Dominique Janicaud menulis buku
yang dalam bahasa Prancis berjudul L‘homme
va-t il depasser l’humain? Dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
menjadi On the Human Condition. Dalam
judul bahasa Prancisnya yang berbentuk kalimat tanya kita akan mendapatkan
petunjuk bahwa penulisnya sedang bertanya, atau sedang berupaya melakukan
pencarian makna, sedangkan dalam terjemahan judul bahasa Inggrisnya, dibuat
gambaran besar penyederhanaan atas isi buku ini dalam bentuk kalimat berita.
Dalam buku ini Janicaud berupaya
mencari makna kemanusiaan khususnya pada masa kehidupannya yaitu di zaman
kontemporer yang penuh dengan teknologi mencengangkan. Bila dibuat dalam bentuk
Thesis Statement kira-kira seperti
ini, “Makna Kemanusiaan Selalu Merupakan Paradoks dan Enigma Entah di Zaman
Apapun”. Selalu ada sesuatu yang dianggap membingungkan pada zamannya, dan
disaat bersamaan, selalu ada potensi dan posibilitas yang membuat hal tersebut
dapat berubah dan bergeser maknanya pada zaman berikutnya.
Melalui metodologi fenomenologi dan
hermeneutiknya, Janicaud melihat fenomena kondisi manusia di zaman kontemporer
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kemudian ia menelaah
kembali teks-teks dari filsuf sebelumnya mengenai tema kemanusiaan, dan ia
menggabungkan kontemplasi antroposentrisnya dengan pengalamannya sebagai
manusia yang hidup pada zaman kontemporer karena sepertinya ia menyadari bahwa
kebenaran yang ingin dicarinya dapat didekati hanya dengan memahami pengalamannya.
Janicaud kiranya memiliki proposal
filosofis yang mempertanyakan bagaimana kondisi kemanusiaan seiring dengan
keinginan manusia untuk mendominasi ilmu pengetahuan seperti yang tampak pada
zaman sekarang ditengah maraknya yang pasca-manusia seperti penemuan cloning, artificial intelligence,
modifikasi genetik, dan sebagainya. Ia menyusuri konsep inhuman yang merupakan sisi lain dari manusia yang memiliki
kualitas human. Ia juga melihat bahwa
manusia begitu tertarik dengan konsep superhuman
sehingga agaknya terpacu untuk menciptakan sesuatu atau melakukan sesuatu yang
dapat melampaui kemanusiaannya. Ironisnya, Janicaud meninjau sejarah bahwa
disaat bersamaan, ketika konsep superhuman
memacu manusia untuk mencapai keidealan, tindakan untuk mewujudkan yang ideal
justru seringkali merupakan tindakan inhuman
yang mengerikan. Metaforanya, he who
wants to play the angel plays the beast. Kini dengan segala perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi seakan batasan manusia terlampaui, manusia dapat
melakukan dan menghasilkan sesuatu yang sebelumnya dikatakan tidak mungkin. Kiranya
Janicaud ingin menelaah lebih mengenai: Apakah makna kemanusiaan? Apakah ditemukan
sesuatu yang disebut makna kemanusiaan itu? Bagaimana kita dapat membayangkan
kemungkinan manusia dapat melampaui manusia bila secara sederhana kita tidak
dapat sepakat mengenai makna kemanusiaan dari manusia itu sendiri? Apakah
menjadi seorang humanis mencukupi untuk memahami manusia dan berbagai
paradoksnya?
Dapat dikatakan bahwa manusia merupakan
makhluk yang berkemampuan mempertanyakan makna dari keberadaannya, dan beberapa
diantara manusia tersebut bahkan lebih luas lagi dapat mempertanyakan makna
dari kemanusiaan itu sendiri. Hal ini selalu terdapat pada setiap zaman, dari
kejayaan Yunani kuno, abad pertengahan, hingga masa kontemporer kini, ada saja manusia
yang mempertimbangkan hal-hal tersebut. Ada saja filsuf yang berupaya
mendeskripsikan mengenai manusia dan kemanusiaan. Makna kemanusiaan juga
memiliki tantangan yang berbeda-beda di setiap zamannya. Misalnya, pada zaman
dulu, eksekusi berupa pemenggalan kepala merupakan hiburan yang menyenangkan bagi
orang-orang, namun pada zaman sekarang, hal tersebut justru dianggap mengerikan
dan dijadikan perdebatan yang berkaitan dengan HAM, dan moralitas. Misalnya
juga, bila di abad pertengahan dilontarkan pertanyaan seperti “Apakah makhluk
yang terbang dari Paris ke Roma dalam 2 jam dapat disebut manusia?”, orang di
abad pertengahan pasti menjawab “Bukan, itu burung atau malaikat. Itu bukan
manusia”. Namun nyatanya kita mengetahui bahwa di zaman sekarang ini makhluk
yang terbang dari Paris ke Roma dalam 2 jam adalah manusia yang naik pesawat.
Pada zaman sekarang bila kita diberi pertanyaan “Apakah makhluk elektronik yang
direproduksi dari kloning dapat disebut manusia?”, mungkin kita akan bingung
menjawabnya, karena memikirkan bahwa hal itu sangat aneh. Namun kita juga akan
teringat pada zaman sebelumnya hal yang kelihatannya tidak mungkin, dan gaib,
justru menjadi hal yang biasa-biasa saja di masa depan.
Pemikiran Heidegger dan Sartre yang mengkonsepsikan kemanusiaan yang berbeda
dengan pandangan klasik direfleksikan lagi olehnya. Heidegger mengkritik Sartre yang mengatakan bahwa
“Manusia adalah pencipta eksistensinya sendiri”, menurut Heidegger, Sartre
tidak mengetahui betul pertanyaan lebih besar seperti eksistensi dunia dan
being, sedangkan menurut Heidegger justru relasi manusia dengan dunialah yang
membuat eksistensinya muncul. Kemudian, Heidegger dikritik oleh Janicaud yang mengatakan
bahwa kita tidak dapat mencapai yang disebut Heidegger sebagai the truth of being, dan menurutnya
merupakan hal yang keliru bahwa Heidegger percaya bahwa kita dapat meninggalkan
metafisika. Menurutnya, metafisika yang disebut Heidegger mencapai vollendung atau completion nyatanya tetap berlanjut, continues. Sehingga tugas pikiran seharusnya bukanlah memikirkan
mengenai the truth of being,
melainkan melakukan pemikiran filosofis yang rasional yang dapat menghindari
dikotomi Heideggerian antara metafisika dan pemikiran tentang being.
Janicaud juga mengkritik Nietzsche
yang menyatakan bahwa “the man is
something to be overcome”. Menurutnya, yang perlu untuk dilampaui adalah
hasrat untuk melampaui itu sendiri, karena menurutnya manusia sebagai being tugasnya bukan melampaui dan
mengatasi, melainkan mengalami, undergone.
Karakter manusia tidak begitu saja dapat diatasi dan dilampaui dengan perubahan
metafisika, karena hasrat manusia untuk melampaui merupakan hal yang datang
dari kualitas kebebasan yang dimiliki oleh manusia.
Menurut Janicaud, makna dari kemanusiaan
itu sendiri juga merupakan paradoks, masalah, dan enigma. Manusia mengandung
hal-hal yang bersifat berlawanan seperti baik-buruk, karakter malaikat-karakter
iblis, dan pasca manusia-tidak berkemanusiaan. Kondisi manusia menurutnya
merupakan pertanyaan untuk dieksplorasi lebih lanjut, bukan sekedar susunan
kata sifat untuk diasumsi. Manusia bagaikan sebuah koin yang mengandung kedua
sisi begitu berbeda, disatu sisi mengandung kualitas human dan disisi lain mengandung kualitas inhuman. Dari segala makhluk animalia, hanya manusia yang dapat
disebut inhuman jika ia melakukan
kekejian dan kesadisan, karena sebenarnya ia memiliki potensi dan martabat
untuk menjadi human yang hebat.
Konsep mengenai monster sudah ada sejak zaman dahulu, konsep monster ini dekat
dengan nilai etis yang melihat monster sebagai sesuatu yang keji, tidak
berperikemanusiaan. Banyak sekali kisah mengenai monster yang destruktif
seperti hydra, naga, dan sebagainya. Selain monster fiktif tersebut, terdapat
pula monster dalam sejarah seperti Hitler, Pol Pot, dan sebagainya hingga
kiranya membuktikan bahwa manusia dapat mengalami kesulitan untuk menemukan
keseimbangan antara kebaikan dan keburukan, dan ‘terjerumus’ karena terkadang
kegelapan terlihat lebih menarik daripada cahaya. Kita mengetahui bahwa dalam
diri kita terdapat monster yang tertidur. Pada masa kontemporer ini, menurut
Janicaud, tantangan kita bukan lagi sekedar menghadapi monster moral tersebut,
karena ada tambahan lain di zaman ini berupa monster teknologi, hasil
manipulasi sistematis dari manusia.
Dengan pengaruh dari teknologi dan
ilmu pengetahuan, manusia tidak lagi terkungkung oleh tabu seperti pada masa
sebelumnya. Kini atas nama ilmu pengetahuan, fertilisasi in vitro, penjualan
sperma, kloning, bahkan usia dan harapan hidup manusia dapat diperpanjang.
Janicaud menerka-nerka bagaimana kelanjutan hal ini, ia menyusuri akibat dari
keinginan manusia untuk mendominasi ilmu pengetahuan (seperti pada zaman
kontemporer ini) dengan meninjau kisah di Injil seperti Adam dan Hawa yang
memakan buah dari pohon pengetahuan, juga kisah Frankenstein yang menciptakan
makhluk hidup dari potongan tubuh manusia yang mati. Kisah-kisah tersebut
agaknya memiliki pesan bahwa godaan untuk mendominasi pengetahuan yang awalnya
memang terlihat begitu mempesona, justru akan mendatangkan kengerian dan
malapetaka.
Nietzsche merupakan filsuf yang
memperkenalkan term superhuman,
dengan mengatakan bahwa “Man is something
that should be overcome, what have you done to overcome him?”, dan hal ini
cukup mempengaruhi beberapa pemikiran tokoh seperti misalnya Hitler yang ingin
menguasai dunia karena tergugah oleh ke-super-an, atau juga film Hollywood
Superman yang menyajikan manusia yang memiliki kemampuan super yang merupakan
perwujudan dari khayalan manusia, kekuatan, kehebatan, dan sebagainya. Manusia yang
melampaui manusia itu sendiri menjadi impian manusia. Namun seperti yang kita
ketahui, baik utopia dari Hitler dan Stalin, dengan ide mereka yang menggugah
mengenai kejayaan ras tertentu, kemanusiaan yang tak terkalahkan, dan
sebagainya, ide-ide untuk mewujudkan keidealan superhuman tersebut justru penuh dengan aksi inhuman yang mengerikan.
Kemanusiaan memang sesuatu yang
rapuh, dan membingungkan. Para humanis mungkin tidak akan disebut humanis tanpa
adanya perang atau genosida. Sepanjang zaman manusia akan terus berjuang
menemukan keseimbangan antara sisi baik dan buruknya. Kita tidak dapat mengetahui
dengan pasti kelanjutan dari pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi bagi
kemanusiaan, namun yang dapat kita ketahui adalah kemanusiaan tidak akan pudar
betapapun inhumannya segala hal yang
diproduksi dari teknologi, karena semuanya akan tetap merujuk pada manusia yang
menciptakannya, yang menggunakannya dan memberikan maknanya.