28 December 2012

On the Human Condition


Dominique Janicaud menulis buku yang dalam bahasa Prancis berjudul L‘homme va-t il depasser l’humain? Dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi On the Human Condition. Dalam judul bahasa Prancisnya yang berbentuk kalimat tanya kita akan mendapatkan petunjuk bahwa penulisnya sedang bertanya, atau sedang berupaya melakukan pencarian makna, sedangkan dalam terjemahan judul bahasa Inggrisnya, dibuat gambaran besar penyederhanaan atas isi buku ini dalam bentuk kalimat berita.

Dalam buku ini Janicaud berupaya mencari makna kemanusiaan khususnya pada masa kehidupannya yaitu di zaman kontemporer yang penuh dengan teknologi mencengangkan. Bila dibuat dalam bentuk Thesis Statement kira-kira seperti ini, “Makna Kemanusiaan Selalu Merupakan Paradoks dan Enigma Entah di Zaman Apapun”. Selalu ada sesuatu yang dianggap membingungkan pada zamannya, dan disaat bersamaan, selalu ada potensi dan posibilitas yang membuat hal tersebut dapat berubah dan bergeser maknanya pada zaman berikutnya.

Melalui metodologi fenomenologi dan hermeneutiknya, Janicaud melihat fenomena kondisi manusia di zaman kontemporer dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kemudian ia menelaah kembali teks-teks dari filsuf sebelumnya mengenai tema kemanusiaan, dan ia menggabungkan kontemplasi antroposentrisnya dengan pengalamannya sebagai manusia yang hidup pada zaman kontemporer karena sepertinya ia menyadari bahwa kebenaran yang ingin dicarinya dapat didekati hanya dengan memahami pengalamannya.

Janicaud kiranya memiliki proposal filosofis yang mempertanyakan bagaimana kondisi kemanusiaan seiring dengan keinginan manusia untuk mendominasi ilmu pengetahuan seperti yang tampak pada zaman sekarang ditengah maraknya yang pasca-manusia seperti penemuan cloning, artificial intelligence, modifikasi genetik, dan sebagainya. Ia menyusuri konsep inhuman yang merupakan sisi lain dari manusia yang memiliki kualitas human. Ia juga melihat bahwa manusia begitu tertarik dengan konsep superhuman sehingga agaknya terpacu untuk menciptakan sesuatu atau melakukan sesuatu yang dapat melampaui kemanusiaannya. Ironisnya, Janicaud meninjau sejarah bahwa disaat bersamaan, ketika konsep superhuman memacu manusia untuk mencapai keidealan, tindakan untuk mewujudkan yang ideal justru seringkali merupakan tindakan inhuman yang mengerikan. Metaforanya, he who wants to play the angel plays the beast. Kini dengan segala perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seakan batasan manusia terlampaui, manusia dapat melakukan dan menghasilkan sesuatu yang sebelumnya dikatakan tidak mungkin. Kiranya Janicaud ingin menelaah lebih mengenai: Apakah makna kemanusiaan? Apakah ditemukan sesuatu yang disebut makna kemanusiaan itu? Bagaimana kita dapat membayangkan kemungkinan manusia dapat melampaui manusia bila secara sederhana kita tidak dapat sepakat mengenai makna kemanusiaan dari manusia itu sendiri? Apakah menjadi seorang humanis mencukupi untuk memahami manusia dan berbagai paradoksnya?

Dapat dikatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang berkemampuan mempertanyakan makna dari keberadaannya, dan beberapa diantara manusia tersebut bahkan lebih luas lagi dapat mempertanyakan makna dari kemanusiaan itu sendiri. Hal ini selalu terdapat pada setiap zaman, dari kejayaan Yunani kuno, abad pertengahan, hingga masa kontemporer kini, ada saja manusia yang mempertimbangkan hal-hal tersebut. Ada saja filsuf yang berupaya mendeskripsikan mengenai manusia dan kemanusiaan. Makna kemanusiaan juga memiliki tantangan yang berbeda-beda di setiap zamannya. Misalnya, pada zaman dulu, eksekusi berupa pemenggalan kepala merupakan hiburan yang menyenangkan bagi orang-orang, namun pada zaman sekarang, hal tersebut justru dianggap mengerikan dan dijadikan perdebatan yang berkaitan dengan HAM, dan moralitas. Misalnya juga, bila di abad pertengahan dilontarkan pertanyaan seperti “Apakah makhluk yang terbang dari Paris ke Roma dalam 2 jam dapat disebut manusia?”, orang di abad pertengahan pasti menjawab “Bukan, itu burung atau malaikat. Itu bukan manusia”. Namun nyatanya kita mengetahui bahwa di zaman sekarang ini makhluk yang terbang dari Paris ke Roma dalam 2 jam adalah manusia yang naik pesawat. Pada zaman sekarang bila kita diberi pertanyaan “Apakah makhluk elektronik yang direproduksi dari kloning dapat disebut manusia?”, mungkin kita akan bingung menjawabnya, karena memikirkan bahwa hal itu sangat aneh. Namun kita juga akan teringat pada zaman sebelumnya hal yang kelihatannya tidak mungkin, dan gaib, justru menjadi hal yang biasa-biasa saja di masa depan.

Pemikiran Heidegger dan Sartre yang mengkonsepsikan kemanusiaan yang berbeda dengan pandangan klasik direfleksikan lagi olehnya. Heidegger mengkritik Sartre yang mengatakan bahwa “Manusia adalah pencipta eksistensinya sendiri”, menurut Heidegger, Sartre tidak mengetahui betul pertanyaan lebih besar seperti eksistensi dunia dan being, sedangkan menurut Heidegger justru relasi manusia dengan dunialah yang membuat eksistensinya muncul. Kemudian, Heidegger dikritik oleh Janicaud yang mengatakan bahwa kita tidak dapat mencapai yang disebut Heidegger sebagai the truth of being, dan menurutnya merupakan hal yang keliru bahwa Heidegger percaya bahwa kita dapat meninggalkan metafisika. Menurutnya, metafisika yang disebut Heidegger mencapai vollendung atau completion nyatanya tetap berlanjut, continues. Sehingga tugas pikiran seharusnya bukanlah memikirkan mengenai the truth of being, melainkan melakukan pemikiran filosofis yang rasional yang dapat menghindari dikotomi Heideggerian antara metafisika dan pemikiran tentang being.

Janicaud juga mengkritik Nietzsche yang menyatakan bahwa “the man is something to be overcome”. Menurutnya, yang perlu untuk dilampaui adalah hasrat untuk melampaui itu sendiri, karena menurutnya manusia sebagai being tugasnya bukan melampaui dan mengatasi, melainkan mengalami, undergone. Karakter manusia tidak begitu saja dapat diatasi dan dilampaui dengan perubahan metafisika, karena hasrat manusia untuk melampaui merupakan hal yang datang dari kualitas kebebasan yang dimiliki oleh manusia.

Menurut Janicaud, makna dari kemanusiaan itu sendiri juga merupakan paradoks, masalah, dan enigma. Manusia mengandung hal-hal yang bersifat berlawanan seperti baik-buruk, karakter malaikat-karakter iblis, dan pasca manusia-tidak berkemanusiaan. Kondisi manusia menurutnya merupakan pertanyaan untuk dieksplorasi lebih lanjut, bukan sekedar susunan kata sifat untuk diasumsi. Manusia bagaikan sebuah koin yang mengandung kedua sisi begitu berbeda, disatu sisi mengandung kualitas human dan disisi lain mengandung kualitas inhuman. Dari segala makhluk animalia, hanya manusia yang dapat disebut inhuman jika ia melakukan kekejian dan kesadisan, karena sebenarnya ia memiliki potensi dan martabat untuk menjadi human yang hebat. Konsep mengenai monster sudah ada sejak zaman dahulu, konsep monster ini dekat dengan nilai etis yang melihat monster sebagai sesuatu yang keji, tidak berperikemanusiaan. Banyak sekali kisah mengenai monster yang destruktif seperti hydra, naga, dan sebagainya. Selain monster fiktif tersebut, terdapat pula monster dalam sejarah seperti Hitler, Pol Pot, dan sebagainya hingga kiranya membuktikan bahwa manusia dapat mengalami kesulitan untuk menemukan keseimbangan antara kebaikan dan keburukan, dan ‘terjerumus’ karena terkadang kegelapan terlihat lebih menarik daripada cahaya. Kita mengetahui bahwa dalam diri kita terdapat monster yang tertidur. Pada masa kontemporer ini, menurut Janicaud, tantangan kita bukan lagi sekedar menghadapi monster moral tersebut, karena ada tambahan lain di zaman ini berupa monster teknologi, hasil manipulasi sistematis dari manusia.

Dengan pengaruh dari teknologi dan ilmu pengetahuan, manusia tidak lagi terkungkung oleh tabu seperti pada masa sebelumnya. Kini atas nama ilmu pengetahuan, fertilisasi in vitro, penjualan sperma, kloning, bahkan usia dan harapan hidup manusia dapat diperpanjang. Janicaud menerka-nerka bagaimana kelanjutan hal ini, ia menyusuri akibat dari keinginan manusia untuk mendominasi ilmu pengetahuan (seperti pada zaman kontemporer ini) dengan meninjau kisah di Injil seperti Adam dan Hawa yang memakan buah dari pohon pengetahuan, juga kisah Frankenstein yang menciptakan makhluk hidup dari potongan tubuh manusia yang mati. Kisah-kisah tersebut agaknya memiliki pesan bahwa godaan untuk mendominasi pengetahuan yang awalnya memang terlihat begitu mempesona, justru akan mendatangkan kengerian dan malapetaka.

Nietzsche merupakan filsuf yang memperkenalkan term superhuman, dengan mengatakan bahwa “Man is something that should be overcome, what have you done to overcome him?”, dan hal ini cukup mempengaruhi beberapa pemikiran tokoh seperti misalnya Hitler yang ingin menguasai dunia karena tergugah oleh ke-super-an, atau juga film Hollywood Superman yang menyajikan manusia yang memiliki kemampuan super yang merupakan perwujudan dari khayalan manusia, kekuatan, kehebatan, dan sebagainya. Manusia yang melampaui manusia itu sendiri menjadi impian manusia. Namun seperti yang kita ketahui, baik utopia dari Hitler dan Stalin, dengan ide mereka yang menggugah mengenai kejayaan ras tertentu, kemanusiaan yang tak terkalahkan, dan sebagainya, ide-ide untuk mewujudkan keidealan superhuman tersebut justru penuh dengan aksi inhuman yang mengerikan.

Kemanusiaan memang sesuatu yang rapuh, dan membingungkan. Para humanis mungkin tidak akan disebut humanis tanpa adanya perang atau genosida. Sepanjang zaman manusia akan terus berjuang menemukan keseimbangan antara sisi baik dan buruknya. Kita tidak dapat mengetahui dengan pasti kelanjutan dari pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemanusiaan, namun yang dapat kita ketahui adalah kemanusiaan tidak akan pudar betapapun inhumannya segala hal yang diproduksi dari teknologi, karena semuanya akan tetap merujuk pada manusia yang menciptakannya, yang menggunakannya dan memberikan maknanya.


27 December 2012

Huftness


Saya dapat saja merengkuh mereka yang menyediakan dirinya dengan sedikit gerakan tangan. Namun apa bagusnya merengkuh mereka yang tidak saya inginkan sementara diri saya menggapai dalam diam, tak bergerak karena keberatan cangkang? Sementara yang saya inginkan seakan di luar jangkauan?


20 December 2012

Salah Curhat


Teman saya curhat. To the max. Dengan bahasa Indonesianya yang kagok. Temen saya itu dulu ngebet banget punya pacar, dan akhirnya pacaran juga ketika ada yang mau sama dia. Tapi malah miris begini. Inti dari curhatnya kalo dibikin jadi thesis statement kira-kira: “hubungan pacaran bagi mahasiswa dapat menyebabkan dirinya menjadi sibuk, miskin, dan gemuk”. (Semoga temen saya gak baca blog saya, hehe.)

Sibuk itu karena temen saya ini sebagai laki-laki harus nemuin pacarnya terus walaupun dia ada tugas kuliah atau magang. Kalo pacarnya minta ketemu, tiba-tiba dateng, atau minta temenin ini itu, ya dia harus mau. Minta temenin belanja misalnya, katanya meskipun kakinya pegel karena muter-muter di mall, tapi dia harus senyum ke pacarnya sambil bilang “Kamu bagus banget pake baju yang itu”, kalo enggak si pacarnya ngambek. Berantem deh.

Miskin itu karena temen saya ini sebagai laki-laki harus membayar mahal setiap kali kencan. Laki-laki yang membayar pengeluaran kalo lagi pergi sama perempuan itu merupakan hal wajar sih di masyarakat, proper, gentleman. Hal yang membuat ke-proper-an itu jadi menyedihkan atau mengerikan (khususnya bagi laki-laki) adalah kalo si perempuannya membuat si laki-laki membayar begitu banyak. (Kata ‘banyak’ disini subjektif juga sih ya, tapi konteks ‘banyak’ disini diperuntukkan bagi mahasiswa, bukan bagi yang punya ladang emas, dan bukan bagi mahasiswa yang punya ladang emas). Tega juga yah, emang duit itu dengan kehendaknya sendiri bisa muncul di rekening bank, terus tinggal ngambil di ATM??? Temen saya cerita kalo pacarnya ini difficult banget, diajak makan di kantin kampus aja gak mau, apalagi di tenda. Zzzzz. Jadi mereka harus makan yang mahal-mahal. Bahkan dia udah ngebandingin dong, katanya rata-rata laki-laki di Indonesia kalo jalan sama perempuan itu normalnya ngabisin 200 ribu lah, itu udah makan sama nonton misalnya. Nah kalo temen saya ini normalnya sekitar 400-500 ribu. Curhat mirisnya, “Aku lagi miskin banget nih, sebelas hari pacaran habis 5 juta, itu juga uang hasil magang 3 hari, dapet 450 dollar + bonus 50 dollar, habis sudah.” Kasian. Saya ketawain sambil terus-terusan bilang kasian ke dia. Rincian jalan dengan pacarnya kira-kira begini, makan: 200-300 ribuan, nonton; velvet class; per bed: 250 ribu, ngopi/ngeteh setelahnya: 50-100ribu. “Lagian mau aja. Kamu bilanglah sama pacar kamu tentang masalah bayar-membayar ini”, kata saya. Lucunya lagi, dia bilang waktu itu dimasakkin spagetti sama pacarnya, biaya masaknya 350 ribu karena pacarnya ini maunya beli daging cincang yang mahal, tomat paling mahal, pasta paling mahal, etc. Jreng, saking dia berasa keluar duit banget, dia rela seminggu makan stock spagetti dari pacarnya yang ditaruh di kulkas. Udah membesarkan hati makan makanan yang sama terus eh pacarnya malah nanya “Kamu gak bosen, makan spagetti terus?”, gubrak.

Gemuk itu karena pacarnya suka mesen banyak makanan kalo lagi makan, semacam laper mata gitulah ya, pesen ini itu seabrek, tapi yang dimakan cuma sedikit, sisanya di meja ya diabisin sama temen saya ini sehingga jadi gemukan. “Aku yang keluar uang, jadi sayang kalo ga abis”, katanya.

Ada yang salah gak sama situasi tersebut? Kalo ada, salah siapa? Kalo gak ada yang salah, harusnya sih temen saya gak usah berbusa-busa cerita segitunya ya. :D

14 December 2012

Filmrandom


Minggu ini saya nonton dua kali dong film Indonesia. Kalo dipikir-pikir film-film yang selama ini saya tonton ya kalo gak produksi Amerika, ya Eropa. Bukannya gimana-gimana, ya emang begitu adanya. Agak males sebenernya, jujur.

Misalnya kalo saya gak sengaja nonton sinetron atau ftv di ruang tunggu dokter gigi pun, pasti saya jadi cekikian sendiri, geli, lucu banget padahal gak ngelawak, tapi ekspresi para so called ‘aktor dan aktris’ itu gak matching sama ekspresi orang yang beneran mengalami kejadian itu. Kalo marah, melotot-lotot over, teriak-teriak over, kalo sedih, sok-sok sedih, gak keluar air mata tapi matanya seperti lagi berusaha ngeluarin air mata itu, semacam ngeden di mata. Micro expression mereka tuh gak ada banget. Urat mukanya rata aja, gerak sedikit doang. Artifisial banget. Ketauan lagi belajar akting banget.

Lagipula, peran-perannya tuh boring banget menurut saya, gak variatif, kalo yang jahat ya jahat banget, kalo yang baik ya baik, polos dan naif banget sampe digampar-gampar pun nurut aja, terus nangis. Muka pun begitu, gak matching sama perannya yang penting cakep aja. Eh plis deh masa peran cewek dari kampung yang ceritanya susah gitu yang main cantik banget, putih banget, tinggi semampai, bening banget deh. Bukannya malah liat apa yang sedang saya liat, yaitu si cewek rambutnya dikepang dua, pake sendal jepit dan kain, saya malah ngebayangin baju yang kira-kira dia pakai sebenernya, dress-dress cantik gitulah. Di rumah kampung itu pula, settingnya kok etnik yang bagus banget ya, mirip-mirip kalo lagi mampir ke Dian Kenanga. Ada table lamp elegan pula. Ckckck. Emang rumah dikampung begitu ya? Bagus banget sih. Kalo gitu saya tinggal dimana dong selama ini? *nangis. Gak realistis pokoknya, saya gak kebawa sama ceritanya malah sekedar jadi observer.

Sepengalaman empiris saya, ‘anak dari kampung’ gak ada yang secantik, seputih, sebening, sesemampai itu. Plis deh itu sih model, artis, anak kota banget. Biasanya gennya lebih variatif. Atau mungkin koceknya yang variatif. Atau, misalnya ada yang sebegitu cantiknya dari kampung, biasanya juga udah dinikahin entah sama lurah atau ‘petinggi’ disana.

Balik lagi ke film, minggu ini saya sedikit nonton Act of Killing, directornya sih bukan orang Indonesia, Oppenheimer. Tapi filmnya ngambil tema tentang G30SPKI (saya hanya nonton sebentar aja karena telat, ga dapet duduk, saya dan teman-teman pegal berdiri, malah cari makan) saya dateng pas adegan si bapak-bapak bossy dengan muka coreng moreng beserta teman-temannya yang mukanya gak kalah kacau, sedang menginterogasi si tertuduh di kursi. Si tertuduh dibentak-bentak, ditanya-tanya, disuruh minum air putih, diyakinkan gak ada apa-apa di air itu, mirip-mirip suasana inisiasi lah. Bedanya, si bossy scary man itu mempraktekkan jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan entah siapa sebelumnya. ‘Bagaimana cara Anda membunuh?’ Dia menjawabnya kira-kira ‘Ya, saya kalo membunuh itu, harus membuat orang itu rela mati, mati dengan ikhlas, kita bujuk dulu supaya mau mati’ kemudian dia mencoba-coba menjerat leher si tertuduh yang habis menangis itu dengan tali. Di sela-sela adegan itu, nampak kru film dengan kameranya. Saya nangkepnya, oke, jadi si muka serem ini lagi nyeritain gimana dia dulu ngebunuh, di hadapan kru fim, dijadiin film. Pantesan aura film ini agak lucu, gimana saya bisa ngerasa lucu saat situasi tersebut seharusnya menimbulkan efek mengerikan, ya agak-agak black comedy. Saya gak bisa ngomong lebih banyak lagi karena baru nonton sedikit banget, tapi dari penangkapan saya yang sedikit itu, aktor-aktornya seakan naif banget, naif dengan kejahatannya, kebanggaannya dari apa yang mereka lakukan. Pas banget. Settingnya juga biasa-biasa aja, cenderung aneh malah. Ya, pas lah dengan suasana aneh tersebut.

Berlanjut ke film tanda tanya. (Saya basi banget ya baru nonton ini). Ini film yang entah kenapa bikin saya berkaca-kaca saat menontonnya. Dipikir-pikir kapan saya berkaca-kaca begini nonton film Indonesia? Oiya. Waktu nonton Petualangan Sherina. Zzzzzzz. Eh saya tetiba pengen nonton film Suzanna lagi jadinya. Creepy banget. Beranak Dalam Kubur, Ratu Pantai Selatan, maksud saya, si Suzannanya yang cantik ini sendirian aja auranya udah creepy, ditambah lagi main film horror. Balik ke film ?, sebenernya saya sih tetap aja liat akting Rio Dewanto, Revalina, Endhita, biasa aja. Mukanya rata aja, gak ada micro expression, karakternya juga si Revalina baik dan naif banget, si Rio nya emosian banget. Endhita cukup bagus sih, cocok dengan karakternya yang kuat; perempuan Islam yang pindah ke Katolik sejak suaminya minta poligami.

Tapi akting mereka ketolong sama ceritanya yang cukup menggambarkan situasi keberagaman di Indonesia, yang di satu sisi bisa memperkaya, di sisi lain bisa jadi bahan perpecahan. Di salah satu adegan ada rombongan mas-mas yang pake sarung, kopiah dan baju koko, lewat ngatain si Rio yang cina ini ‘Cina!’, dan di bales si Rio ‘Teroris!’. Inget kerusuhan 98? Kantor ayah saya juga ikut dirusak sedemikian rupa, ayah saya gak lama kemudian di PHK, sempat jobless lama banget karena gak ada yang mau hire dia. Ayah saya cina, tapi Islam. Posisi yang cukup membingungkan buat situasi tersebut pokoknya. Mau kemana dia? Orang-orang pada waktu itu mainannya ras dan agama banget, saya yang masih SD aja ngerti kalo hidup saya berubah, sepertinya orangtua saya belum kepikiran prepare untuk masa-masa begini, makanan di kulkas gak sebanyak dulu, mobil-mobil di garasi entah kemana, rumah lantai atas yang waktu itu lagi dibangun berhenti gitu aja, les-les saya berhenti, sampai shampo dan sabun aja ganti, pokoknya saya gak hidup sesenang dan seringan anak-anak komplek lainnya yang pamer barbie dan tas baru mereka, saya cuma kagum ngeliatnya. Terus, yang jadi bapaknya si Rio ini juga mirip-mirip gitu sama engkong saya dulu; tua, sakit-sakitan, tapi tetep nyablak. Cina banget, ada dupa-dupaan dirumahnya, bau rumahnya juga beda. Kombinasi-kombinasi itu cukup bikin saya tersentuh dan berkaca-kaca pas filmnya mulai seru. Gila ya, gimana para veteran yang nonton Saving Private Ryan? Pantesan katanya pas premiere di bioskop US, banyak kakek-kakek yang keluar gitu aja ditengah film, keinget banget sama Perang Dunia II karena si Spielberg ini begitu realistis filmnya. Tapi ya, kecewa juga sih karena di akhir filmnya, mungkin buat nyenengin mayoritas, mungkin itu subliminal message juga, si Rio ceritanya masuk Islam. Zzzzzzz. Gak ada ending yang lebih multikulti lagi? Yah begitulah pokoknya.

4 December 2012

Crappy People


Sosial media yang membuat saya kerap jengkel dan terganggu itu ya facebook. Saya gak aktif menggunakannya untuk update status, upload foto, dsb, timeline saya aja gak ada aktivitasnya banget. Alasan nomor satu saya masih memiliki akunnya adalah untuk saling berbagi info dan dokumen perkuliahan. Saya memutuskan untuk mendeactivenya (lagi) karena terganggu dengan notifikasi friend request yang gak masuk akal, masa dalam 2 jam saya mendapat 70an friend request? Emangnya saya siapa? Kemudian saya melihat timeline dari friend request itu, dan melihat bahwa isi timeline dari sekian orang itu benar-benar mirip semua dengan kalimat remehnya. Creepy in such tacky way.

Banyak orang-orangan yang berseliweran di media sosial. Semakin saya ignore, semakin banyak request. Saya diemin, facebook mensuggest allow subscriber karena too many friend request. Saya capek dan gak sempet juga mengeblock mereka karena kebanyakan.

Orang macam apa yang dengan rajin tiap menitnya mengirim friend request dengan beragam account? Orang yang tampilannya manusia, tapi isinya bukan manusia. Orang yang otak dan hatinya kopong. Orang yang umurnya udah berpuluh-puluh namun gak lebih dewasa dibanding balita. Orang yang satu-satunya kelebihannya adalah waktu luang yang berlebih alias gak ada hal penting yang dikerjakan. Orang yang jiwanya gak lebih berarti daripada nyamuk yang barusan ditepuk.

Tau anjing penolong gak? Service dog, assistance dog?
Anjing yang dilatih untuk membantu orang-orang entah membantu polisi untuk mencari korban sampai membantu orang cacat untuk memasang seprei, belanja, menarik uang dari atm, dsb. 




Semesta pasti setuju bahwa anjing-anjing tersebut merupakan makhluk yang jauh lebih mulia, berguna dan berharga daripada orang yang berada di depan layar komputer dan mengisi hidupnya dengan merepotkan hidup orang-orang.


3 December 2012

Appointment with Death


“Hal yang membedakan manusia dari makhluk lainnya adalah kesadarannya bahwa ia sedang menuju kematian. Kesadaran dan rasa takutnya ini memaksanya menyadari realitas kehidupannya dan individualitasnya, sehingga memaksanya melakukan sesuatu sebelum waktunya habis”, siapa nih filsuf yang mematenkan pikiran ini? Chat me yaaa... (ala-ala OL shop)

Kapan sih kalian (yang mampir membaca tulisan saya) sadar bahwa kalian akan mati? Setiap sedang makan kue ulang tahun?

Kalau saya, pertama sadar hal itu saat umur 4 tahun. Waktu itu ada telepon yang mengabarkan bahwa paman saya meninggal. Kami langsung pergi ke rumah nenek. Paman saya yang masih remaja itu meninggal karena kecelakaan. Nenek saya berkata bahwa otaknya terburai di jalanan dan beliau sebagai ibunya yang tabah membereskan sisa-sisanya di jalanan itu. Langsung saya yang masih anak kecil itu sadar bahwa kehidupan itu rapuh. Sadar bahwa ada yang namanya kematian.

Masih shock oleh kejadian tersebut, beberapa waktu kemudian, menyusul kejadian ganjil. Saat saya bermain dengan anak kucing, tiba-tiba entah darimana muncul kucing garong yang langsung menggigit leher si anak kucing teman saya itu, kucing garong berlari sambil membawa si anak kucing dimulutnya, saya spontan mengejarnya sambil teriak-teriak galak, sampailah saya di kolong jembatan komplek, di kerimbunan pohon bambu, suasana ganjil membuat saya diam, kucing garong menatap mata saya, saya menatap kucing garong dan anak kucing yang kebingungan tergeletak di tanah. Dengan cepat, si kucing garong mengeluarkan cakarnya dan menggorok leher si anak kucing itu. Dengan cepat si kucing garong lari, menghilang entah kemana. Dengan shock dan bingung, saya menatap si anak kucing teman saya. Darah merembes membasahi bulu putihnya. Tubuhnya kejang-kejang sebelum akhirnya terdiam. Dengan panik dan menangis cengeng saya lari kerumah.

Beberapa waktu berikutnya setiap mau tidur saya yang masih TK itu cemas, besok masih bangun atau nggak, cemas-cemas-cemas-sampai akhirnya, yah, whateverlah, dan bisa tidur dengan pulas.

Kecemasan dan ketakutan pada kematian itu yang menurut saya membuat agama-agama itu tumbuh, dari zaman orang yang masih makan sekedar untuk survival, (daging panggang ditusuk ranting) sampai yang mulai makan dengan estetis (daging panggang dengan bumbu dan hiasan cantik), dan makan dengan etis (daging panggang boleh dimakankah?). Agama tumbuh dengan suburnya karena manusia sadar dengan kematian, dan tidak tahu kemana perginya mereka setelah kematian. Kekaburan-kekaburan yang membutuhkan kejelasan, sehingga muncul konsep surga dan neraka. Konsep afterlife. Konsep sosok penyelamat. Di setiap daerah di dunia, selalu ada beragam agama yang menawarkan hal-hal tersebut. Kenapa manusia butuh surga dan neraka? Karena mungkin bagi beberapa orang dunia justru merupakan neraka yang membakar mereka hidup-hidup, sehingga mereka menginginkan balasan surga yang terindah, karena mungkin bagi beberapa orang, kelakuan orang-orang kepada mereka sungguh buruk dan membuat muak sehingga ingin melempar mereka ke neraka dan ingin melihat mereka terbakar di dalamnya, karena mungkin bagi beberapa orang, hidup di dunia berpuluh tahun itu tidak cukup, mereka begitu serakah ingin hidup selamanya. Di surga tentunya.

Kemana kita pergi setelah kematian? Kita bisa berkontemplasi, tapi tidak tahu dengan pasti.

Selagi masih hidup, hiduplah dengan sehidup-hidupnya, seberguna-gunanya, sebaik-baiknya, sebahagia-bahagianya. Well, sementara itu dulu deh ya, nanti saya tambah lagi kalau sempat.

Questions


Saya tiba-tiba inget awal-awal kuliah di filsafat. Inget kalo sering ditanyain orang-orang random, “Kuliah di UI ya, ambil jurusan apa?” trus dari muka maba yang bubbly antusias jawab pertanyaan itu muka saya lama-lama berubah jadi muka pokerface yang saking seringnya ditanyain pertanyaan itu dan ngejawab dengan cueknya “Filsafat”.

Reaksi kebanyakan dari mereka:
“Hah? Kuliah apa?”
“Filsafat itu apa ya?”
“Filsafat itu belajar apa ya?”
“Nanti jadi ateis loh?”
“Nanti jadi gila loh?”
“Emang kenapa sih masuk filsafat?”

Beberapa reaksi dari mereka:
“Oh.. Keren-keren... Bagus...” (disertai tampang kagum, setelah itu hening)

Reaksi pakde yang jualan minuman di kansas:
“Neng kan belajar filsafat, berarti bisa ramal masa depan ya?”

Kadang reaksi-reaksi itu saya tanggapi dengan berbusa-busa, kadang saya diam aja seribu bahasa saking kebal atau sebalnya, sekalian menghemat oksigen, mungkin kalo saya jelasin pun mereka gak paham sama gelembung dari mulut saya.

Terus saya inget juga kelas filsafat pertama, tidak lain tidak bukan... ya kelas Filsafat Yunani. Inget banget dalem hati ngegumam ngeledekin Thales, kadang pas baca buku filsafat Yunani ketawa-tawa sendiri gara-gara filsuf-filsuf awal yang sibuk nyari arkhe alam semesta tapi menurut saya beberapa diantara mereka malah jadi lucu.

Tapi kalo diliat sekarang, untungnya sih saya sempet berada dalam fase ngetawain mereka ini, “Oh filsuf tuh konyol ya, sok tau dengan teorinya, bikin problem aja kerjanya, bikin kerjaan yang bakal dipermasalahin lagi sama filsuf berikutnya”, jadi saya gak gampang kedoktrin masuk aliran ini itu, saya gak mau dikotakkan dengan spesifik, ya kalo saya terkungkung dalam satu aliran apa bedanya saya sama mereka yang terdoktrin sama agamanya sehingga jadi fanatik dong?

Dari fase ngetawain dan muncul keinginan merendam buku itu di ember, kemudian saya gak ngetawain lagi karena menemukan sesuatu yang mulai serius di filsuf Yunani misalnya Herakleitos, Phytagoras, Sokrates, Aristippos, Plato, Aristoteles, etc.

Berlanjut ke semester-semester berikutnya, menjelajah ke masa pertengahan sampai kontemporer; saya tiba di fase kering, dimana filsuf-filsuf yang saya temui atau yang bukan filsuf tapi mengganggu filsafat, begitu dashyatnya sampai membuat dunia jadi kering kerontang, misalnya Kant, Feuerbach, Marx, Sartre, Heidegger, Marcel, Wittgenstein, Freud, etc, mungkin pemikiran mereka gak sempurna, ada celah-celah untuk meloloskan diri dari pemikiran mereka, tapi ya tetep aja, pemikiran mereka cukup bikin semua kata-kata mutiara dan kata-kata motivasi yang saya tau jadi berguguran, remeh. Kalo liat Mario Teguh di tv, bawaannya langsung pengen ganti channel. Kalo disodorin novel sama temen, baru baca sehalaman langsung males bacanya. Kalo diajak berantem sama adek, saya gak bereaksi. Kalo ada orang nyebrang seenaknya, saya ngeliatin aja dengan males. Tetiba banyak hal yang berubah jadi remeh-temeh. Fase kering kemudian menuju fase galau, dimana piano dan filsafat merengek, rebutan waktu, dan cakar-cakaran, mana yang lebih saya cintai?

Hm. I love you both.. But I love me more. (Sebenarnya masih belum paham dan belum bisa jawab, jadi sementara jawaban sok cool ini dulu deh).

30 November 2012

Team Zizek

Tadinya sih saya sedang asik dengan teks Hobbes dan Locke, lalu kemudian tangan saya iseng meraih hp dan membaca pesan singkat didalamnya, yang membuat saya jadi tidak bisa fokus lagi dengan Leviathan dan Two Treatises of Government.

Well, pesan singkat yang tidak singkat, konyol tapi menjengkelkan itu cukup bikin saya kesal, dan mengingatkan saya lagi (saya sudah tau hal ini, cuma cepet lupa aja) bahwa tidak perlu ngasih duit ke pengemis, bodo amat mau diteriakin sama si pengemisnya kek (ada bocah pengemis dilampu merah yang gak saya kasih duit, dia teriak dengan bahasa sunda “Wooo geulis tapi koret!”). Masalahnya kadang belakangan ini saya agak sok murah hati dan lupa bahwa at some point, murah hati tidak pada tempatnya=kebodohan.

Jadi isi pesannya kira-kira ada manager perusahaan elektronik yang sedang ngantri makan di KFC, dengan heran dia negur pengemis yang juga ngantri makan didekatnya. Dari pertanyaan-pertanyaan itulah si manager tau bahwa si pengemis sudah makan 3 kali, tadi pagi habis merayakan ultah anaknya di McD bareng guru dan teman-temannya, istri dan anaknya barusan makan di Pizza Hut, setidaknya penghasilan dia mengemis tiap 60 detik dapat 2 ribu; 1 jam = 60 kali lampu merah, 60x2000=120.000/jam, kerja 9 jam/hari, dan setidaknya dapat penghasilan 28 juta/bulan. Si manager sendiri gajinya 15 juta/bulan, yang kemudian diledekin si pengemis bahwa dia kasihan sama si manager, karena banyak duit untuk kuliah sampai s2, karena kena omelan boss, karena kepikiran banyak kerjaan terus. FUUUUUUUU. Lalu saya googling dan menemukan fakta bahwa ada yang namanya kampung pengemis, bahwa kebanyakan mereka berasal dari Indramayu, bahwa mereka gembel di Jakarta, tapi di kampung halamannya rumah mereka megah dan mewah lengkap dengan kolam renang, bagi yang laki-laki, istri pun lebih dari satu. FUUUUUUUUU. Saya sebagai mahasiswi dengan duit pas-pasan yang sebelum akhir bulan duitnya udah surut pun kesal setengah mati. Itu seantero orang-orang kok bisa-bisanya sih dengan mudahnya memberikan duit mereka ke orang yang menadahkan tangan.

Dari duduk di depan laptop, saya jadi pindah duduk di depan meja makan, mengunyah-ngunyah sisa mie goreng makan malam sambil cerita-cerita kesel ke mama saya yang kebetulan sedang duduk disitu. “.................. Grrrr, iya Ma, pokoknya kita jangan lagi kasih duit deh ke pengemis”, juga dalam hati bertekad untuk tidak memberi duit ke pak ogah yang bertebaran tiap belokan jalan, juga pada tukang parkir yang bertebaran tiap meter, kalau perlu gak usah bawa kendaraan deh, jalan kaki, naik angkutan umum saja. Kalau ditotal-total, seharinya duit yang misalnya dipakai untuk dikasih tiap ketemu mereka bisa saya pakai untuk nambah saat makan siang. Kemudian mikir-mikir kalau yang bener-bener orang susah ya para tukang becak itu, yang dari zaman saya masih jajan anak mas sampai sekarang kok rasanya mereka masih pakai baju yang itu-itu juga, yang menunggu dan bergiliran mengantar penumpang yang rumahnya di blok sekian demi 5 ribu lalu mengayuh becaknya balik lagi ke pangkalan, ya tukang kerupuk, yang panas-panasan mengayuh sepedanya dengan jarak dari depok dua ke depok satu, demi 10 ribu per kaleng besar, ya tukang sol sepatu yang jalan kaki dari komplek ke komplek demi 5 ribu persepatu, itu juga kalau ada yang memanggil, ya kakek-kakek yang di zaman margo city ini masih mendorong gerobaknya yang berisi gesper dan golok keliling komplek; mereka yang meskipun memiliki keterbatasan dan rintangan, tapi dignity tingginya menghalangi mereka untuk hanya menadahkan tangan. Jadi kalau sedang mau berbaik hati melakukan charity kecil ya berbaik hatilah pada mereka-mereka ini.

Kemudian ujung-ujungnya jadi ingat sama Zizek, Zizek pasti ngomelin dan ngetawain saya, mungkin mirip seperti kalau saya membayangkan dia terkekeh di depan muka saya kalau tetiba menyesap caramel macchiato di Starbucks, atau kalau saya nyasar beli lip butter di body shop, yang katanya kedua mega brand ini menyisihkan sekian persen di tiap produk yang kita beli dengan harga mahalnya untuk charity, dengan foto dan kata-kata yang menggugah meyakinkan kita bahwa saat kita meneguk kopi, ada petani kopi yang tertolong, saat kita mengoleskan krim di bibir ada petani cherry yang tertolong. Donasi tidak membuat keadaan buruk menjadi lebih baik, justru malah memperlama keadaan yang buruk. Ibaratnya ada orang yang sakit parah dan sudah ingin banget mati supaya tidak menderita lagi, malah dikasih bantuan yang memperlama hidupnya. “We should let people starve and die from disease so that they take up arms sooner rather than later”, he said. Ih om Zizek jahat, gak bermoral, pasti kalian mau bilang begitu. Justru Zizek bilang bahwa donasi itulah yang gak bermoral, “I’m not against charity, in an abstract sense, it’s better than nothing, but be aware that there is elements of hypocrisy there”. Solusinya bukan pada donasi yang disukai oleh masyarakat modern yang hatinya mudah tersentuh oleh penderitaan, tapi “The real aim is to try and reconstruct society on such basis that poverty will be impossible”. Oh yeah.. Poetic banget.

24 November 2012

Padahal Masih November


Sebentar lagi 2012 akan berakhir ya (sok-sok peduli, padahal biasanya tiap tahun berganti saya sedang pulas selimutan dan memeluk bantal, kalaupun terbangun karena suara petasan, hanya akan mengerjap-ngerjapkan mata sebelum akhirnya tidur lagi.)

Pikir-pikir, apa saja yang sudah saya lakukan selama tahun 2012 ini? Resolusi harus melakukan dan mencapai ini itu dari yang saking sophisticatednya sampai susah disebutkan disini, ehem karena rahasia juga sih (pada bulan Januari yang labil, saya sempat sok-sok an bikin list yang kertasnya pun hilang entah kemana) sampai yang ala-ala seperti olahraga supaya postur lebih bagus - amat jarang dilakukan, tidur jangan terlalu malam supaya bisa sehat dan bisa cantik - malah tidur malam terus, belajar supaya pintar – malah gak belajar, jangan makan banyak-banyak – malah makan terlalu banyak, dan blablabla, sepertinya hanya jadi wacana saja.

Kemudian bagaimana diri saya selama ini? Sepertinya sih orang-orang masih melihat saya sebagai orang yang katanya jutek (saya gak sadar kalau sedang memasang topeng yang itu), sebenarnya masih menjadi orang yang canggung dan suka diem-dieman kalau bertemu orang, masih sulit mengatakan apa yang sebenarnya saya mau katakan dan malah mengatakan hal yang melenceng, sebaliknya, atau justru tidak mengatakan apa-apa disaat yang paling memerlukan kata, masih lupa senyum di saat senyum itu diperlukan dan malah senyum disaat yang salah, masih ekstrim naik turun emosinya bagaikan roller coaster, kadang amat sangat senang meluap-luap sampai rasanya mau memeluk seisi dunia, kadang amat sangat sedih terpuruk sampai melihat tukang sol sepatu lewat pun nangis, masih sok cuek terhadap hal-hal dan orang-orang tertentu padahal dengan sensitifnya sering memikirkan mereka, masih mengandalkan coklat untuk memaksimalkan endorphin, masih cepat mual, masih lebih suka 17 agustusan dibanding lebaran, masih lebih betah bermain piano dengan ngasal dibanding mengerjakan tugas kuliah, masih merasa lebih mudah berkomunikasi dengan hewan daripada manusia, masih suka menakut-nakuti orang dengan cara saya supaya mereka enggan menembus benteng pertahanan saya, dan masih lebih suka menyendiri dibanding berada dalam kerumunan.

Gelisah dan penasaran. Itu kata-kata yang kira-kira menggambarkan apa yang sering saya rasakan belakangan ini. Gelisah mengenai masa depan lebih tepatnya, karena sekarang saya berada di semester 7 dengan umur saya yang 21 tahun. Merasa diambang sesuatu. Gelisah mengenai apa yang sebenarnya saya ingin lakukan, gelisah mengenai apa yang seharusnya saya lakukan, pokoknya gelisah mengenai banyak hal. Penasaran pada apa yang terjadi besok, besoknya dan besoknya. Penasaran akan mengalami hal apa dan bertemu dengan siapa.

2013.

?

Semoga saya banyak mendapat hal baik, semoga saya banyak mengalami kejadian baik, semoga saya banyak bertemu orang-orang baik juga.













12 November 2012

Pukpuk for the Unnoticed Heroes


Karena orang-orang sepertinya lebih menyukai dan menghargai sosok mencolok dari seseorang yang kebetulan hadir dalam masalah besar kemudian beruntung dapat menyelesaikan masalah tersebut serta menyelamatkan beberapa nyawa, daripada sosok nyaris tak terlihat dari seseorang yang dengan sabar dan teliti mencegah semua masalah itu terjadi.

2 November 2012

How to Deal with Unwanted Sounds?


Should we make anti-noise campaign, or am I the only one who realize that our world is so noisy?


Beberapa waktu lalu saya terbengong-bengong di suatu ruang tunggu, (saya sedang tidak terlalu suka sok sibuk dengan hp saya sehingga saya lebih memilih untuk mengamati perilaku orang-orang berseragam disana, yang kemudian berakhir pada kegiatan bengong karena mulai bosan).

Orang-orang berbicara pelan-pelan, suara televisi diruang tunggu begitu berisik, terdengar narasi infotainment sore hari, berganti saluran, lalu terdengar bocah menyanyi diiringi musik yang sepertinya susah payah menutupi suara sumbangnya, pintu terbuka dan terdengarlah suara berisik macam-macam dari luar yang sudah tercampur menjadi suara..... entah apa namanya. Saya melihat orang-orang itu. Mereka sadar tidak sih berisik sekali disini? Mereka kelihatan baik-baik saja dengan hp mereka dan majalah konyol di ruang tunggu. Lalu terpikirlah hubungan saya dan proposal skripsi saya. Saya bertanya-tanya apakah saya yakin mau membahas tema tersebut, apakah hal yang secara tidak sadar menggiring saya pada tema tersebut, dst.

Saya tertarik dengan John Cage yang menciptakan komposisi 4’33; komposisi berlembar-lembar tersebut hanya berisi tanda diam dari awal hingga akhir dengan durasi empat menit tiga puluh tiga detik. David Tudor merupakan pianis pertama yang ‘memainkan’ komposisi ini. Ia hanya membuka dan menutup piano untuk menandai tiga movement, sementara para penonton dengan manner penonton musik klasik hanya berbisik dan berdeham dengan sopannya perihal rasa bingung mereka karena si pianis tidak membunyikan pianonya.

Komposisi tersebut ‘harusnya’ merupakan komposisi yang diam. Namun diam ternyata tidak dapat diproduksi oleh tanda-tanda diam dalam partitur karena toh tanda-tanda diam hanya hal kecil yang dipahami oleh musisi dalam recital tersebut sementara penonton berbisik dan berdeham karena bingung, kemudian suara hujan dan lalu lintas merembes dalam gedung, dsb. Sama seperti saya yang kadang merekam latihan piano saya, pada bagian yang seharusnya diam dan saya tidak menekan apapun, malah terdengar suara si mbak yang menelpon temannya dengan nyaring, atau suara tukang bakso yang lewat.

Tadinya saya mau menghubungkan diam di 4’33 itu dengan teori Zen Buddhism, kemudian merasa bahwa saya belum menemukan tools yang pas untuk menaklukkan makanan saya.

Sebagai seorang yang pendiam, saya tentu merindukan diam (gak nyambung). Tetapi sepertinya diam itu tidak ada. Sulit sekali menemukan diam. Bahkan dalam ruangan yang senyap sekalipun, kita masih mendengar sesuatu yaitu suara degup jantung kita sendiri. Terima kasih kepada telinga yang berfungsi.

Betapa berisiknya dunia ini. Saya sadar bahwa saya sensitif terhadap bunyi-bunyian. Saya juga agak tuli karena bisingnya dunia sehingga kadang perlu bertanya ‘Apa?’ dan ‘Hah?’ pada yang sedang mengajak saya bicara. Di tempat ramai seperti mall saya sering merasa mengambang agak pusing mendengar berisiknya semua toko yang bersaingan sekeras-kerasnya menggaungkan musik-musik hits masa kini, pop, kpop, melayu, penyanyi yang disponsori restoran ayam, dst (industri musik sekarang penuh penderitaan menurut saya, dan membuat saya menderita juga karena sulit melarikan diri dari serangan musik tak terduga). Di jalanan tentu berisik suara mobil, motor, bis, becak, bajaj, kereta, tukang parkir yang meniup peluit, suara heboh dari mobil lewat yang memainkan lagu dugem misalnya, dst. Di dalam salah satu dari kendaraan saya masih diganggu oleh suara mesin kendaraan tersebut, atau musik dari radio yang tidak saya inginkan. Di dalam kendaraan umum saat saya memilih menjejalkan telinga saya dengan headset, saya malah mendapati diri saya merasa makin runyam karena harus memilih fokus antara dua macam suara; suara keras di telinga saya yang menggaungkan Romanzen-nya Wagner atau suara samar-samar mengganggu dari campuran suara kendaraan ditambah obrolan orang sekeliling.

Saya memikirkan anak-anak kecil yang tumbuh pada masa kini, mereka menonton televisi yang berisik, bermain di timezone yang berisik, game di komputer yang berisik, dan xbox yang berisik. Generasi anak muda sekarang sepertinya baik-baik saja dengan keberisikan ini. Mungkin mereka menganggap keberisikan ini sebagai sesuatu yang alamiah (angkat bahu). Tapi tidak bagi saya dan jiwa tua saya yang rindu masa lampau, bertanya-tanya apakah masa lampau lebih hening daripada masa kini? Kemudian sekali lagi merasa salah zaman dan salah tempat, merasa bahwa harusnya saya hidup di Jerman di masa transisi klasik ke romantik. Ah tapi zaman dulu perempuan masih menjadi sekedar ornamen dan tidak diutamakan mendapat pendidikan. Ah feminisme toh tetap ada sampai zaman sekarang karena problem tetap ada, namun bergeser tidak disitu terus. Oke sepertinya saya melenceng.

Ketika diam menjadi sesuatu yang langka dan sulit ditemukan bagi orang yang merindukan dan mencari diam, tentu perekonomian menampakkan dirinya. Apakah harus ada produsen yang memproduksi diam dan membandrolnya dengan harga yang tinggi? Diam kemudian menjadi komoditi pula. Orang bisa ‘membeli diam’ dengan panel kedap suara, penyumbat telinga, dan hal lain yang bisa menyelamatkan diri mereka dari suara berisik.

Di sisi lain, orang yang terbiasa dengan keberisikan agak canggung dan takut pada diam dan menganggapnya sebagai sesuatu yang mengerikan. Lift, rumah sakit, penjara, makam, dan alam bebas yang cenderung lebih sunyi menjadi tempat yang mungkin mereka hindari.

Well, saya masih mencari tools yang pas untuk menaklukkan makanan saya, dan harus menemukannya secepatnya sebelum saya kelaparan. 

2 October 2012

The Queen of Vegetable Art


Kalau saya selesai makan dan ada sisa sayuran  di piring, saya biasanya bermain dan membentuk wajah konyol yang terdiri dari mata tomat, alis buncis, hidung wortel, dan menggambar garis senyum atau cemberut dari botol saus cabai sesuka saya. Kadang kalau ada sisa jagung parut saya gunakan sebagai tambahan bintik-bintik pipi.

(menghela napas dengan berlebihan)

Kalau Ju Duoqi yang bermain dengan makanan, maka hasilnya akan seperti ini.


Cabbage Monroe

Mona Tofu

The Last Supper with the Gingerman

The Anatomy Lesson of Dr, Pickled Cabbage

Liberty Leading the Vegetables

The Scream of the Sweet Potatos

Napoleon on Potatos

The Birth of the Radish


Selain reproduksi dari karya-karya yang sudah terkenal, Ju Duoqi juga membuat seri Fantasies of Chinese Cabbage. Chinese Cabbage atau yang kita kenal sebagai ‘sawi putih’ disusun sedemikian rupa untuk meniru berbagai pose perempuan di berbagai majalah.


















29 September 2012

Unexpectedly


Sepertinya datang adalah keputusan bagus. Today was a day that turned out to be a fabulous day. (。◕‿◕。)

28 September 2012

Tulis-Tulis


     Kesibukan baru.

Di waktu senggang menyempatkan menulis buku mengenai cara bermain piano untuk semua umur. Baru beberapa halaman, baru dua hari saya mulai menulis. Saya mengupayakan menulis dengan ringan agar dapat dimengerti berbagai kalangan. Menulis dengan niat berbagi pengetahuan memang menyenangkan, namun demikian, ada hal agak repot yang menjadi ‘derita’ saya, hehe, yaitu menggonta-ganti berbagai font musikal untuk mempermudah penjelasan saya. 






Semoga selesai dalam waktu cepat!  (▰˘◡˘▰)






19 September 2012

Get Some Rest


‘Jaga kesehatan. Jangan capek-capek. Olahraga. Makan yang benar, jangan sembarangan.’

Itu nasehat orangtua dan sahabat-sahabat saya.

Nasehat yang saya dengarkan baik-baik.

Sahabat saya salah satu anggota keluarganya meninggal. Miris sekali rasanya saat mengetahui bahwa penyebab meninggalnya karena sakit liver. Penyakit sama yang membuat saya terkapar selama tiga minggu. Aneh sekali rasanya ketika diantara rumitnya persoalan hidup, dan segala keduniawian kehidupan, kita sadar bahwa kita dapat meninggal kapan saja.

Dokter berkata bahwa saya terlalu capek. ‘Tidak boleh capek-capek’, katanya. Pola hidup saya beberapa bulan kemarin cukup semrawut. Kuliah padat, mengajar piano, tetiba di penghujung semester mengikuti aktivitas duta pariwisata; pergi pagi, pulang pagi. Waktu yang tersisa digunakan untuk sedikit istirahat, disempatkan mengerjakan tugas dan kalau sempat belajar untuk UTS dan UAS. Pernah dengan pedenya datang kekampus demi UAS tanpa sempat belajar, cengo ketika sampai disana teman-teman saya sedang berkomat-kamit belajar dengan wajah tegang. Makan kurang teratur (maag saya kambuh). Waktu tidur saya sedikit sekali. Lalu anehnya, saat liburan, saya jadi terbiasa tidur sedikit. Voila, kemudian sakit. Terkapar. Beberapa kali ke rumah sakit ditemani ayah saya. Berat saya turun menjadi empat puluh satu koma tujuh kilogram.

Hari ini saya terkantuk-kantuk di kelas setelah kemarin kurang tidur lalu beberapa jam lamanya menghabiskan waktu dengan pekerjaan yang mengharuskan saya untuk setidaknya bersikap cantik dengan mengenakan high heels empat belas sentimeter. Hari ini juga saya baru tahu kalau penyakit liver ini ternyata berbahaya setelah mengetahui kabar duka dari sahabat saya.

Saatnya bagi saya untuk tidak hanya mendengarkan, namun juga menjalankan nasehat tersebut dengan baik. ‘Jaga kesehatan. Jangan capek-capek. Olahraga. Makan yang benar, jangan sembarangan.’ Juga, berusaha untuk hidup dengan lebih baik lagi, menjadi manusia yang lebih baik.

Mengenai kematian, ada banyak sekali cara untuk menghadapi dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya, meskipun toh, kita yang terdistracted oleh keduniawian ini seringkali lupa bahwa kita punya masa expired. Kalau dari doktrin agama samawi, sepertinya kita sudah tahu bahwa ada konsep afterlife.

Ada sebuah kalimat menarik yang pernah dilontarkan dari philosopher of happines, Epicurus, mungkin untuk menenangkan orang-orang Yunani dimasa itu; kematian tidak menakutkan kita, sebab selama kita ada, kematian tidak bersama kita, dan ketika ia datang, kita tidak ada lagi.