking, juga  belakangan Chef's Table dan Ugly Delicious.

Soal masak, saya takjub pada bagaimana pikiran bekerja untuk membayangkan perpaduan rasa, dan perbedaan kualitas dan kuantitas bahan makanan dan waktu yang digunakan bisa menjadi parameter dalam kelezatan masakan tersebut. Seberapa besarnya porsi, seberapa sehatnya pilihan bahan-bahan, bumbu-bumbu, tampilan, dan hasil akhir, merupakan cerminan dari identitas kita dan persepsi kita soal makanan. Seberapa dermawannya kita juga bisa dicerminkan dari seberapa mau kita berbagi makanan atau seberapa mau kita memasak untuk tamu dan orang yang membutuhkan. Kalau saya, ada pengecualian dalam berbagi yang tidak berurusan dengan kedermawanan, yaitu saya tidak mau makan semangkuk makanan berkuah ramai-ramai karena alasan kebersihan (jijik kan kalau dalam semangkuk makanan berkuah ada air liur selain punya kita). 

Dalam memasak, saya tahu bahwa cinta pada makanan saja tidak mencukupi, karena setidaknya kita mesti memiliki pengetahuan yang bagus mengenai perpaduan rasa, dan itu mensyaratkan pengalaman kuliner yang banyak dan beragam. Lihat kan, pikiran terbuka itu bisa diterapkan di berbagai aspek (dan bisa dikenali di berbagai aspek, jadi kalau orang yang kalian kencani menggerutu dan mengeluh sehabis makan yang bukan nasi, mungkin kalian mesti waspada). 

Saat makan,  saya menikmati betul makanan saya, dengan mengamati warna dan komposisinya, menghirup aromanya, mengunyah lambat-lambat, merasakan teksturnya di lidah, dan merasakan rasa yang bercampur dalam mulut saya. Dalam piring saya, makanan yang saya anggap paling berharga biasa saya sisakan di akhir. Orang biasa berpikir kalau ada nasi dan ayam, mestinya yang disisakan di akhir itu ayam karena mestinya ayam lebih enak dari nasi, dan ada omongan konyol semacam kamu bisa dinilai pekerja keras atau bisa berhemat kalau menyisakan ayam di akhir. Itu memang omongan konyol belaka. Saya pernah dapat potongan ayam yang rasanya menjijikan karena sepertinya  proses memasaknya jorok dan potongannya mengerikan karena dilakukan serampangan, tapi mesti saya habiskan kata lirikan mama saya, karena saat itu acara keluarga setahun sekali macam lebaran dan bakal tidak sopan kalau tidak menghabiskannya. Tapi buat upaya saya yang makan potongan ayam duluan dengan cepat tanpa mau merasakan, lalu menyumpal mulut saya dengan nasi dan minum air banyak-banyak, yang saya dapatkan adalah komentar konyol yang sebaliknya dari yang saya cantumkan di atas, makanya saya tidak suka primbon semacam itu dan belajar tidak peduli lagi dengan apa yang sopan buat sekedar etiket atau norma. Saya hanya mau peduli pada etika sebenarnya.

Kembali pada kepolosan makanan, yang sebetulnya tidak polos karena ada banyak rasanya, kata George Bernard Shaw, tidak ada cinta yang lebih tulus dibanding cinta makanan. Proses berulang dari belanja (kalau tidak menanam dan panen sendiri), membersihkan bahan makanan, memasak, makan dan menikmati makanan, mencuci piring, buang air kecil dan besar, ulang lagi dan seperti itu terus sampai kita mati, mungkin memberikan gagasan samar soal apa itu cinta, atau kalau kalian masih senang hidup seperti bangsawan dan memiliki pembantu, kalian bisa melewati berbagai tahap awal hingga hanya makan lalu buang air kecil dan besar saja. Bagaimanapun, kita makan supaya tetap hidup sama saja seperti hewan-hewan lainnya, atau berburu dan makan seperti hewan-hewan lainnya (dulu, hingga lalu ada pertanian), tetapi memasak merupakan kegiatan yang manusiawi, yang sebenarnya sayang untuk dilewatkan karena dalam bekerja kecil-kecilan itu, ada gagasan tersembunyi soal keindahan rasa di akhir yang mesti diupayakan, dan yang kandungannya akan masuk dan dicerna tubuh kita, dan menjadi sekian persen dari diri kita.


16 February 2018

Kehidupan di Rotterdam Sejauh Ini

Tidak terasa sudah sebulan lebih saya tinggal di Belanda bersama suami. Kadang sebelum tidur semua masih terasa seperti mimpi. Saya masih ingat waktu pesawat mau mendarat di Schiphol, diiringi orkestra dari headphone saya, saya terharu melihat Amsterdam dari langit malam, lampu-lampu kota yang bersinar terlihat begitu teratur. Bangunan-bangunan berbaris dengan rapi. Tidak tercium tanda-tanda kebodohan dan kemunafikan masyarakat begitu tiba disana. Sebulan berada di Rotterdam, Belanda, saya merasa bisa memanggilnya rumah. Lucu kan menyebut rumah pada negara yang bahkan mengucapkan bahasanya saja saya masih terbata-bata. Saya salah lokasi lahir.

Bagaimana bisa tidak cinta pada negara yang toleran? Yang kota, industri, dan ekonominya maju, tetapi alamnya tetap terjaga baik? Yang orang-orangnya sibuk dengan urusan dan diri masing-masing sehingga tidak usil mengganggu orang lain, namun tetap peduli pada tempatnya? Yang membuatmu merasa aman dan nyaman dan mendukung tubuh dan pikiranmu tetap sehat dengan udara, makanan, dan air yang sehat?

Disini saya bisa dengan asyik dan tenang berjalan kaki sendiri kemanapun, ke kota atau ke hutan hingga empat jam, tanpa diganggu dan tanpa pelecehan seksual apapun. Di Indonesia, saya berjalan kaki belum ada lima menit, sudah ada setidaknya dua pelecehan seksual macam siulan, komentar, panggilan sialan, tak peduli seberapa panjangpun pakaian saya. Satu jam misalnya di kereta, sudah ada predator yang menempel menggeliat bukan karena kereta penuh tetapi meminta dipukul kepalanya dengan payung hitam saya atau dipotong habis saja tititnya supaya tidak nempel-nempel lagi. 

Disini saya makan dengan menu yang lebih sehat, karena saya yang menyiapkannya, dan karena  disini makan makanan sehat adalah pilihan rasional. Harga junk food di tempat makan itu lebih mahal dibanding sayur, buah, daging, dan ikan segar. Saya sudah berputar-putar kesana kemari mencari harga terbaik buat segala jenis barang, dan jadi tahu beli daging, roti, dan susu, harga terbaiknya di supermarket apa, beli buah dan sayur di pasar apa, dan beli produk-produk kecantikan di toko apa. Disini, suasana sosial dan ekonomi akan mendukung supaya hidup lebih sehat. Kita tidak akan dicemooh "sok diet"(WTH, diet is habitual nourishment!) karena sarapan sayur dan buah. Kamu akan tergerak untuk berjalan banyak, bersepeda atau lari, karena selain banyak yang melakukannya, kamu tidak akan terganggu dan diganggu, malah akan menikmati pemandangan indah, langit yang berwarna banyak, burung-burung sehat yang berkicau, seberapa jauh kamu pergi. 

Saya juga beruntung karena suami saya tidak pernah meminta apapun kecuali satu hal dari saya, yaitu lebih sabar, hehe. Kadang kalau lihat dari sosial media orang-orang yang menikah, sebagai istri, beberapa dari mereka kasihan sekali karena sering pakai kata-kata "disuruh suami bikin ini, itu," atau waktu ketemu mereka di acara kondangan atau apa, mereka diperintah suaminya dengan super bossy, bahkan urusan gendong anak, memotret, atau jalan saja ada nada perintahnya. Untungnya saya tidak tertarik berurusan dengan laki-laki seperti itu, dan untungnya suami saya, walaupun waktu awal kenal dulu tidak tahu feminisme dan masih agak patriarkis pikirannya karena bentukan keluarganya, bisa belajar soal kesetaraan sosial, hak-hak perempuan, hal-hal yang menindas perempuan, dst. Kami bekerja sama untuk urusan rumah tangga, saya bisa memasak, membuat sarapan atau makan malam untuk kami berdua, tetapi dia juga bisa melakukan hal yang sama untuk kami berdua. Kami bisa belanja bersama dan membersihkan rumah bersama. Tidak ada hal yang saya kerjakan karena mesti. Kalau saya sedang gemar mengerjakannya, itu memang karena saya mau bergerak untuk membereskan yang perlu dibereskan, dan sebal melihat atau membayangkan perempuan-perempuan pemalas yang takut kulit tangannya jadi tidak halus atau kukunya patah karena berbenah.

Oh ya, karena pindah jauh, saya juga belajar bahwa saya tidak bisa membawa semua yang saya miliki. Bahwa memiliki adalah berkat tetapi juga beban tersendiri. Sejak bisa mengumpulkan uang sendiri, saya menghabiskan uang saya sebagian besar untuk membeli dan mencetak buku, lalu untuk membeli pakaian, membeli bensin, membeli makanan orang, membeli makanan kucing, dan kalau ada sisanya, untuk membeli produk kecantikan. Buku-buku yang saya pilih untuk kesini hanya yang tertentu saja, saya belum bisa bawa semua, karena membawa sedikit saja sekitar 35 buku sudah menghabiskan 3,3jt rupiah dengan pos Indonesia, itu juga membutuhkan waktu 2 bulan untuk tiba. Baju-baju juga demikian. Ada banyak baju yang saya beli dengan begitu semangatnya, gaun, kebaya, yang dibuat dengan desain tertentu dan bahan pilihan ke penjahit langganan, tapi banyak sekali yang tidak saya bawa. Saya hanya bawa segala winterwear, pakaian-pakaian dalam, sedikit baju rumahan, beberapa pakaian olahraga, beberapa pakaian kasual, dan beberapa pakaian formal. Piano di rumah juga saya tinggal. Disini, kadang saya merasa kehilangan barang-barang saya, tapi secara bersamaan juga saya mendapat pemahaman bahwa mungkin kita tidak membutuhkan segitu banyaknya. Kalau dulu saya suka belanja online bisa setidaknya dua kali seminggu, disini, saya mau beli sesuatu bisa pikir dulu dua kali. Apa saya memang butuh? Bukannya saya masih punya beberapa? Saya juga mencoba lebih jeli lagi membandingkan harga dan diskon, saya ogah membuang yang bisa dimanfaatkan, misalnya air cuci beras saya tampung airnya di botol, taruh kulkas, lalu saya pakai sebagai toner wajah. Sisa wine di botol yang sudah lama di kulkas saya pakai buat merendam rambut saya. Botol-botol susu dan apapun saya kumpulkan untuk didaur ulang. 

Saya sedang berada dalam transisi dan merasa lebih menikmati hidup. Disini, saya merasa di rumah.



Tentang Teman-Temanan

Saya kagum sama orang yang dengan tegas bilang apa adanya saja bahwa dia tidak punya teman. Entah dia cukup dengan dirinya sendiri saja, atau dia sebenarnya punya teman, tapi dia tidak merasa temannya benar-benar teman. Teman-temanan, teman palsu, supaya kecipratan sesuatu, entah popularitas, status sosial, atau lainnya.

Saya lebih suka hewan dan hutan dibanding orang-orang. Saya lebih senang sendirian dan tidak  pernah merasa kesepian. Tapi saya memilih berada di jalan tengah seperti biasa. Berteman secukupnya dan seperlunya.  Saya tahu mana yang tulus, mana yang palsu. Tapi saya bisa bertemu dengan dua-duanya (asal yang palsu tidak lebih dari beberapa jam dan lebih baik diam). Saya bisa beneran sayang sama teman-teman yang tulus. Tapi ingat, bahkan punya teman yang tulus tidak berarti dia punya pengaruh bagus untuk diri kita. 

Teman yang tulus kadang punya masalah-masalah jiwa sendiri yang bisa menjadi racun buat kita.  Kadang masalah otak juga, misalnya dengan bertanya "Lagi apa?" pada situasi atau gambar yang sangat deskriptif. Ketika mereka cerita iri pada seseorang yang memiliki banyak hal, kita yang tadinya merasa cukup pada kehidupan kita jadi berakting ikutan iri untuk sebahasa dengan mereka, sampai iri betulan. Ketika mereka cerita begitu banyak hal buruk, ingin bunuh diri, bertindak aneh-aneh, tetapi selalu punya alasan untuk tidak berubah ke arah lebih baik dan menolak segala solusi, percayalah kalau mereka hanya senang diperhatikan dan membuat kamu lelah. Ketika kamu punya masalah hidup lalu bercerita pada teman kamu, kamu merasa lega sedikit dan didengarkan, walaupun tidak mendapat solusi kamu tidak keberatan, sampai akhirnya kamu heran dengan teman kamu, yang nampaknya malah menikmati cerita-cerita sedih dari hidup kamu, dan terus meminta cerita lebih. Ketika untuk sesaat kamu merasa bahagia dan menunjukkannya dengan berbagai hal, teman kamu yang (mungkin tulus tapi) beracun tidak bisa membiarkannya dan mencoba merusaknya dengan berbagai sugesti dan pertanyaan yang lebih tepat ditujukan buat diri mereka sendiri. 

Masih banyak contoh lain, tapi sejauh ini saya yakin kalian paham maksud saya. Kalau kalian pernah mengalami atau masih mengalaminya seperti saya, coba lawan mereka. Tunjukkan kalau kalian tidak semudah itu dipengaruhi kenegatifan. Selanjutnya, menjarak.

Jangan lupa sayang pada diri sendiri, supaya tidak butuh kasih sayang palsu dari orang lain yang mengaku teman tapi bisa saja menganggapmu sampah.
Jangan suka pura-pura, selalu ada orang yang bisa melihat dirimu sebenarnya seperti apa.
Kalau menemukan teman yang tulus dan baik, beruntunglah kamu, semoga itu benar!

16 January 2018

Sedikit Berbagi Luka dan Harapan Denganmu yang Membaca

Seharian ini, well dari kemarin, saya cemas dan was-was menunggu dua dus buku yang saya butuhkan tapi belum juga datang. Hari ini sudah hampir dua minggu saya berada di Belanda. Selasa 2 Januari 2018 lalu saya berangkat kesini selama hampir sehari perjalanan dengan direct flight Garuda dan disambung naik Thalys dari Amsterdam ke Rotterdam. Momen perpisahan tanpa batas waktu yang jelas (“Karina sampai kapan disana?” - “Belum tahu pasti..”) dengan teman-teman dan keluarga sebelumnya tidak pernah saya pikirkan, dan waktu terjadi, belum saya pahami.

Bahwa bagi orang-orang yang saling menyayangi, perpisahan adalah momen sentimental yang bisa menyedihkan. Saya memahaminya melalui surat, cendera mata, pelukan, dan air mata. Sedangkan mengenai orang-orang yang senang melukai, perpisahan sudah saya lakukan dengan mereka sejak entah kapan. Haha.

Mesti saya bicarakan dan akui, dalam beberapa bulan belakangan ini perilaku dan tindakan saya agak lebih aneh, bahkan lebih aneh daripada biasanya. Saya tidak produktif, membaca saja tidak sanggup apalagi menulis. Mengajar saja saya lakukan dengan datar. Berbagai ajakan untuk membuat karya ini dan itu atau berbicara ini dan itu saya abaikan, alihkan ke orang lain, atau saya tunda sampai terbengkalai. Itu karena depresi parah yang saya derita memakan sebagian besar diri saya hingga memuncak ke hysteria.

Saya sempat beberapa kali teriak-teriak dan menangis sangat keras dan brutal bahkan bisa menyetrum orang-orang yang menyentuh saya, lalu besok harinya tidur seharian karena lelah.  Sampai sekarang saya masih nyetrum sedikit sih, dan masih tidak bisa menyisir rambut tanpa rambutnya terbang-terbang. Depresi yang saya derita adalah depresi lama sejak saya beranjak remaja dan memikirkan hal-hal buruk yang terjadi pada saya. Depresi itu tidak pernah saya sebut karena saya bisa menanganinya walaupun di tiap harinya saya selalu berada di ambang waras dan tidak waras. Depresi itu seperti bayangan yang selalu mengikuti, yang kadang saya ladeni atau saya abaikan, atau seperti endapan di minuman yang kadang muncul ke permukaan bila terguncang sesuatu. Entah bagaimana cara saya dulu melalui hari dan berakrobat dengan kuliah, tugas kuliah, mengajar piano, mengajar bahasa, beberapa organisasi dan ikatan, bekerja di kantor, berberes rumah, dan memelihara hewan. Saya tidak tahu, yang jelas pikiran dan fisik saya berakrobat dengan konyol. Bukan hal bijak untuk dilakukan sebab sejak saya kecil fisik saya sudah lemah dan hampir mati juga. Tapi saya dulu tidak suka menerima keadaan dan tidak suka dianggap lemah. Jadi dengan segala sirkus itu, waktu umur saya 22 tahun saya sempat sakit lever selama sebulan, hanya bisa tiduran di tempat tidur dan mungkin hampir mati (yang tahu hal ini sebelumnya, hanya keluarga inti saya, karena saya tidak mau dijenguk oleh siapapun). Sakit lever itu, kata dokter, karena terlalu capek untuk waktu lama. Saya lalu dianjurkan mengurangi kegiatan. Tapi bandelnya saya, lalu umur 24 tahun saya sempat mens hampir sebulan, dan waktu itu memang menjalani sirkus yang serupa. Mens hampir sebulan itu, kata dokter, karena terlalu capek. Saya lalu berhenti mengajar piano karena waktu itu lebih memilih bekerja di kantor sambil kuliah S2 (lalu saya berhenti bekerja di kantor karena terlalu jauh dan perjalanan 19 stasiun sambil berdiri itu terlalu melelahkan buat saya bahkan setelah minum vitamin, madu, atau bergelas-gelas temulawak). Saya tidak pernah suka berlagak lemah, bahkan tidak ingin ada yang tahu bahwa fisik saya lemah dan setelah lever jadi tidak bisa terlalu lelah. Tapi, sekarang saya pikir mungkin ada bagusnya orang tahu bahwa saya punya banyak kekurangan itu. Biasanya, fisik saya lemah, tapi pikiran saya cukup kuat. Tetapi dengan depresi parah itu, dua aspek penting dari diri saya seperti hilang sudah. Saya sempat putus asa.

Tentu, orang yang mengalami depresi akan menghadapinya dengan cara berbeda. Banyak yang menikmatinya saja karena memang masokis, banyak yang ingin atau kecanduan berkonsultasi dengan psikolog. Banyak yang memang sangat clueless atau ingin bicara dengan orang yang mereka anggap akan mengerti dan membantu mereka. Tetapi karena saya pernah belajar psikologi, saya tahu bahwa kemampuan terbaik psikolog adalah mendengarkan dan menganalisa, bukan menyembuhkan. Juga, saya tahu bahwa beberapa orang hanya senang berbicara dan ingin didengarkan karena biasanya tidak berkesempatan. Saya kenal teman yang kondisinya tak kunjung membaik, tak peduli seberapa rajin dia datang ke beberapa psikolog selama bertahun-tahun. Buat saya, yang penting adalah mengetahui penyebabnya dan apa solusinya. Saya paling kenal diri saya sendiri, lebih dari orang lain. Saya tahu betul apa penyebabnya, atau penyebab-penyebabnya, karena depresi tidak hanya datang dari satu faktor. Sedangkan solusi, atau solusi-solusinya, buat saya pada saat itu tidak dapat semuanya dilakukan karena berbagai keterbatasan. Tetapi untungnya saya sempat rajin yoga selama setengah tahun (yoga ini di latarbelakangi juga oleh skoliosis yang saya derita, setelah diagnosis dan rontgen, dokter juga memberi prediksi yang membuat ngilu bahwa saya bakal sangat sakit di punggung dan leher kalau hamil, kemudian saya juga menjalani bersesi-sesi fisioterapi membosankan) dan yoga itu cukup membantu fisik saya walau tidak sepenuhnya membantu pikiran saya. Bayangkan memiliki sakit begitu banyak dan pura-pura baik-baik saja ke orang-orang yang saya temui tiap hari!

Fakta bahwa sekarang saya bisa menulis tentang hal-hal itu dan bisa menerima mereka sebagai fakta, adalah pertanda bagus. Sebab artinya, saya sudah sedikit mampu melampauinya. Saya mesti berterima kasih pada Tuhan semesta alam, juga alam semesta, karena mengizinkan saya pergi jauh ke tempat yang lebih indah dan asri, menghirup udara dan minum air yang lebih segar, melihat pemandangan keseharian yang tak hentinya memukau, dan merasakan keharuan dan keajaiban lagi. Harum lautan, sungai, danau, hujan, tanah dan rumput basah, kabut, angin, dan suara gerombolan burung terbang yang tertawa, segala keindahan dan kedamaian itu menyejukkan pikiran saya.

Berita-berita di tanah air, yang biasanya memuakkan saya dan membuat saya makin suram selama berjam-jam, sekarang saya tanggapi dengan berbeda. Misalnya begitu mendengar adik saya cerita bahwa dia hari itu tertahan dan tidak bisa pulang dari kantor ke kosannya karena ada demo FPI di kantor Facebook (mereka dibanned karena hate speech, jadi mereka merengek kesel banget sebagai anak zaman now karena gak bisa main Facebook buat bisnis, ngepost hoax, bicara kasar, meramu kebencian, dan memicu kekerasan lainnya), saya cuma khawatir sama adik saya dan masa bodoh banget sama FPI. I just don’t give a fuck anymore. Walaupun saya tahu secara kausalitas hal itu tidak mencukupi.

Jarak membuat saya cuma ingin peduli sama diri saya dan orang-orang yang saya sayangi. Jarak menghemat emosi saya ke hal-hal bodoh yang tidak penting. Jarak membuat saya berubah. Sebagai INFJ sejati (saya ikut personality test itu tahun 2015, dan oya hati-hati karena banyak INFJ palsu yang sebenarnya INFP atau ISFP atau lainnya, tapi mereka menjawab tes dengan tidak jujur karena ingin menjadi yang bukan dirinya, duh kok tes kepribadian aja bohong ya, jadi punya kepribadian atau nggak sih?), seperti kata suami saya, karena saya betul-betul persis seperti segala macam hal dalam deskripsi INFJ itu (walaupun beberapa akademisi belum menerima legitimasinya, juga MBTI masih berkekurangan seperti tidak adanya skala berapa per tipe kepribadian, sejauh ini tipe-tipe kepribadian itu cukup berguna buat saya, dan saya tahu bahwa ilmu pengetahuan terus berubah dan tidak steril). Sensitif dan terlalu peduli adalah salah satu kekuatan dan kelemahan saya. Meskipun saya lebih sering diam, tetapi saya memahami betul perasaan orang-orang di sekeliling saya. Perasaan orang-orang itu juga mempengaruhi dan menjadi perasaan saya. Baca berita juga seperti itu. Karena saya punya pandangan ideal tentang bagaimana dunia seharusnya dan bagaimana orang-orang bertingkah laku satu sama lain seharusnya (baik dan benar berdasarkan hukum moral universal, bukan yang buatan dan ala-ala blabla yang sudah terkontaminasi kepentingan-kepentingan), saya seringkali kecewa pada dunia. Dunia menyakiti saya tiap hari dan saya menderita karenanya.

Tetapi selain jarak, dunia saya disini juga lebih indah, dengan mayoritas orang-orang tanpa agama yang malah lebih bermoral daripada mayoritas orang-orang beragama di Indonesia. Sekarang saya mulai merasa bersahabat dengan dunia. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya yang hampir 27 tahun ini.

Di tahun yang baru ini, saya berdoa semoga keluarga saya, terutama mama saya mendapat kebahagiaan, kemakmuran, dan bersyukur karenanya. Semoga orang-orang, hewan-hewan, dan tumbuh-tumbuhan yang menderita, kelaparan, dan membutuhkan pertolongan dibantu dan diringankan penderitaannya. Semoga teman-teman saya mendapat kebahagiaan, kemakmuran, kedewasaan, dan bersyukur karenanya. Semoga saya bisa lebih positif menghadapi hari-hari, lebih banyak bersyukur dan bisa memanfaatkan apa yang saya miliki dan yang ada di hadapan saya untuk tujuan yang lebih besar daripada diri saya dan bermanfaat untuk orang-orang. Oh, dan semoga dua dus buku yang saya perlukan itu cepat datang. 

Kenapa. Ini. Hampir kayak diary?