28 December 2012

On the Human Condition


Dominique Janicaud menulis buku yang dalam bahasa Prancis berjudul L‘homme va-t il depasser l’humain? Dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi On the Human Condition. Dalam judul bahasa Prancisnya yang berbentuk kalimat tanya kita akan mendapatkan petunjuk bahwa penulisnya sedang bertanya, atau sedang berupaya melakukan pencarian makna, sedangkan dalam terjemahan judul bahasa Inggrisnya, dibuat gambaran besar penyederhanaan atas isi buku ini dalam bentuk kalimat berita.

Dalam buku ini Janicaud berupaya mencari makna kemanusiaan khususnya pada masa kehidupannya yaitu di zaman kontemporer yang penuh dengan teknologi mencengangkan. Bila dibuat dalam bentuk Thesis Statement kira-kira seperti ini, “Makna Kemanusiaan Selalu Merupakan Paradoks dan Enigma Entah di Zaman Apapun”. Selalu ada sesuatu yang dianggap membingungkan pada zamannya, dan disaat bersamaan, selalu ada potensi dan posibilitas yang membuat hal tersebut dapat berubah dan bergeser maknanya pada zaman berikutnya.

Melalui metodologi fenomenologi dan hermeneutiknya, Janicaud melihat fenomena kondisi manusia di zaman kontemporer dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kemudian ia menelaah kembali teks-teks dari filsuf sebelumnya mengenai tema kemanusiaan, dan ia menggabungkan kontemplasi antroposentrisnya dengan pengalamannya sebagai manusia yang hidup pada zaman kontemporer karena sepertinya ia menyadari bahwa kebenaran yang ingin dicarinya dapat didekati hanya dengan memahami pengalamannya.

Janicaud kiranya memiliki proposal filosofis yang mempertanyakan bagaimana kondisi kemanusiaan seiring dengan keinginan manusia untuk mendominasi ilmu pengetahuan seperti yang tampak pada zaman sekarang ditengah maraknya yang pasca-manusia seperti penemuan cloning, artificial intelligence, modifikasi genetik, dan sebagainya. Ia menyusuri konsep inhuman yang merupakan sisi lain dari manusia yang memiliki kualitas human. Ia juga melihat bahwa manusia begitu tertarik dengan konsep superhuman sehingga agaknya terpacu untuk menciptakan sesuatu atau melakukan sesuatu yang dapat melampaui kemanusiaannya. Ironisnya, Janicaud meninjau sejarah bahwa disaat bersamaan, ketika konsep superhuman memacu manusia untuk mencapai keidealan, tindakan untuk mewujudkan yang ideal justru seringkali merupakan tindakan inhuman yang mengerikan. Metaforanya, he who wants to play the angel plays the beast. Kini dengan segala perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seakan batasan manusia terlampaui, manusia dapat melakukan dan menghasilkan sesuatu yang sebelumnya dikatakan tidak mungkin. Kiranya Janicaud ingin menelaah lebih mengenai: Apakah makna kemanusiaan? Apakah ditemukan sesuatu yang disebut makna kemanusiaan itu? Bagaimana kita dapat membayangkan kemungkinan manusia dapat melampaui manusia bila secara sederhana kita tidak dapat sepakat mengenai makna kemanusiaan dari manusia itu sendiri? Apakah menjadi seorang humanis mencukupi untuk memahami manusia dan berbagai paradoksnya?

Dapat dikatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang berkemampuan mempertanyakan makna dari keberadaannya, dan beberapa diantara manusia tersebut bahkan lebih luas lagi dapat mempertanyakan makna dari kemanusiaan itu sendiri. Hal ini selalu terdapat pada setiap zaman, dari kejayaan Yunani kuno, abad pertengahan, hingga masa kontemporer kini, ada saja manusia yang mempertimbangkan hal-hal tersebut. Ada saja filsuf yang berupaya mendeskripsikan mengenai manusia dan kemanusiaan. Makna kemanusiaan juga memiliki tantangan yang berbeda-beda di setiap zamannya. Misalnya, pada zaman dulu, eksekusi berupa pemenggalan kepala merupakan hiburan yang menyenangkan bagi orang-orang, namun pada zaman sekarang, hal tersebut justru dianggap mengerikan dan dijadikan perdebatan yang berkaitan dengan HAM, dan moralitas. Misalnya juga, bila di abad pertengahan dilontarkan pertanyaan seperti “Apakah makhluk yang terbang dari Paris ke Roma dalam 2 jam dapat disebut manusia?”, orang di abad pertengahan pasti menjawab “Bukan, itu burung atau malaikat. Itu bukan manusia”. Namun nyatanya kita mengetahui bahwa di zaman sekarang ini makhluk yang terbang dari Paris ke Roma dalam 2 jam adalah manusia yang naik pesawat. Pada zaman sekarang bila kita diberi pertanyaan “Apakah makhluk elektronik yang direproduksi dari kloning dapat disebut manusia?”, mungkin kita akan bingung menjawabnya, karena memikirkan bahwa hal itu sangat aneh. Namun kita juga akan teringat pada zaman sebelumnya hal yang kelihatannya tidak mungkin, dan gaib, justru menjadi hal yang biasa-biasa saja di masa depan.

Pemikiran Heidegger dan Sartre yang mengkonsepsikan kemanusiaan yang berbeda dengan pandangan klasik direfleksikan lagi olehnya. Heidegger mengkritik Sartre yang mengatakan bahwa “Manusia adalah pencipta eksistensinya sendiri”, menurut Heidegger, Sartre tidak mengetahui betul pertanyaan lebih besar seperti eksistensi dunia dan being, sedangkan menurut Heidegger justru relasi manusia dengan dunialah yang membuat eksistensinya muncul. Kemudian, Heidegger dikritik oleh Janicaud yang mengatakan bahwa kita tidak dapat mencapai yang disebut Heidegger sebagai the truth of being, dan menurutnya merupakan hal yang keliru bahwa Heidegger percaya bahwa kita dapat meninggalkan metafisika. Menurutnya, metafisika yang disebut Heidegger mencapai vollendung atau completion nyatanya tetap berlanjut, continues. Sehingga tugas pikiran seharusnya bukanlah memikirkan mengenai the truth of being, melainkan melakukan pemikiran filosofis yang rasional yang dapat menghindari dikotomi Heideggerian antara metafisika dan pemikiran tentang being.

Janicaud juga mengkritik Nietzsche yang menyatakan bahwa “the man is something to be overcome”. Menurutnya, yang perlu untuk dilampaui adalah hasrat untuk melampaui itu sendiri, karena menurutnya manusia sebagai being tugasnya bukan melampaui dan mengatasi, melainkan mengalami, undergone. Karakter manusia tidak begitu saja dapat diatasi dan dilampaui dengan perubahan metafisika, karena hasrat manusia untuk melampaui merupakan hal yang datang dari kualitas kebebasan yang dimiliki oleh manusia.

Menurut Janicaud, makna dari kemanusiaan itu sendiri juga merupakan paradoks, masalah, dan enigma. Manusia mengandung hal-hal yang bersifat berlawanan seperti baik-buruk, karakter malaikat-karakter iblis, dan pasca manusia-tidak berkemanusiaan. Kondisi manusia menurutnya merupakan pertanyaan untuk dieksplorasi lebih lanjut, bukan sekedar susunan kata sifat untuk diasumsi. Manusia bagaikan sebuah koin yang mengandung kedua sisi begitu berbeda, disatu sisi mengandung kualitas human dan disisi lain mengandung kualitas inhuman. Dari segala makhluk animalia, hanya manusia yang dapat disebut inhuman jika ia melakukan kekejian dan kesadisan, karena sebenarnya ia memiliki potensi dan martabat untuk menjadi human yang hebat. Konsep mengenai monster sudah ada sejak zaman dahulu, konsep monster ini dekat dengan nilai etis yang melihat monster sebagai sesuatu yang keji, tidak berperikemanusiaan. Banyak sekali kisah mengenai monster yang destruktif seperti hydra, naga, dan sebagainya. Selain monster fiktif tersebut, terdapat pula monster dalam sejarah seperti Hitler, Pol Pot, dan sebagainya hingga kiranya membuktikan bahwa manusia dapat mengalami kesulitan untuk menemukan keseimbangan antara kebaikan dan keburukan, dan ‘terjerumus’ karena terkadang kegelapan terlihat lebih menarik daripada cahaya. Kita mengetahui bahwa dalam diri kita terdapat monster yang tertidur. Pada masa kontemporer ini, menurut Janicaud, tantangan kita bukan lagi sekedar menghadapi monster moral tersebut, karena ada tambahan lain di zaman ini berupa monster teknologi, hasil manipulasi sistematis dari manusia.

Dengan pengaruh dari teknologi dan ilmu pengetahuan, manusia tidak lagi terkungkung oleh tabu seperti pada masa sebelumnya. Kini atas nama ilmu pengetahuan, fertilisasi in vitro, penjualan sperma, kloning, bahkan usia dan harapan hidup manusia dapat diperpanjang. Janicaud menerka-nerka bagaimana kelanjutan hal ini, ia menyusuri akibat dari keinginan manusia untuk mendominasi ilmu pengetahuan (seperti pada zaman kontemporer ini) dengan meninjau kisah di Injil seperti Adam dan Hawa yang memakan buah dari pohon pengetahuan, juga kisah Frankenstein yang menciptakan makhluk hidup dari potongan tubuh manusia yang mati. Kisah-kisah tersebut agaknya memiliki pesan bahwa godaan untuk mendominasi pengetahuan yang awalnya memang terlihat begitu mempesona, justru akan mendatangkan kengerian dan malapetaka.

Nietzsche merupakan filsuf yang memperkenalkan term superhuman, dengan mengatakan bahwa “Man is something that should be overcome, what have you done to overcome him?”, dan hal ini cukup mempengaruhi beberapa pemikiran tokoh seperti misalnya Hitler yang ingin menguasai dunia karena tergugah oleh ke-super-an, atau juga film Hollywood Superman yang menyajikan manusia yang memiliki kemampuan super yang merupakan perwujudan dari khayalan manusia, kekuatan, kehebatan, dan sebagainya. Manusia yang melampaui manusia itu sendiri menjadi impian manusia. Namun seperti yang kita ketahui, baik utopia dari Hitler dan Stalin, dengan ide mereka yang menggugah mengenai kejayaan ras tertentu, kemanusiaan yang tak terkalahkan, dan sebagainya, ide-ide untuk mewujudkan keidealan superhuman tersebut justru penuh dengan aksi inhuman yang mengerikan.

Kemanusiaan memang sesuatu yang rapuh, dan membingungkan. Para humanis mungkin tidak akan disebut humanis tanpa adanya perang atau genosida. Sepanjang zaman manusia akan terus berjuang menemukan keseimbangan antara sisi baik dan buruknya. Kita tidak dapat mengetahui dengan pasti kelanjutan dari pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemanusiaan, namun yang dapat kita ketahui adalah kemanusiaan tidak akan pudar betapapun inhumannya segala hal yang diproduksi dari teknologi, karena semuanya akan tetap merujuk pada manusia yang menciptakannya, yang menggunakannya dan memberikan maknanya.